“Kita memang nggak seusia, tapi bukan berarti nggak sesuai.”
Jika kamu beranggapan tidak ada yang lebih buruk dari menjomblo karena belahan jiwa tak kunjung merapat, maka bagaimana dengan kehilangan seseorang yang telah kamu anggap sebagai cinta sejati hanya sekejap seusai menemukannya? Tidak ada kata yang benar-benar tepat untuk mendeskripsikannya, namun itu jelas sesuatu yang memilukan. Dan itu tidak hanya terjadi di film percintaan, melainkan memang nyata adanya dijumpai di sekeliling kita. Setidaknya itulah yang menimpa pemimpin redaksi majalah wanita kenamaan di Indonesia, Fira Basuki, saat mencoba untuk membangun kembali kehidupan asmaranya usai menahun menjanda. Kisah asmaranya yang manis walau berujung tragis itu lantas dituangkannya ke dalam coretan-coretan pribadi berwujud memoir bertajuk Fira dan Hafez yang kemudian diterjemahkan oleh Fajar Nugros (7/24, Bajaj Bajuri the Movie) menjadi bahasa gambar rupawan melalui Cinta Selamanya.
Kesibukan yang telah menjadi nama tengah Fira Basuki (Atiqah Hasiholan), membuat Fira nyaris tak memikirkan soal cinta. Lagipula dia telah cukup bahagia dengan pekerjaan yang dimilikinya dan melewati hari-hari bersama putri semata wayangnya, Syaza (Shaloom Razade). Apa lagi yang kurang dari hidupnya? Bagi Egi (Widi Mulya), sahabat karib Fira, itu adalah sosok lelaki yang mampu mendampingi dan mengayomi Fira. Mengemban status janda, bukan perkara mudah bagi Fira untuk menemukan pria yang bersedia diajak menjalin rumah tangga terlebih Fira mendamba ‘cinta selamanya’. Sejumlah pria yang mendekat padanya gugur satu persatu karena tak memenuhi kriteria yang ditetapkan hingga takdir mempertemukan Fira dengan Hafez Baskoro (Rio Dewanto) di sebuah ajang pencarian bakat. Berawal dari tatapan, keduanya berkenalan. Namun lagi-lagi kisah cinta Fira tak berjalan mulus saat terungkap dua fakta: Hafez masih menjalin hubungan dengan perempuan lain dan... usia Hafez jauh lebih muda dari Fira! Pusing deh kepala Fira.
Ada dua sebab yang mendasari penyebutan rupawan untuk Cinta Selamanya; 1) secara kasat mata memang mempunyai ‘fisik’ sedap dipandang, dan 2) ditinjau dari guliran kisahnya yang sanggup menyentuh emosi. Yadi Sugandi secara memukau mampu menangkap setiap momen yang dilalui oleh Fira Basuki – dari kesendirian, kebersamaan dengan Hafez, hingga kehilangan – lewat gambar-gambar berkelas premium dengan cita rasa puitis. Rangkaian adegan yang terhampar begitu cantiknya, bak tengah berselancar di Instagram, memperkuat feel romantis (sekaligus menyakitkan) pada film. Kepiawaian sang sinematografer dalam membidik gambar ini diperkuat pula oleh penataan artisik dari Benny Lauda beserta busana oleh Wandahara yang memberi penonton pandangan riil soal lingkungan kerja Fira yang serba glamor pula mewah, tabuhan megah orkestrasi musik dari Tya Subiakto yang mampu menghidupkan emosi yang dibutuhkan pada film, iringan lagu tema maupun tembang-tembang campursari yang syahdu dan olah akting menawan dari jajaran pemain di Cinta Selamanya.
Memegang peranan krusial untuk menggerakkan laju film, Atiqah Hasiholan mempertontonkan salah satu kemampuan berlakon terbaiknya disini. Atiqah sanggup memperlihatkan transformasi emosi Fira dari semula keras sulit ditembus, melunak, sampai terpuruk secara meyakinkan tanpa pernah menjadikannya terlihat kehilangan sisi manusiawi. Membuat penonton merasa dekat dengan Fira, mengenalnya, lalu pada akhirnya turut merasakan apa yang dialaminya. Kehebatan Atiqah dalam menginterpretasikan sosok Fira ini juga tak lepas dari sokongan chemistry hebat bersama Rio Dewanto dan Shaloom Razade (dalam debut akting yang sungguh manis!) beserta penanganan piawai dari Fajar Nugros. Walau skrip hasil olahan Piu Syarif seringkali kurang menggali lebih mendalam deretan konflik yang sejatinya mengikat, namun Fajar Nugros tetap sanggup mempresentasikan Cinta Selamanya sebagai gelaran romansa yang cantik, romantis, sekaligus mengharu biru. Bisa dibilang, Cinta Selamanya adalah salah satu karya terbaik dalam filmografi Fajar Nugros.
Exceeds Expectations
No comments:
Post a Comment