“In her eyes, you’re a ridiculous peasant! Kill her and you will discover what it feels like to be truly alive!”
Jika bercakap-cakap dengan binatang yang fasih berkomunikasi menggunakan bahasa manusia terdengar sudah terlampau ‘mainstream’ di sebuah film, lantas bagaimana kalau bercengkrama dengan penggalan kepala seorang perempuan ceriwis yang mendekam di dalam, errr... kulkas? Aneh, menggelikan, sekaligus menyeramkan di saat bersamaan tentunya. Selain itu ada pula tubuh-tubuh manusia yang bergelimpangan (maupun tercecer, duh!) yang sesekali diwarnai dengan darah yang mengucur kesana kemari secara artistik namun kesemuanya dijabarkan secara komikal penuh canda tawa bercita rasa awkward. Dan, brace yourself, karena pemandangan seperti itulah yang akan kamu jumpai dalam The Voices yang merupakan film berbahasa Inggris perdana dari sutradara pencetus Persepolis, Marjane Satrapi. Menggambarkannya, seperti kekejian dari film legendaris Psycho atau serial televisi Dexter yang dicampuradukkan dengan kekonyolan dari Death Becomes Her maupun Idle Hands.
‘Jagoan’ kita adalah Jerry Hickfang (Ryan Reynolds), pekerja di pabrik pembuatan bak berendam berkepribadian periang namun aneh, yang hidup kesepian. Rutinitasnya tidak pernah jauh-jauh dari bekerja, berkonsultasi dengan psikiater, Dr. Warren (Jacki Weaver), karena trauma masa lalu yang senantiasa menghantuinya, dan bersantai ria di rumah seraya menciptakan obrolan soal ‘bagaimana seharusnya menjalani kehidupan’ bersama dua hewan peliharaannya yang berada di dua kubu berbeda. Tunggu, tunggu... mengobrol dengan hewan, soal kehidupan? Ya, kamu tidak salah membaca karena itulah yang dilakukan oleh Jerry setiap harinya. Meminta nasihat kepada anjingnya yang bijak, Bosco, dan kucingnya yang jahat, Mr. Whiskers – keduanya disuarakan oleh Ryan Reynolds – perihal kehidupan sosial dan asmaranya yang cenderung pelik. Bisa dibilang pelik lantaran siapapun yang memiliki kedekatan (atau berurusan) dengan Jerry, entah ada unsur kesengajaan atau tidak, akan berakhir tragis menjadi potongan-potongan tubuh.
Dibawa ke ranah black comedy, sejak awal The Voices telah memperingatkan penonton bahwa tontonan yang akan mereka saksikan bukanlah sesuatu yang ‘normal’ dengan segala banyolan-banyolan nyelenehnya. Dalam guliran penceritaan yang disusun oleh Michael R. Perry, kita mendapati interaksi kikuk antar sesama pekerja di pabrik, percakapan menggelikan (tapi dalam bermakna!) antara Jerry dengan dua peliharaannya, hingga pergolakan si tokoh utama dalam memilih ‘jalan hidupnya’, yang kesemuanya lantas dijlentrehkan Marjane Satrapi melalui bahasa gambar berwarna warni mengikat yang mendesak keingintahuanku untuk mengetahui langkah apa selanjutnya yang akan ditempuh Jerry. Saat kecelakaan menimpa Jerry dan Fiona (Gemma Arterton), perempuan incarannya, di tengah hutan sepi, nada film yang semula masih menampakkan secercah cahaya perlahan-lahan mulai meredup. Tensi ketegangan sedikit demi sedikit dinaikkan seraya Satrapi menginjeksi elemen thriller psikologis ke dalamnya. Mulai dari sini, kegilaan yang menyertai tuturan film meningkat menjadi kesintingan yang memberi efek konyol, mengganggu pula tidak nyaman pada penonton.
Humor-humor itu memang masih ada, tetapi kadarnya tak cukup untuk menandingi gelapnya pengisahan memasuki pertengahan film saat rahasia kelam Jerry perlahan-lahan mulai tersibak dan kita mengetahui jati diri sesungguhnya dari si pria jomblo mengenaskan ini. Walau Satrapi mengalami sedikit kebingungan dalam memberi keseimbangan yang tepat pada sederet elemen berbeda nuansa – meliputi komedi, thriller, romansa, melodrama, bahkan musikal! – yang menghiasi film, namun ketertarikan pada The Voices justru semakin menguat terlebih Jerry digambarkan sebagai sosok yang selayaknya memperoleh dukungan alih-alih caci maki. Afeksi penonton dengan para tokoh utama pun terbentuk terlebih The Voices dikaruniai performa mumpuni dari jajaran pemainnya. Kita merasa berempati pada Ryan Reynolds atas sederet ketidakberuntungan yang menimpanya secara silih berganti, berpihak pada Anna Kendrick sebagai Lisa yang memberikan kehangatan dalam kehidupan Jerry yang dingin, serta sebal bukan kepalang pada Gemma Arterton yang bitchy. Sungguh tontonan gila yang begitu memikat!
Exceeds Expectations
gue suka banget dengan endingnya yang nyanyi-nyanyi itu. Absurd. Ceria. Lagunya catchy pula. Nyangkut deh itu ending di kepala, hehe.
ReplyDelete