“If you call out to one of the dead, all of them can hear you.”
Mengajak penonton mengarungi dunia astral untuk pertama kalinya pada empat tahun silam melalui Insidious, James Wan mampu menciptakan sebuah sensasi perjalanan menyeramkan yang meninggalkan kesan menghantui pada setiap penonton sampai berhari-hari sesudahnya. Bahkan, saat melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop, tubuh ini masih bergetar hebat karena dibuat ketakutan. Memberi dampak rasa takut yang sedemikian kuat itu, maka jelas ada ekspektasi yang cukup tinggi terhadap film kelanjutan untuk Insidious. Kepenasaran dipicu satu pertanyaan: apa lagi trik yang hendak ditawarkan oleh Wan untuk membuat penonton meringkuk di kursi bioskop? Walau tak memberi mimpi buruk sempurna sesuai pengharapan yakni melampaui (atau minimal, memberi efek serupa) sang predesesor, Insidious: Chapter 2 tetap berhasil menghantarkan sajian yang memunculkan rasa berdebar-debar di sejumlah titik. Dengan adanya penurunan di seri kedua sementara Insidious masih diniatkan untuk berlanjut, benih-benih kekhawatiran mulai menampakkan wujudnya. Terlebih, Wan tidak lagi mengurusi penyutradaraan maupun penulisan skrip demi Furious 7.
Yang diinginkan oleh seorang gadis remaja bernama Quinn Brenner (Stefanie Scott) hanya satu: berkomunikasi dengan sang ibu yang telah berpulang. Mencoba melakukan panggilan ke alam baka tanpa didampingi profesional, upaya Quinn berakhir petaka saat makhluk penghuni astral yang jahat justru mendengarnya. Meneror tiada henti gadis malang tersebut, bahkan tak segan-segan membuatnya celaka. Tatkala hujaman teror ini semakin tidak terkendali, ayah Quinn yang semula tidak mempercayai tetek bengek berhubungan dengan dunia supranatural, Sean (Dermot Mulroney), pun meminta bantuan kepada Elise (Lin Shaye) untuk menyelamatkan putrinya. Tidak mudah bagi Sean meyakinkan Elise untuk kembali berkecimpung ke ranah yang coba ditinggalkannya mengingat Elise masih menyimpan ketakutan dari masa lalu. Lantaran sang cenayang seolah tak bisa diharapkan sementara kondisi Quinn semakin memprihatinkan, Sean lantas menghubungi duo blogger pengusir hantu, Tucker (Angus Sampson) dan Specs (Leigh Whannell), yang malah membawa persoalan ke arah lebih pelik.
Menilik dari sinopsis ini, penonton segera tahu alih-alih melanjutkan apa yang tertinggal di penghujung jilid kedua, Insidious: Chapter 3 difungsikan sebagai prekuel. Leigh Whannell – kolega setia Wan sejak era Saw – yang mengambil alih posisi Wan mencoba menjlentrehkan sekelumit latar belakang dari salah satu tokoh penting di franchise ini, sang cenayang Elise. Keputusan yang diambil oleh Whannel ini bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ini menarik terlebih bagi penggemar berat dari jilid pertama karena memperoleh kesempatan untuk berkenalan lebih jauh dengan sosok Elise yang selama ini cukup diketahui sebagai sang pemecah masalah belaka. Lin Shaye pun menunjukkan performa sangat memuaskan sebagai Elise sehingga sulit bagi penonton untuk tidak bersimpati (maupun memberi dukungan, utamanya di salah satu adegan ‘tarung’) kepada tokoh ini. Tapi di sisi lain, lantaran terlampau keasyikan mengutak-atik origins Elise, Whannell cenderung menelantarkan penceritaan dari sisi keluarga Brenner yang mendadak kehilangan daya tariknya setelah Quinn diteror habis-habisan sehingga kita tidak begitu peduli terhadap kemalangan yang menimpa keluarga Brenner.
Skrip racikan Whannell yang mulai terasa melembek memasuki babak kedua ini, sedihnya, diperparah pula oleh gelaran adegan seramnya yang, errr... tidak menyeramkan. Dibandingkan dengan duo jilid pendahulu, tingkat keseraman Chapter 3 bisa dibilang menurun secara cukup drastis. Whannell jelas bukan Wan yang sanggup memberi takaran berimbang dalam membangun nuansa mencekam penuh ketidaknyamanan seraya menggeber jump scares tepat guna yang membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop. Agar suasana bioskop tetap riuh oleh suara-suara penonton dalam merespon adegan yang terpampang di layar, Whannell bergantung sepenuhnya pada jump scares penggedor jantung (berkualitas rendah) dengan skoring di titik maksimal yang seringkali ditempatkan sekenanya. Momen yang tergolong cukup efektif dalam menciptakan jerit heboh pada menit-menit awal mulai berasa hambar lantaran repetitif. Si villain, meski wujudnya disturbing, juga tidak digambarkan semengancam Lipstick-Face Demon. Jika ada yang membuat Chapter 3 masih layak berada di level terhormat ketimbang sederet film seram keluaran Hollywood dalam beberapa tahun terakhir, selain akting kuat dari para pelakonnya adalah kemampuannya dalam memainkan emosi penonton melalui guliran pengisahan yang emosional sekaligus kocak. Cara Whannell dalam menakut-nakuti memang tidak segarang sang predesesor, tapi jelas masih jauh lebih baik ketimbang film boneka setan beberapa waktu silam (Yes, I'm talking to you, Annabelle).
Acceptable
more to a drama-horror movie than horror movie
ReplyDeletelebih melodramatis dan mendayu-dayu
not bad, but I was expecting horror movie..
kuciwa lah..
Kalau saya malah ngerasa sisi dramanya ini yang agak nyelametin filmnya, terutama di bagian ending :)
ReplyDelete