“Nature made me a freak. Man made me a weapon. And God, made it last too long.”
Menorehkan kesuksesan dari sisi komersil maupun kritik, Deadpool membuktikan bahwa tidak apa-apa mengkreasi sebuah superhero movie yang dilabeli rating R (17 tahun ke atas). Apabila materi sumbernya memang menghendaki demikian, mengapa tidak? Menahan-nahan potensi demi memperoleh rating usia lebih rendah agar dapat menjangkau lebih banyak penonton malah seringkali hanya membawa dampak kurang baik bagi filmnya itu sendiri. Lesson learned. Belajar dari capaian sang “saudara seperguruan” – sesama superhero asal Marvel Comics yang hak pembuatan film dipegang oleh Fox – James Mangold yang juga menggarap The Wolverine (2013) memutuskan untuk membawa instalmen terakhir dalam rangkaian film mengenai si mutan bercakar adamantium bertajuk Logan ini dengan gaya cenderung berbeda dari sebelumnya. Tidak hanya berbeda dari rentetan seri X-Men tetapi juga film-film superhero yang diadaptasi dari komik keluaran Marvel. Logan berani memasuki teritori “dewasa” yang selama ini cenderung dihindari oleh film sejenis. Konsekuensi dari keputusannya, Logan lebih leluasa dalam menggulirkan tuturannya tanpa harus takut akan terlalu muram atau brutal bagi penonton muda.
Logan mengambil latar penceritaan di tahun 2029 kala mutan telah berada pada ambang kepunahan menyusul dilepasnya virus oleh Transigen. Beberapa mutan yang masih bertahan hidup; Logan (Hugh Jackman), Charles Xavier (Patrick Stewart), serta Caliban (Stephen Merchant), kondisinya pun cukup memprihatinkan. Logan yang kini memperoleh penghasilan sebagai supir limo telah menua dengan kemampuan regenerasinya tak lagi berfungsi seperti semestinya dan adamantium yang tertanam di dalam tubuhnya perlahan tapi pasti mulai meracuninya. Dibantu oleh Caliban yang mampu melacak keberadaan mutan, Logan merawat Charles yang menderita Alzheimer di usia memasuki kepala 9 serta tak lagi bisa mengendalikan kekuatannya yang konon dapat memicu kematian massal jika tidak segera ditangani. Mereka menjalani hari demi hari yang monoton di sebuah gudang tak terpakai dekat perbatasan Meksiko guna menghindari hal tak diinginkan sampai kemudian kedatangan seorang gadis cilik berusia 11 tahun, Laura (Dafne Keen), merubah segalanya. Konon, Laura yang mewarisi DNA Logan tengah diburu Transigen. Demi menyelamatkan nyawa Laura, Logan dan Charles pun menempuh perjalanan darat panjang menuju Eden, sebuah suaka bagi para mutan.
Pernahkah kamu dibuat bertanya-tanya, bagaimana kehidupan para superhero di masa tua? Apakah kekuatan mereka masih setara atau kian meredup seiring berlalunya usia? Kalau nyatanya mereka beralih tak ubahnya manusia mortal, akankah jauh dari hingar bingar pertempuran membuat mereka menemukan kedamaian atau justru sebaliknya? Apabila ya kamu pernah mempertanyakannya, berbahagialah karena James Mangold menjajal menjlentrehkan jawaban-jawabannya melalui Logan. Dengan gagasan utama terkait “superhero pensiun”, bisa dimaklumi tatkala Mangold tidak menyulap Logan sebagai spektakel yang penuh laga-laga bombastis sekalipun jilid ini dimaksudkan sebagai seri perpisahan terhadap sosok Wolverine. Pendekatannya realistis menuju muram yang mencoba menekankan bahwasanya para superhero ini tetaplah makhluk fana tanpa kemampuan khususnya, laju pengisahannya pun cenderung lambat mula-mula utamanya ketika penonton diajak berkenalan lagi dengan Logan maupun Charles Xavier (Professor X) yang ditampilkan dalam citra berbeda jauh dari tangguh seperti telah penonton kenal di film terdahulu. Logan yang alkoholik dirundung krisis jati diri, sementara Charles yang kian melemah terkadang kesulitan mengingat identitas para perawat setianya.
Pun begitu, bukan berarti Logan lupa untuk bersenang-senang. Kemunculan Laura menjadi titik awal dari bergegasnya alunan film. Ancaman terhadap mutan-mutan tersisa ini kian terpampang jelas. Melalui adegan-adegan pertarungan yang mengharuskan Logan terjun langsung ke lapangan, kentara terasa satu lagi perubahan signifikan yang diaplikasikan Mangold disamping nada penceritaan yang gelap: cakar Logan menunjukkan tajinya. Akhirnya untuk pertama kalinya, penonton mendapatkan bukti meyakinkan bahwa memancing kemarahan seorang Wolverine akan mendatangkan petaka hebat. Tersayat yang menimbulkan luka dalam, isi tubuh terburai, sampai kepala terpenggal ditambah efek warna merah menghiasi layar adalah pemandangan yang akan kamu dapatkan tiap kali Logan/Wolverine memasuki medan pertempuran. Brutal! Dari segi kuantitas, jumlah pertarungan yang melibatkan si karakter tituler memang tidak terlalu banyak (jangan pula berharap akan digenjot tanpa henti), namun begitu muncul, kualitasnya senantiasa berada di atas rata-rata. Mangold harus diakui jempolan dalam urusannya menentukan kapan waktu yang tepat untuk menggeber sekuens laga dan bagaimana seharusnya ditampilkan.
Dan, si pembuat film pun cukup mahir mengeksekusi momen-momen dramatik film terlebih kala memotret relasi hangat yang terbentuk antara Logan dengan Charles dan Laura, meski agak disayangkan ada kalanya kesan berpanjang-panjang cukup melelahkan dapat dirasakan di paruh akhir film. Keputusan Mangold untuk menampilkan Logan dari sudut pandang lain tentu akan sulit diterima tanpa sokongan akting bagus jajaran pemainnya. Hugh Jackman telah mengalami perkembangan amat pesat, Patrick Stewart tunjukkan kelasnya sebagai aktor senior, dan Dafne Keen memberi kejutan menyenangkan yang sedikit banyak mengingatkan saya pada Chloe Grace Moretz di Kick-Ass. Terima kasih kepada mereka – selain tentunya pengarahan Mangold dan naskah apik, penonton dapat memberikan simpatinya untuk ketiga karakter utama. Semacam muncul rasa getir menyaksikan sosok yang dulunya begitu perkasa dalam menaklukkan musuh-musuhnya, sekali ini tertatih-tatih. Tapi ada pula rasa hangat karena film memberi kesempatan bagi penonton untuk menengok kebersamaan Logan, Charles, dan Laura bak keluarga kecil bahagia berbalut sejumput humor lucu yang hampir tidak tersentuh di instalmen lain. Menarik.
Note: Tidak ada post-credits scene di Logan. Jadi buat yang sudah kebelet hendak ke toilet, silahkan ngibrit.
Exceeds Expectations (3,5/5)
artikelnya menarik
ReplyDeletejangan lupa kunjungan balik ya
http://widbell.blogspot.co.id/
apa yg dilakukan di dofp adalah sia2. tanpa sentinel pun mutant tetap saja punah. bah....
ReplyDeleteAturan tidak tertulis saat hendak nonton film dalam semesta X-Men: lupakan film-film sebelumnya. Pusing sendiri kalau mikirin keterkaitan antara satu sama lainnya. :)))
DeleteKasian si prof x, tanpa sadar dia sampe bunuh member x-men lainnya kan, sedihnya hidup dr rasa bersalah itu ðŸ˜
ReplyDeleteIyaaa. Makanya sewaktu Prof X bilang, "ini adalah malam terindahku", rasanya nyes banget dan nggak berasa basah aja mata.ðŸ˜
Delete....dan koor bareng penonton lain karena udah nunggu ampe abis post creditnya gak ada...hahaha
ReplyDeleteHahaha. Yang sabar yaa. Banyak juga yang ketipu. Bukan korban dari Twitter kan?
DeleteLogan nggak ada post credit scene, tapi Kong Skull Island ada :)
oya mo nanya, pendapat Cinetariz tentang X-Men 3 the last stand,dmn diceritakan klo para mutan semua sdh disembuhkan dengan obat yg ditemukan pemerintah, jd trakhirx mrk pd jd manusia normal smpe si mistique pun langsung berubah normal pas kena obat yg ditembakkan ke dirinya... Jd mestinya cerita Logan ini gak usah dibuat... krn shrsx setiap sekuel hrs merujuk pd cerita film sblmx....
ReplyDeleteItulah problematika franchise ini. Makanya seperti responku ke salah satu komentar, abaikan saja soal kontinuitas. Bakalan pusing karena timeline-nya emang kacau banget. Logan juga lebih ke stand alone film sih bukan sekuel jadi bisa dipahami lah. Tapi ya itu, lupakan saja seri sebelumnya.
DeleteTrilogi X-Men yg orisinil menjadi tdk ngaruh lagi ke timeline cerita karena semuanya sdh berubah di day of future past...
DeleteIm sorry,logan terlalu mengambil alur cerita dr game THE LAST OF US, sy agak kecewa malah dengan film ini
ReplyDelete