August 30, 2018

REVIEW : SEARCHING


“I didn't know her. I didn't know my daughter.” 

Tanyakan kepada dirimu sendiri, seberapa jauhkah kamu mengenal keluargamu? Apakah kamu yakin telah mengenal mereka luar dalam sampai-sampai meyakini bahwa tidak ada rahasia tersembunyi diantara kalian? Apakah kamu yakin seseorang yang kamu temui saban hari sedari pertama kali mengenal dunia ini adalah seseorang yang sama saat keluar dari lingkungan keluarga? Sederet pertanyaan ini mungkin terdengar sedikit berlebihan bagimu karena semestinya (secara nalar) pihak yang paling memahami seluk beluk diri ini adalah keluarga, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, menilik fakta bahwa masyarakat modern memiliki kesibukan luar biasa dalam aktifitas di luar rumah dan kerapkali menganggap teknologi sebagai solusi bagi tereduksinya komunikasi intens secara langsung, mungkinkah kita benar-benar mengenal keluarga kita? Atau jangan-jangan ternyata selama ini kita tidak pernah mengenal siapa mereka yang sesungguhnya? Glek. Menyadari bahwa kemungkinan-kemungkinan tersebut sangat mungkin terjadi dewasa ini, sutradara pendatang baru Aneesh Chaganty pun memutuskan untuk memanfaatkannya sebagai fondasi bercerita bagi film perdananya yang bertajuk Searching. Di sini, Chaganty tak sebatas memberikan komentar sosial yang mengena perihal parenting beserta efek samping teknologi, tetapi juga menghadirkan sebuah gelaran thriller mendebarkan mengenai perjuangan seorang ayah dalam mencari putrinya yang mendadak raib tanpa jejak. 

August 28, 2018

REVIEW : MILE 22


“If you're chaos, I think I might be worse. I am a killer who looks like a hero.” 

Berdasarkan pengamatan saya, setidaknya ada dua faktor yang mendorong sebagian masyarakat Indonesia untuk rela berbondong-bondong memenuhi bioskop demi menyaksikan Mile 22. Bukan, bukan karena film ini menandai kolaborasi keempat antara Peter Berg selaku sutradara dengan Mark Wahlberg setelah Lone Survivor (2013), Deepwater Horizon (2016), dan Patriots Day (2016), yang kesemuanya mampu tersaji menegangkan sekaligus emosional tersebut. Mereka bersedia merogoh kocek serta menghabiskan waktu selama 90 menit di dalam bioskop karena: a) Mile 22 memiliki materi promosi menarik yang menjanjikan maraknya baku tembak di sepanjang durasinya, dan b) Untuk pertama kalinya Iko Uwais mendapat peran penting dalam film laga buatan Amerika Serikat berskala cukup besar setelah sebelumnya lebih sering berlakon di film low profile dengan jatah tampil seimprit. Disamping ketiga faktor di atas (Oh ya, saya juga tertarik dengan kolaborasi Berg-Wahlberg karena sejauh ini belum pernah mengecewakan), ada alasan lain yang membuat Mile 22 terlihat keren di atas kertas. Mile 22 mengusung jalinan pengisahan yang menempatkannya di jalur thriller spionase dan film turut merekrut atlet bela diri campuran, Ronda Rousey, untuk beradu akting dengan Iko yang dikenal jago pencak silat. Jika sudah begini, siapa bisa menolak pesona yang ditawarkan oleh Mile 22 

August 27, 2018

REVIEW : CHRISTOPHER ROBIN


“People say nothing is impossible, but I do nothing every day.” 

Jangan tertukar dengan Goodbye Christopher Robin (2017) rekaan Simon Curtis yang dibintangi oleh Domhnall Gleeson dan eneng Margot Robbie, Christopher Robin adalah adaptasi live action untuk rangkaian film animasi Winnie the Pooh keluaran Disney layaknya Maleficent (2014) atau Cinderella (2015). Guliran pengisahannya murni berpijak di area fantasi, alih-alih seperti film berjudul nyaris sama yang berkutat di area biopik dengan menyoroti kisah hidup si pencipta dongeng para penghuni Hundred Acre Wood, A.A. Milne. Dalam Christopher Robin (ingat, tanpa embel-embel kata Goodbye ya!), Marc Forster yang sebelumnya membesut film-film kece seperti Finding Neverland (2004) beserta Stranger than Fiction (2006) ini mengetengahkan pada ajang reuni antara si karakter tituler dengan teman-teman masa kecilnya, termasuk Pooh si beruang madu, usai berpisah puluhan tahun. Penonton tak semata-mata diajak bernostalgia dengan mengikuti petualangan polos Pooh beserta kawan-kawannya seperti dituangkan dalam film-film animasinya (terakhir kali mereka berkelana bersama pada tahun 2011 silam melalui Winnie the Pooh), melainkan turut diperdengarkan narasi dengan nada penceritaan yang lebih dewasa, kompleks, dan muram terkait krisis paruh baya. Sebuah pendekatan yang terbilang cukup berani mengingat film ini mengincar keluarga sebagai target utamanya – disamping para penggemar Pooh, tentu saja.  

August 24, 2018

REVIEW : SESAT


“Yang namanya setan itu, nggak ada yang gratisan.” 

Selama empat pekan berturut-turut di bulan Agustus ini, khalayak ramai yang bertandang ke bioskop ditawari tontonan memedi dengan kualitas beragam. Diawali oleh Kafir Bersekutu dengan Setan yang terbilang baik, lalu dilanjut Sebelum Iblis Menjemput yang ciamik, kemudian diteruskan oleh Gentayangan yang bikin kepala nyut-nyutan, parade film horor tanah air di bulan Agustus ini diakhiri dengan Sesat produksi Rapi Films (penghasil Pengabdi Setan). Tidak seperti dua film pertama – lebih mendekati ke film pekan lalu – Sesat kurang terlihat menggiurkan apabila hanya berpatokan pada materi promonya. Generik adalah kesan pertama yang diperoleh usai menengok trailernya. Jika ada yang menarik perhatian saya sehingga kekeuh untuk tetap mencicipi Sesat di layar lebar adalah jejak rekam sang sutradara, Sammaria Simanjuntak. Dia adalah sosok dibalik keberhasilan dua film indie, Cin(t)a (2009) dan Demi Ucok (2013), yang bolak-balik ke berbagai panggung penghargaan film. Menengok apa yang telah diperbuatnya untuk dua film tersebut, saya tak memiliki keraguan bahwa Sammaria bisa mengkreasi film bagus. Yang kemudian menggelitik keingintahuan saya ketika hendak menonton Sesat adalah sejauh mana kapabilitasnya dalam menggarap film horor yang jelas bukan berada di zona nyamannya. Akankah dia mampu menangani tantangan ini sebaik film drama atau justru menghadapkannya pada kesulitan besar?

August 20, 2018

REVIEW : ROMPIS


“Rindu itu sunyi, tak perlu ada bunyi.” 

Saya bukanlah penonton setia sinetron remaja berjudul Roman Picisan the Series yang mengudara di RCTI pada tahun 2017 silam dan sempat ngehits di kalangan anak muda usia belasan. Tidak bermaksud untuk congkak, hanya saja bagi saya serial yang disadur dari film berjudul sama dari era 1980-an dengan bintang Rano Karno beserta Lidya Kandou ini tak ubahnya sinetron kebanyakan dengan penceritaan yang bikin kepala pusing. Mencoba untuk menjajalnya di salah satu episode, bendera putih seketika saya kibarkan dan tak ada niatan sedikitpun untuk menjajalnya kembali. Maka begitu kisah kelanjutannya dibuat dalam format film layar lebar dengan judul Rompis (Roman Picisan), hati ini tak tergerak buat menyantapnya. Alasannya sederhana; diri ini tak pernah terikat dengan kisah asmara dua karakter utamanya, lantas mengapa saya mesti bergegas untuk mencari tahu apa yang akan terjadi kepada mereka? Nyaris memutuskan untuk melewatkannya saja, niatan seketika berubah ketika satu dua kawan membujuk rayu saya dengan berkata singkat, “filmnya unyu lho.” Sebagai pecandu film unyu, saya jelas termakan oleh bujukan tersebut sehingga saya memilih untuk menyaksikan Rompis di bioskop. Tanpa membawa ekspektasi macam-macam kala hendak ke bioskop, hati ini jelas bungah begitu mendapati bahwa Rompis memang seunyu (dan semenyenangkan) itu. 

August 19, 2018

REVIEW : DOA - DOYOK OTOY ALI ONCOM: CARI JODOH


“Jangankan bini, pacar aja lo belum punya.” 
“Gosipnya, lo kaga suka perempuan.” 
“Samber gledek. Aku ini pemilih.” 
“Pemilih yang kagak dipilih orang ya kagak jadi apa-apa juga.” 

Generasi muda jaman now, mungkin baru mengenal karakter tiga serangkai; Doyok, Otoy, dan Ali Oncom dari serial animasi bertajuk DOA (akronim dari tiga nama karakter utamanya) yang tayang di MNCTV sejak beberapa bulan silam. Tapi bagi generasi yang lebih sepuh, mereka bertiga telah dikenal sedari dipublikasikan secara terpisah dalam kolom Lembergar (Lembaran Bergambar) di harian Pos Kota. Karakteristik ketiganya yang merepresentasikan sebagian warga ibukota negara, bisa disederhanakan sebagai berikut; Doyok adalah perantau dari Jawa dengan pemikiran kritis serta hobi nyinyir, Otoy yang berasal dari Sunda kerap menjadi sasaran bulan-bulanan mertuanya yang galak, dan Ali Oncom yang anak Betawi asli seringkali berangan-angan memiliki segudang uang. Meski tak berada di satu jalur pengisahan dalam komik stripnya, mereka lantas dipertemukan satu sama lain di serial animasi DOA yang kemudian berlanjut diejawantahkan ke versi live action dengan judul DOA (Doyok, Otoy, Ali Oncom): Cari Jodoh. Seperti tertera dalam subjudulnya, film yang disutradarai oleh Anggy Umbara (Comic 8, Insya Allah Sah! 2) ini menyoroti tentang sepak terjang ketiga karakter tituler dalam misi pencarian jodoh untuk Doyok (Fedi Nuril) yang masih betah melajang di usia memasuki kepala empat. 

August 18, 2018

REVIEW : ALONG WITH THE GODS: THE LAST 49 DAYS


“No humans are innately bad, there are only bad circumstances.” 


Dirilis di bioskop tanah air pada permulaan tahun ini, Along with the Gods: The Two Worlds yang disadur dari webtoon rekaan Joo Ho-min mampu membuat saya terkesima. Tanpa perlu mengerahkan seluruh tenaga untuk menceramahi penonton disana sini seperti sebagian besar film reliji buatan dalam negeri, The Two Worlds sanggup mendorong saya untuk buru-buru bertobat usai mengikuti perjalanan si protagonis dalam mengikuti persidangan di akhirat yang mengingatkan kita bahwa dosa sekecil apapun nantinya akan dipertanggungjawabkan. Glek! Dalam perjalanan tersebut, Kim Yong-hwa (200 Pounds Beauty, Take Off) selaku sutradara menunjukkan kreativitasnya dalam memvisualisasikan alam baka – terdapat kategorisasi neraka – dan kapabilitasnya dalam mengaduk-aduk emosi melalui narasi sederhana yang memperbincangkan tentang pengorbanan, karma, serta moralitas. Perjalanan ini memang menjumpai akhir bagi protagonis kita yang lantas mendapat label suri tauladan (Paragon) secara resmi, tapi si pembuat film tidak memberhentikan narasi hanya sampai di sana. Lewat babak kedua yang diberi subjudul The Last 49 Days, pengadilan akhirat dialihkan ke karakter si adik protagonis yang menjelma menjadi roh pendendam dan masa lalu dari ketiga malaikat kematian akhirnya dijlentrehkan. 

August 16, 2018

REVIEW : THE EQUALIZER 2


“We all got to pay for our sins.” 

Sepintas lalu, Robert McCall (Denzel Washington) tampak seperti pria paruh baya yang mencintai kedamaian. Jangankan beradu argumen dengan seseorang yang memiliki perspektif bertentangan dengannya, untuk sebatas membunuh seekor nyamuk yang berlalu lalang mengganggu tidurnya di malam hari saja, dia sepertinya enggan melakukannya. Ya, McCall terlihat sangat normal, sangat baik hati, dan sangat bijaksana. Orang-orang di sekitarnya merasa segan kepadanya karena dia menunjukkan wibawa dari seorang pria terhormat, bukan karena dia memiliki tatapan atau tendangan yang mematikan. Di jilid perdana The Equalizer yang didasarkan pada serial televisi berjudul sama dari era 1980-an, McCall tak ubahnya rekan kerja yang bijaksana dan bukan penggemar intrik kantor. Dalam The Equalizer 2 yang masih ditangani oleh Antoine Fuqua (Training Day, The Magnificent Seven), dia bertransformasi menjadi seorang pengemudi taksi online yang berkenan meminjamkan telinganya untuk mendengar keluh kesah penumpangnya sekaligus seorang tetangga yang ramah dan bersedia mengulurkan bantuan bagi siapapun yang membutuhkan. Jika berpatokan pada pembawaan serta penampilannya yang cenderung santun ini, siapa sih bisa mengira bahwa McCall dibekali pelatihan dan kemampuan mumpuni untuk membekuk lawannya dalam satu kali percobaan? 

August 13, 2018

REVIEW : SLENDER MAN


“He gets in your head like a virus. Some he takes, some he drives mad. Once you see him, you can't unsee him.” 

Dua hari silam selepas menonton Slender Man, saya berbincang dengan kekasih melalui telepon genggam. Saat saya mengatakan bahwa ini adalah film horor, terdengar nada terkaget-kaget dari ujung telepon. “Hah, ini film horor? Saya kira film superhero lho karena ada 'man-man'-nya,” begitu kata doi. Awalnya sih diri ini hanya bisa terkekeh mendengar kepolosannya, tapi kemudian tak berselang lama saya tersadar, siapa ya yang sekarang masih mengingat (atau setidaknya mengetahui) mengenai sosok Slender Man di Indonesia? Rasa-rasanya, kecuali mereka memang menaruh minat pada cerita supranatural dan gemar berselancar di dunia maya sedari satu dekade lalu, tidak banyak yang akrab dengan makhluk gaib fiktif rekaan Eric Knudsen ini. Ketenaran dari sosok yang dideskripsikan memiliki tubuh amat ramping, tanpa wajah, dan mengenakan jas ini sendiri dimulai usai sang kreator memenangkan kompetisi Something Awful. Penggambaran beserta mitologinya yang creepy (konon, dia mempunyai kebiasaan menculik anak kecil serta memburu siapapun yang mencari tahu tentang latar belakangnya!) membuatnya kerap diperbincangkan di internet sampai-sampai menginspirasi tercetusnya web series, permainan video, sampai upaya pembunuhan dari dua bocah berusia 12 tahun yang menggegerkan seantero Amerika di tahun 2014 silam. 

August 10, 2018

REVIEW : SEBELUM IBLIS MENJEMPUT


“Ada sesuatu di rumah ini. Sesuatu yang menunggu kita.” 

Melalui Pengabdi Setan (2017), Joko Anwar telah menetapkan standar baru bagi film horor Indonesia. Sebuah standar cukup tinggi yang menyebabkan puluhan film dari genre sejenis yang rilis selepasnya terlihat cemen lantaran kewalahan untuk merengkuhnya. Memang ada beberapa yang cukup mendekati, seperti Mereka yang Tak Terlihat, Mata Batin, sampai Kafir Bersekutu dengan Setan, tapi lebih banyak yang berakhir dengan kegagalan sekalipun telah mati-matian mengekor. Untuk sesaat, saya sempat skeptis dengan masa depan film horor tanah air yang kembali menunjukkan gelagat jalan di tempat. Akan tetapi, setelah satu demi satu kontender untuk menaklukkan kedigdayaan 'filmnya Ibu' bertumbangan dengan mudah, muncul secercah harapan tatakala Timo Tjahjanto yang memiliki afeksi sama tinggi terhadap tontonan seram seperti halnya Joko menjajal peruntungannya melalui Sebelum Iblis Menjemput. Apabila kamu telah menyaksikan kinerja Timo dalam mengkreasi tontonan seram lewat Rumah Dara (2009), L is for Libido (2012) maupun Safe Haven (2013) yang permainan visualnya sungguh sinting itu, tentu tidak memiliki keraguan terhadap Sebelum Iblis Menjemput. Dan memang, Timo tak mengkhianati kepercayaan mereka yang menaruh kepercayaan kepadanya karena film teranyarnya ini bersedia untuk mengelaborasi kata 'gila' kepada para penonton. 

August 9, 2018

REVIEW : THE MEG


“Men versus Meg is not a fight, it's slaughter.” 

Bagi pemburu tontonan eskapisme, film terbaru yang dibintangi oleh Jason Statham, The Meg, terlihat memenuhi segala kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi sajian penghempas beban pikiran. Betapa tidak, film ini mengedepankan Jason Statham yang notabene aktor laga seru-seruan di jajaran pemain utama, sederet promonya menjual The Meg sebagai perpaduan antara Jaws (1975) yang legendaris itu dengan Deep Blue Sea (1999) yang seru itu, dan premisnya menjanjikan kita sebuah pertarungan tak terlupakan antara manusia dengan hiu purbakala yang amit-amit gedenya. Sederet kombinasi yang tampaknya tak mungkin salah apabila ekspektasi kita dalam menyaksikannya di layar lebar telah diatur secara tepat, yakni memperoleh tontonan seru pengisi waktu senggang yang tidak memerlukan kinerja otak dan mempersilahkan para penontonnya untuk bernyaman-nyaman di kursi bioskop seraya mencemil berondong jagung. Saya pun memboyong ekspektasi senada ke gedung bioskop – bahkan jauh di dalam lubuk hati berharap film ini akan sereceh Sharknado (2013) – yang sayangnya itupun sulit dipenuhi oleh The Meg yang terasa kurang bergigi untuk ukuran sebuah film mengenai teror hiu ganas.

August 7, 2018

REVIEW : DETECTIVE CONAN: ZERO THE ENFORCER


“You get really serious when it comes to Mori Kogoro, don't you? Or rather, is it for Ran?” 

Ada ketidakpuasan yang menggelayuti diri pasca menonton seri kedua puluh satu dari versi layar lebar Detective Conan, Crimson Love Letter (2017). Penyebabnya, permainan Karuta (kartu bergambar khas Jepang) yang menjadi fondasi utama untuk kasus di instalmen ini hanya bisa dipahami daya tariknya oleh masyarakat Jepang beserta mereka yang menaruh perhatian khusus terhadap budaya Jepang. Diluar kelompok tersebut, ada kemungkinan terserang kejenuhan maupun kebingungan selama menontonnya. Sungguh disayangkan, mengingat beberapa seri terakhir dalam rangkaian film Detective Conan terus mengalami eskalasi dari sisi kasus yang semakin lama semakin mencengkram terlebih saat Conan Edogawa dihadapkan pada musuh bebuyutannya: Organisasi Jubah Hitam. Selepas tersandung di Crimson Love Letter yang membuat saya bolak-balik menguap seraya melirik ke jam tangan tersebut, cap dagang ini akhirnya kembali mengasyikkan buat diikuti dalam jilid kedua puluh dua yang menggunakan subjudul Zero the Enforcer. Menghembuskan isu berkenaan dengan terorisme, konspirasi politik, sampai kejahatan siber, Zero the Enforcer tak saja sanggup merebut atensi sedari awal berkat narasinya yang menggugah selera tetapi juga mampu berdiri tegak di jajaran instalmen terbaik dalam rangkaian film Detective Conan

August 5, 2018

REVIEW : KAFIR BERSEKUTU DENGAN SETAN


“Kamu tahu, kalau orang meninggal belum 40 hari, arwahnya masih ada di sini.” 

Ketika pertama kali mengetahui proyek film horor berikutnya dari Starvision berjudul Kafir, dahi ini mengernyit secara otomatis. Yang melintas di pikiran saat itu adalah film berjudul sama (dari rumah produksi sama) rilisan tahun 2002 yang dibintangi oleh Sudjiwo Tedjo dan Meriam Bellina. Secara finansial, film tersebut memang beroleh untung. Akan tetapi, jika kamu pernah menontonnya, rasa-rasanya kita sepaham bahwa Kafir ini mempunyai kualitas penggarapan yang, errr... buruk. Maka begitu mendengar keberadaan film bertajuk Kafir Bersekutu dengan Setan yang ndilalah dibintangi juga oleh Sudjiwo Tedjo, saya kebingungan. Apakah ini berwujud remake, prekuel, atau sekuel? Usai beberapa materi promo dilepas, hingga akhirnya menyaksikan sendiri film ini di layar lebar, saya bisa menyimpulkan bahwa letak persamaan dari dua film ini hanya sebatas pada judul, rumah produksi, serta peran yang dimainkan oleh Presiden Jancukers. Tidak pernah lebih. Malah, Kafir Bersekutu dengan Setan yang diarahkan oleh Kinoi Azhar Lubis (Jokowi, Surat Cinta Untuk Kartini) ini mencoba bereksperimen dengan menghadirkan pendekatan berbeda dibandingkan film-film horor lokal pada umumnya yang menjunjung tinggi penampakan hantu berlebih dan skoring musik berisik. Sebuah eksperimen yang layak diapresiasi, meski tak sepenuhnya berhasil.  

August 4, 2018

REVIEW : SI DOEL THE MOVIE


“Selama ini Bang Doel juga selalu nyariin Sarah. Kan Bang Doel nggak bisa ngelupain Sarah. Bang Doel tu masih cinta sama Sarah.” 

Anak Betawi ketinggalan zaman, katenye... 
Anak Betawi nggak berbudaye, katenye... 

Apa kamu familiar dengan penggalan lirik di atas? Jika kamu pernah merasakan gegap gempita era 1990-an, rasa-rasanya mustahil tidak mengenali lirik dari lagu tema untuk salah satu sinetron legendaris Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan. Mengudara pertama kali di kanal televisi RCTI pada tahun 1994, sinetron ini menjadi buah bibir pada masanya dan dikategorikan sebagai acara wajib tonton. Jika kamu tidak tahu menahu mengenai sinetron ini, jangan bayangkan formula yang diterapkannya menyerupai sinetron zaman sekarang yang tayang saban hari dengan plot yang bikin darah mendidih. Si Doel Anak Sekolahan hanya tayang setidaknya sekali seminggu dan narasi yang ditawarkannya pun membumi. Dekat dengan realita. Ini salah satu alasan yang membawanya ke puncak popularitas, disamping memiliki penulisan karakter yang kuat. Siapa sih yang bisa melupakan Doel, Sarah, Zaenab, Babe, Mak Nyak, Mandra, Atun, Engkong, sampai Mas Karyo? Hingga bertahun-tahun setelah sinetron ini resmi rampung pada tahun 2006, nama-nama tersebut masih terus dikenang dan melekat di ingatan. Itulah mengapa saat tren sekuel atau remake untuk film legendaris mengemuka di perfilman Indonesia, mencuat pengharapan dalam diri ini untuk melihat mereka kembali berlakon sekalipun sudah tidak dalam formasi utuh (beberapa pemain inti telah meninggal dunia). Terlebih, kisah cinta segitiga Doel-Sarah-Zaenab sejatinya belum menjumpai titik terang sehingga sang kreator, Rano Karno, masih memiliki materi mencukupi untuk dikembangkan lebih lanjut. 

August 3, 2018

REVIEW : BROTHER OF THE YEAR


“I can really make Jane break up with you.” 

Selepas menyuguhkan kita dengan sebuah tontonan high-concept yang mengusung genre heist thriller dalam Bad Genius, rumah produksi terkemuka di perfilman Thailand, GDH 559, mencoba kembali ke akarnya di tahun 2018 ini melalui Brother of the Year arahan Witthaya Thongyooyong (My Girl, 4Bia) yang bermain-main di ranah drama komedi sederhana. Tak seperti beberapa judul terdahulu lepasan GDH 559 yang kerapkali mengapungkan tema percintaan atau persahabatan, Brother of the Year – sesuai dengan judulnya – mencoba mengulik tentang persaudaraan atau lebih spesifik lagi, persaingan antar saudara (dalam hal ini kakak adik kandung). Sebuah konflik internal yang entah disadari atau tidak rasa-rasanya pernah dialami oleh siapapun yang memiliki kakak atau adik. Sebuah konflik yang sulit terhindarkan tatkala sang kakak/adik mempunyai keunggulan dalam prestasi, keunggulan dalam penghasilan, sampai keunggulan dalam asmara, sehingga memunculkan pernyataan bernada nyelekit dari orang tua seperti “tuh, kakak atau adikmu saja bisa, masa kamu tidak sih?.” Beranjak dari pengalaman pahit yang sangat mungkin dirasakan sebagian orang ini, Brother of the Year pun mengajukan premis relevan yang berbunyi; bagaimana jika kakak atau adikmu yang jauh dari kata 'ideal' merusak kehidupanmu yang telah kamu anggap 'sempurna'? 

Mobile Edition
By Blogger Touch