“Bapak nggak salah.”
Dalam kasus pelecehan seksual,
siapa sebetulnya yang patut dipersalahkan dan semestinya menerima ganjaran atas
“ketidakberdayaannya”? Apakah pelaku yang tunduk kepada hawa nafsunya atau
korban yang tak kuasa dalam memberi perlawanan? Apabila fungsi hukum
diberlakukan secara semestinya serta bersedia patuh pula pada akal sehat maupun
bukti-bukti, maka sudah barang tentu pelaku adalah pihak yang sepatutnya
bertanggungjawab. Sebab, mereka telah memaksakan kehendak kepada orang yang tak
pernah memberikan persetujuan atas tindakan-tindakan mereka. Akan tetapi,
realita di lapangan nyatanya tak berbicara demikian karena para penegak hukum
(sekaligus masyarakat tukang ikut campur) merasa bahwa letak kesalahan justru
ada di korban lebih-lebih jika kasus ini merundung perempuan. Alih-alih
mempertanyakan motivasi pelaku, mereka justru mengemukan pertanyaan-pertanyaan
yang menyudutkan korban seperti: apa pakaian yang dikenakan oleh si A? Saat
diperkosa atau dilecehkan, apa benar dia tidak sedang dalam pengaruh narkoba
atau minuman beralkohol? Kenapa sih si A malah pergi ke tempat kejadian perkara
padahal sudah memahami resikonya? Bukannya perempuan seharusnya sudah mendekam di
rumah ya selepas jam-jam tertentu? Dalam pandangan publik yang masih menjunjung
tinggi budaya patriarki (secara sadar maupun tidak), korban nyaris mustahil
untuk menang. Kalaupun akhirnya ditindaklanjuti, jalan keluar yang diambil
seringkali bersifat kekeluargaan ketimbang benar-benar menindak tegas perbuatan
pelaku sehingga tak mengherankan jika kemudian banyak yang memilih untuk bungkam
dan tenggelam dalam trauma.
27 Steps of May sebagai sebuah tontonan yang mencoba membangkitkan
kesadaran publik mengenai isu “kekerasan seksual”, enggan mengonfrontasi secara
langsung atau melontarkan komentar bernada nyelekit terhadap pihak-pihak yang
dinilai berkontribusi pada kecacatan hukum tersebut. Sebaliknya, film arahan arahan
Ravi Bharwani (Impian Kemarau, Jermal) ini meletakkan fokusnya kepada
korban beserta keluarganya dan memperlihatkan bagaimana mereka harus menanggung
dampak secara psikologis yang tidak ringan. Dalam konteks film, korban yang
dimaksud adalah seorang perempuan bernama May (Raihaanun). Peristiwa traumatis
yang membayanginya selama delapan tahun lamanya bermula dari kunjungannya ke
sebuah pasar malam saat dia masih berusia 14 tahun dan mengenakan seragam putih
biru. Tak pernah terbayangkan oleh May, senyum sumringahnya kala menikmati
wahana akan segera tergantikan oleh tangisan serta duka lara berkepanjangan
akibat digagahi oleh sejumlah laki-laki yang tak dikenalnya. May yang dirundung
trauma pun memilih untuk mengurung diri di rumah seraya menjalankan aktivitas
yang sama saban hari; berolahraga lompat tali, hanya bersedia mengonsumsi
makanan serta minuman serba putih, dan membuat boneka. Dalam segala
tindak-tanduknya ini, May tak melakukan kontak mata maupun berkomunikasi dengan
sang ayah (Lukman Sardi) yang terus menyalahkan dirinya sendiri lantaran tak
sanggup melindungi putri semata wayangnya tersebut. Kehidupan dua manusia yang
begitu hampa, muram, serta dingin ini perlahan mulai berubah setelah seorang
pesulap (Ario Bayu) pindah ke sebelah rumah mereka. Melalui dinding kamarnya
yang terkelupas, May diam-diam mengintip sang pesulap kala melatih
atraksi-atraksinya yang perlahan tapi pasti mendorong May untuk bangkit dari
keterpurukannya.
Oleh Ravi beserta Rayya selaku
penulis skenario, kemunculan sesosok pesulap misterius ini diniatkan sebagai support system yang tak pernah didapat
oleh May sebelumnya dari orang terdekat. Alih-alih merangkul, memberikan
dukungan moril, serta membangun komunikasi, ayah May justru ikut terpuruk
seperti halnya sang putri. Kemarahan membuncah dalam dirinya yang lantas
dilampiaskannya di atas ring tinju bawah tanah. Berbeda dengan May yang memilih
bungkam seribu bahasa lalu melukai dirinya sendiri kala ingatan-ingatan
buruknya menyeruak, ayah May (dikenal sebagai “Bapak” oleh penonton) memilih
untuk menghajar petinju-petinju lain seraya mengumpulkan uang ketika rasa
sakitnya tak lagi terbendung. Akibat dari keputusannya tersebut, Bapak acapkali
meninggalkan May seorang diri di rumah. Menciptakan kekosongan lebih dalam bagi
putrinya, sekaligus kian merenggangkan hubungan diantara mereka karena
ketiadaan waktu untuk berkomunikasi. Selama menit-menit awal – khususnya saat
film mengajak kita mengobservasi kehidupan dua manusia ini – 27 Steps of May memberlakukan mode sunyi
dimana iringan musik urung hadir, sementara dialog nyaris tak terlontarkan
mengikuti pilihan May yang menolak berbicara kepada siapapun. Kita sebatas menyaksikan
keseharian May dan Bapak yang repetitif dimana pembedanya hanya bisa dijumpai
dari obrolan Bapak dengan kurir pengantar boneka bekas (dimainkan dengan
cemerlang oleh Verdi Solaiman) di pagi hari. Terdengar menjemukan memang, tapi momen-momen
ini memang diperlukan demi memberi penekanan pada rasa hambar nan sunyi yang menghinggapi
dua karakter ini. Apiknya, berkat pengarahan teliti, tangkapan-tangkapan gambar
yang “berbicara”, beserta penampilan luar biasa dari jajaran pemain khususnya
Raihaanun yang sanggup menyuarakan emosinya melalui ekspresi serta
gestur-gestur kecil, penonton mampu memenuhi keinginan si pembuat film: merasakan
kenelangsaan keluarga ini.
Untuk sesaat, saya sempat menyalahkan
Bapak karena sekadar berdiam diri saat menghadapi May dan seolah tak
bertanggung jawab ketika dia mengikuti pertarungan tinju bawah tanah yang
berbahaya. Akan tetapi, saya seketika mengoreksi pemikiran ini begitu menyadari
bahwa Bapak juga berada di posisi korban. Lukman Sardi terlihat sangat hancur
sekaligus kebingungan dalam menyikapi duka sang putri. Lagipula, penonton hanya
memperoleh informasi setelah May berusia 22 tahun sehingga kita tak pernah
benar-benar tahu apa yang telah dilakukannya selama delapan tahun terakhir. Yang
penonton dapati, kesabaran Bapak telah membuat May bertahan meski keengganan
May untuk berbicara juga membuktikan bahwa Bapak tidak memberikan pendekatan
yang tepat agar putrinya bersedia membuka diri. Satu pertanyaan yang kemudian
menghampiri diri ini adalah, “apakah dua
manusia yang sama-sama terluka bisa saling menyembuhkan? Atau justru hanya
membuat keadaan semakin memburuk?.” Maksud saya, Bapak pun terluka akibat
ketidaksanggupannya untuk menerima kenyataan mengenai kondisi May dan
kecenderungannya untuk selalu menyalahkan diri sendiri. Jika sudah demikian,
bukankah harus ada pihak ketiga yang bersedia “memediasi” keduanya agar
komunikasi bisa kembali mengalir? Dalam pikiran positif saya, Bapak terkendala
oleh biaya sehingga tak mampu menghubungi psikiater. Atau malah jangan-jangan,
si pembuat film secara implisit menyatakan bahwa Bapak tak pernah meminta bantuan
untuk May karena adanya stigma pada psikiater dan ketidakpercayaan kepada pihak
luar yang cenderung berprasangka terhadap korban pemerkosaan?
Apapun motivasi Bapak, May akhirnya
bersedia membelokkan “aturan-aturan” yang disusunnya sendiri selepas berjumpa
dengan si pesulap agar bisa melihat lalu mengimitasi atraksi yang diperagakan. Secara
setapak demi setapak, ada warna yang mulai mengisi relung hidupnya yang kelabu,
ada kebahagiaan yang mulai menggoyahkan penderitaan yang telah lama menguasai
jiwanya, dan ada harapan yang kembali berdetak. May menunjukkan
perubahan-perubahan kecil yang sontak mengagetkan Bapak, “apa yang telah terjadi kepada putriku?.” Menyaksikan May bersedia
untuk keluar zona nyamannya serta memberi impresi bahwa dia masih memiliki
gairah hidup, saya jelas bahagia. Hanya saja, mengingat si pesulap adalah
seorang laki-laki dan dia tampaknya tidak menyadari masa lalu May, apa ada
kemungkinan hal buruk tidak kembali terulang? Apa ada kemungkinan dia tidak
menyimpan motif jahat dibalik kebaikannya? Saya tahu ini terdengar sinis, tapi
berhubung saya telah terkoneksi dengan si protagonis, saya tidak ingin
melihatnya terjerembab lagi ke jurang depresi. Saya tidak ingin perjuangannya
untuk mengatasi trauma berkepanjangan berakhir sia-sia. Saya ingin melihatnya
bangkit dari keterpurukkan dan menginspirasi para penyintas yang belum berkenan
melanjutkan hidup. Kalaupun May tidak melakukannya (karena dia bukanlah karakter
nyata), tapi paling tidak, itulah yang dilakukan oleh 27 Steps of May. Merangkul para penyintas lalu membuka mata publik
khususnya mereka yang masih menganut asas victim
blaming dalam kasus pelecehan seksual. Jika film ini kebetulan tayang di
kotamu, saya berharap kalian bersedia meluangkan waktu beserta uang untuk
menonton film yang tidak saja menyesakkan dada tetapi juga penting ini.
Outstanding (4/5)
thanks infonya gan,..
ReplyDeleteRaihanum pantas dpt penghargaan piala citra dah keren banget aktingnya
ReplyDeleteYes. Kemarin dia baru saja dapet piala di penghargaan film tingkat ASEAN. Sepertinya ajang penghargaan film tanah air dalam setahun ke depan bakal diborong olehnya.
DeleteSelalu baca review Bagus soal akting raihanun .Kenapa ya dy ga terlalu kpopular dalam artian jd buzz. .
ReplyDeleteDia jarang banget main film soalnya karena memang sangat pemilih. Semua filmnya pun (kecuali Twitvortiare tahun ini) berada di jalur indie jadi nggak heran kalau namanya kurang populer.
DeleteMakasih buat reviewnya, min. Kemarin akhirnya nonton dan asli keren banget. Aktingnya Raihaanun keren pol! Cuma pakai tatapan mata aja aku udah nyesek liatnya. Pengen lihat akting doi lagi. Serius keren abis!
ReplyDeleteSalam kunjungan dan follow ya :)
ReplyDeleteBrp jam filmnya
ReplyDeleteTerimakasih infonya,.
ReplyDeletethanks for information,.
ReplyDelete