“I’m scared.”
“We all are. But to get through this, we must stick together.”
Bagi masyarakat India, empat hari
di penghujung bulan November pada tahun 2008 akan selalu dikenang sebagai
hari-hari terkelam dalam sejarah bangsa. Betapa tidak, kota Mumbai yang dikenal
sebagai sentra bisnis mendadak diserang secara membabi buta oleh sekelompok
pria bersenjata. Sebanyak 174 jiwa melayang sia-sia, sementara lebih dari 300
penyintas mengalami luka-luka. Serangan dilancarkan ke delapan titik di berbagai
penjuru kota, termasuk hotel bintang lima bernama The Taj Mahal Palace Hotel
yang kerap menjadi singgahan orang-orang penting dari seluruh dunia. Menilik
statusnya sebagai hotel terkemuka, tidak mengherankan jika kemudian lokasi ini
menyumbang jumlah korban cukup besar. Ada ratusan manusia yang dijadikan
sandera selama tiga hari yang kemudian mendorong media-media asing untuk
meliput peristiwa penyanderaan tersebut. Mereka melakukan reportase sekaligus
melontarkan tanya berbunyi “siapa dalang
dibalik peristiwa ini?”, “apa
motivasi yang melandasinya?”, “bagaimana
situasi di dalam hotel?”, dan “akankah
pasukan khusus dari New Delhi mampu datang tepat waktu untuk menyelamatkan para
sandera?.” Empat buah tanya yang harus diakui terdengar seksi nan
menggelitik untuk dijadikan sebagai bahan utama bagi lahirnya sebuah film
panjang. Dan tentu saja, kesempatan ini tak disia-siakan begitu saja oleh
sineas dari India yang lantas menelurkan The
Attacks of 26/11 (2013), lalu disusul oleh sineas asal Prancis lewat Taj Mahal (2015, sempat tayang pula di
Indonesia), dan paling baru adalah kolaborasi dari tiga negara; Australia,
India, serta Amerika Serikat dalam wujud Hotel
Mumbai.
Seperti halnya Taj Mahal, Hotel Mumbai pun meletakkan fokusnya secara spesifik pada peristiwa
penyerangan dan penyanderaan di The Taj Mahal Palace Hotel. Oleh sutradara
pendatang baru Anthony Maras, penonton tidak hanya diperkenankan “melihat
langsung” peristiwa ini melalui kacamata satu dua karakter saja melainkan ada
beberapa sudut pandang yang diajukan termasuk para teroris. Beberapa karakter
yang mempunyai tanggung jawab menggerakkan narasi antara lain seorang pelayan
bernama Arjun (Dev Patel) yang tengah menantikan lahirnya anak kedua, kepala
koki bernama Hemant Oberoi (Anupam Kher) yang senantiasa mengingatkan anak
buahnya untuk memerlakukan tamu selayaknya dewa, seorang pewaris kerajaan
bisnis berdarah Iran-Inggris bernama Zahra (Nazanin Boniadi) yang datang
bersama suami (Armie Hammer) beserta pengasuh bayinya (Tilda Cobham-Hervey),
mantan anggota pasukan khusus asal Rusia bernama Vasili (Jason Isaacs), dan
empat orang teroris yang salah satunya bernama Imran (Amandeep Singh). Setelah
para teroris menjejakkan kaki di The Taj Mahal Palace Hotel dengan menyamar
sebagai penyintas dari kalangan masyarakat sipil, kekacauan pun segera melanda
seisi hotel. Dimulai dengan melesakkan peluru ke para tamu dan staf di lobi,
keempat teroris secara perlahan tapi pasti mulai menjelajah ke setiap kamar untuk
mengeksekusi para tamu. Menyadari bahwa nyawa para tamu berada di ujung tanduk
dan bantuan tak kunjung datang, Hemant Oberoi beserta para staf hotel yang
tersisa pun berinisiatif untuk melakukan aksi penyelamatan meski nyawa sendiri
menjadi taruhannya
.
Sedari menit-menit pembuka, Hotel Mumbai telah mengaplikasikan laju
penceritaan yang bergegas. Penonton diperkenalkan secara cepat dengan
karakter-karakter protagonis yang memiliki peranan besar seperti Arjun, Hemant,
Zahra beserta keluarga kecilnya, dan Vasili, lalu beralih ke para teroris yang
menciptakan huru-hara di seputaran Mumbai. Kita memang hanya mengetahui tentang
mereka sekelumit saja, tapi bekal itu sudah cukup untuk membentuk afeksi dengan
karakter-karakter inti karena kita mengetahui bahwa mereka adalah
manusia-manusia baik yang tidak semestinya berada dalam posisi tersebut. Arjun
hanyalah wong cilik yang sedang
berjuang untuk menafkahi keluarganya, Hemant merupakan staf hotel yang
berdedikasi penuh pada pekerjaannya, Zahra adalah istri sekaligus ibu yang
penuh kasih sayang, dan Vasili, well…
dia agak kompleks. Membutuhkan durasi cukup panjang untuk mengetahui apa yang
membentuk perangainya. Disokong oleh performa menawan dari jajaran pemain –
kredit khusus patut disematkan untuk Dev Patel, Anupam Kher, Nazanin Boniadi,
Tilda Cobham-Hervey, serta Amandeep Singh – memungkinkan bagi penonton untuk
bersimpati kepada para korban dan mengutuk keras tindakan para teroris yang
pada satu titik sempat membuat saya terenyuh. Ya, saya berkaca-kaca dalam suatu
adegan menelpon yang mengungkap alasan Imran dalam bertindak sebagai algojo.
Tanpa pernah disadari, Imran beserta komplotannya pun sejatinya adalah korban
yang dijadikan pion oleh pihak-pihak berkepentingan dengan iming-iming uang dan
surga (baca: jihad).
Selepas penonton mengetahui satu
dua tentang para karakter, si pembuat film seketika menyodori kita dengan menu
utama berupa rekonstruksi tragedi kemanusiaan di kota Mumbai. Penembakan demi
penembakan disusul oleh ledakan demi ledakan menciptakan teror bagi mereka yang
berada di tempat dan waktu yang salah, bagi warga setempat yang menyaksikan huru-hara
melalui siaran berita di televisi seraya harap-harap cemas terhadap keselamatan
kerabat, serta bagi mereka yang menyaksikan Hotel
Mumbai di layar lebar. Anthony Maras berusaha untuk seautentik mungkin
dalam mengkreasi peristiwa ini yang berarti adegan kekerasannya ditampilkan
dengan cukup eksplisit demi menciptakan rasa tidak nyaman di hati penonton. Tidak
terhitung berapa kali saya sempat memalingkan pandangan dari layar (bahkan ada
kalanya menutup telinga) lantaran merasa terganggu dalam menyaksikan kekejian
para teroris kala mengeksekusi korban-korbannya. Rasa-rasanya ingin sekali
mengutuk si dalang yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa si pembuat film
telah berhasil menunaikan tugasnya untuk menyampaikan pesan anti terorisme. Penonton
dapat mengetahui bahwa mayoritas korban adalah orang-orang tak bersalah yang
sebetulnya bukanlah sasaran utama, penonton dapat pula melihat sebesar apa
dampak yang ditimbulkan oleh aksi keji tak bertanggung jawab ini. Dalam kaitannya
dengan Hotel Mumbai sebagai produk
dari dunia hiburan, penonton dapat merasakan beragam jenis emosi selama
menyaksikan tontonan yang turut menekankan pada aksi heroik staf hotel yang penuh
dedikasi ini. Dari mulai berdebar-debar, lalu menahan nafas, sampai akhirnya
menangis sesenggukkan di penghujung durasi.
Outstanding (4/5)
Wajib nonton nih, kalau saya The grand Budapest hotel atau film The magnificient marigold hotel kerenan mana min..
ReplyDeleteThe Best Exotic Marigold Hotel, maksudnya? Keduanya bagus, tapi aku lebih suka The Grand Budapest Hotel.
DeleteMin, review film Arctic coba.. w baru saja nonton w kasih bintang 5 .. diulasan yang ane buat
ReplyDeleteSayangnya nggak tayang di bioskop terdekat, jadi nggak bisa diulas di blog. Udah kelewat lama juga. Maaf.
DeleteAbis nonton film ini tadi karna nunggu cinetariz review dulu dan kebetulan kerja di bidang tersebut, jadi makin kerasa banget deg-degannya ngebayangin kalo kejadian beneran 😂 tapi serius ya ini film bagus banget, suka sama detailnya salah satunya kayak gemeteran pas si receptionist lagi nelpon. Jadi berasa banget emang mereka lagi ketakutannya.
ReplyDeleteBener. Cara membangun tensinya keren sekali, bisa beneran bikin penonton stres. Kita seolah ikut mengalami. Kalau kamu kerja di bidang yang sama, ada kedekatan tuh jadi terasa semakin menegangkan ya :)))
Deletehotel kapsul bandung
ReplyDelete