“Your children are safe now, but have they heard her crying? Have they
felt the sting of her tears? They will, and she will come for them.”
Apakah kalian pernah mendengar
cerita seram mengenai makhluk halus berwujud perempuan yang gemar menggondol
anak-anak selepas Maghrib? Apabila kalian tumbuh besar di Indonesia – terlebih lagi
di tanah Jawa – dongeng mistis semacam ini telah menjadi santapan sehari-hari
semasa bocah. Sejumlah orang tua kerap menakut-nakuti anak-anaknya dengan
berseru, “nanti diculik wewe gombel lho!,”
saat si bocah masih kekeuh untuk bermain-main di luar meski matahari telah
kembali ke peraduannya. Sosok gaib yang dikenal sebagai wewe gombel tersebut memang
menjadi momok yang sangat mengerikan bagi para krucil di tanah air dan beberapa
sineas pun melihat potensi besar yang bisa dikembangkan dari folklore ini… termasuk Hollywood! Tatkala
membaca tulisan ini, saya yakin banyak diantara kalian yang mengucek-ngucek
mata saking terbelalaknya. Masa sih wewe gombel beneran sudah go international? Jika kalian tidak
percaya, coba saja tengok The Curse of La
Llorona (di sini menggunakan judul The
Curse of the Weeping Woman) yang konon kabarnya dipaksakan oleh Warner
Bros. untuk masuk ke dalam The Conjuring
universe ini. Dalam film tersebut, kalian akan menjumpai sesosok memedi dalam
rupa perempuan yang hobi menculik bocah. Bukankah itu sangat terdengar seperti wewe
gombel? Betul kan, guys? Guys? Kalian masih di sini kan, guys? Kalau kalian masih di sini, mohon
dimaafkan kejayusan ini dan perkenankan saya mengakui sesuatu: The Curse of La Llorona tentu saja bukan
film horor soal wewe gombel, melainkan demit asal Meksiko bernama La llorona
(diterjemahkan sebagai weeping woman karena
sumber teror dimulai dari terdengarnya suara isak-isak tangis perempuan) yang kebetulan
mempunyai mitos senada.
Dalam versi film yang naskahnya
digubah oleh Mikki Daughtry dan Tobias Iaconis (duo penggubah narasi Five Feet Apart), La llorona dikisahkan
mempunyai masa lalu yang pedih. Suami yang dicintainya pergi meninggalkannya demi
perempuan lain. Ditengah kesedihannya, si demit pun memutuskan untuk membalas
dendam dengan cara menenggelamkan anak-anaknya yang tidak tahu menahu soal
duduk perkaranya. Usai memberi sekelumit sejarah mengenai si villain yang hidup di abad ke-16 ini, The Curse of La Llorona lantas membawa
penonton ke Los Angeles pada tahun 1973 dimana kita dipertemukan dengan seorang
pegawai di dinas sosial sekaligus janda bernama Anna Tate-Garcia (Linda
Cardellini). Dalam kasus teranyar yang mesti dihadapinya, Anna berurusan dengan
seorang ibu, Patricia (Patricia Velásquez), yang mengunci kedua anaknya di
dalam lemari pakaian. Berhubung Patricia memberikan alasan tak logis mengenai
perbuatannya tersebut, maka dinas perlindungan anak pun memutuskan untuk turun
tangan dengan merenggut kedua anaknya dan menjebloskan Patricia ke dalam
penjara. Untuk sesaat, Anna memang mengira Patricia telah kehilangan kendali. Tapi
saat dua bocah yang telah berada di bawah perlindungan negara ini mendadak
ditemukan tewas, Anna mulai berpikir ada sesuatu yang janggal apalagi saat dia
mendengar nama La llorona disebut-sebut. Ditengah upayanya mencari tahu soal La
llorona yang lantas menghantarkannya pada salah satu karakter dari Annabelle (2014), Father Perez (Tony
Amendola), kedua anaknya yakni Samantha (Jaynee-Lynne Kinchen) dan Chris (Roman
Christou), justru mulai mengalami serentetan peristiwa mengerikan. Ternyata oh
ternyata, lambat disadari oleh Anna, La llorona ternyata sudah menjamah
keluarga kecilnya!
Disandingkan dengan sesama
penghuni The Conjuring universe
seperti Annabelle serta The Nun (2018) yang kualitas
penggarapannya sungguh bikin istighfar dan mengelus dada, The Curse of La Llorona memang agak lebih mendingan. Paling tidak,
sutradara pendatang baru Michael Chaves menunjukkan bahwa dia masih memiliki
kapabilitas yang mencukupi dalam hal meramu trik menakut-nakuti. Terbukti, film
mempunyai satu dua momen seram di sepanjang durasi yang dieksekusi dengan
kengerian di level “cukup” yang muncul dalam adegan-adegan dengan kata kunci La
llorona ‘menjemput’ dua anak Patricia, serangan di mobil, dan payung ‘tembus
pandang’. Dalam setengah jam pertama yang belum apa-apa sudah dibombardir
dengan penampakan hantu perempuan bergaun pengantin ini, saya sedikit banyak
bisa memafhumi alasan James Wan untuk memercayakan kursi penyutradaraan The Conjuring 3 kepada Chaves. Pengadeganannya
tergolong efektif dalam membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop, terlebih
lagi ada tunjangan musik pembangkit bulu kuduk dari Joseph Bishara. Saya akui,
diri ini pun sempat dibikin terkaget-kaget di tiga adegan tersebut yang
seketika memunculkan tanya “apa lagi nih
kejutan yang dipersiapkan oleh si pembuat film di menit-menit selanjutnya?”.
Membawa pengharapan cukup besar karena dua faktor: 1) babak introduksinya
meyakinkan, dan 2) materi pengisahan yang dikedepankan memungkinkan bagi film
untuk tersaji emosional, pada akhirnya saya malah terbenam dalam lumbung kekecewaan
begitu mendapati The Curse of La Llorona berakhir
sebagai sajian horor generik yang terlampau bergantung pada penampakan tak
perlu dengan iringan musik jedang-jedeng demi menimbulkan rasa ngeri.
Pada mulanya, trik menampakkan
hantu dengan maskara luntur ini memang menjadi uji nyali tersendiri bagi
penonton mudah dikageti seperti saya. Tapi saat Chaves mengulanginya lagi dan
lagi dengan pendekatan tidak jauh berbeda – plus beberapa diantaranya sudah
digeber di trailer – saya pun perlahan tapi pasti mulai kebal. Bahkan, rasa
takut yang tadinya muncul seketika berubah menjadi rasa sebal saking genggesnya
Mbak Rona ini. Terlalu banci tampil euy! Mengingat dia dijuluki sebagai weeping woman, saya berharap Chaves akan
lebih mengeksploitasi suara tangisnya yang entah muncul darimana guna
menciptakan nuansa creepy yang
membuat bulu kuduk meremang. Sayangnya, bukan langkah tersebut yang diambil
oleh sang sutradara dan dia lebih memilih mendaur ulang trik menakut-nakuti
dari babak pertama untuk diterapkan pada babak-babak berikutnya. Jika ini belum
cukup untuk memunculkan komentar “duh,
sayang banget sih” maka tunggu sampai melihat perlakuannya terhadap narasi
yang tersaji dengan sangat cethek. Menghadirkan sosok La llorona yang mempunyai
masa lalu pilu sebagai villain dan
memunculkan karakter jagoan dengan deskripsi single mother yang rela melakukan apa saja demi menyelamatkan
anak-anaknya, saya sempat mengira The
Curse of La Llorona bakal tampil emosional. Mengaduk-aduk emosi. Alih-alih
menggali konflik dua perempuan lintas abad dan lintas dunia ini, Chaves beserta
dua penulis skrip hanya memanfaatkannya sebagai hiasan supaya film tak terkesan
kosong. Mereka tak pernah mengembangkan penceritaan untuk menciptakan koneksi
antara penonton dengan para karakter.
Selama durasi mengalun, saya tak
pernah benar-benar bisa memahami ‘cara kerja’ si hantu (mengapa dia menyasar
keluarga tertentu? Apa hanya keluarga hispanik yang disasarnya? Mengapa dia bisa
hijrah ke Los Angeles? Benarkah satu-satunya akses masuk ke rumah hanya melalui
pintu?) dan tak pernah pula mampu berempati kepada Anna. Disamping karakterisasinya
memang datar, saya pun tak bisa menerima fakta kalau Anna nekat memboyong kedua
anaknya ke TKP pada tengah malam yang menjadi awal mula kemunculan teror bagi
keluarga Garcia. Maka begitu keluarga ini dirundung oleh teror, saya sukar
untuk menaruh kekhawatiran lantaran tak ada afeksi kepada mereka dan para
karakter terlampau sering mengambil keputusan yang membuat saya ingin
mengeluarkan meme “jangan ngatain, jangan
ngatain.” Syukurlah Raymond Cruz sebagai Rafael yang membantu mengusir
arwah La llorona sanggup tampil menghibur dengan celetukan-celetukan konyolnya
sehingga babak pamungkas The Curse of La
Llorona masih mengandung sisi fun
meski saya sendiri mulai meragukan nasib The
Conjuring 3.
Acceptable (2,5/5)
Mas rekomen film horor dong
ReplyDeleteIya nih, lagi butuh rekomendasi film horor dari cinetariz 10 tahun terakhir
DeleteDari 10 tahun terakhir emang belum dibikin sih, tapi udah coba list berikut ini kah?
Delete1) http://cinetariz.blogspot.com/2012/10/20-film-horor-pilihan-cinetariz-untuk.html
2) http://cinetariz.blogspot.com/2011/10/20-film-paling-mencekam-dekade-lalu.html
3) http://cinetariz.blogspot.com/2011/11/25-film-paling-mencekam-dekade-lalu.html
Saya sdh baca dari dulu,emang serem2 rekomendasinya.
DeleteOh iya,kejadian di film keramat(2009)yg pernah mas alami kejadian yg mana ya,saya jadi penasaran.secara adegan pocong nya bikin parno.
Suara gamelan di tengah malam. Pernah mengalaminya juga sewaktu berkunjung ke Jogja dulu.
Deletesambil nonton film horor enak makan greek yogurt
ReplyDeleteAnnabel kedua gak buruk mas,,, malah bagus banget. 😁
ReplyDeleteAku kan nggak pernah menyebut Annabelle Creation buruk di ulasan
DeleteItu nyebut the Nun dan annabelle kualitasnya bikin istifar kirain annabelle kedua nya. 😁😁😁
DeleteBang udah nonton high life nya robert pattinson? Mohon reviewnya bang
ReplyDeleteWah belum nih. Nanti coba kalau sudah nonton aku coba ulas
DeleteMas Rizal ini suka Film horor, sepertinya ya ..
ReplyDeleteReview THE CURSE OF LA LLORONA nya lengkap begitu. Pasti nontonnya tanpa kedip-kdip lama. hehe
Kalo nonton sambil ketinggalan 1 scene saja. Bakal mutar ulang lah ini film.
Boleh, tuh mas Rizal jadi reviewer handal di masa depan ..
Kalau saya sendiri suka nulis tentang hal hal yang berbau pendidikan dan anak. Bawaan kali yaa memang suka yang seperti ini.
Salam dan Semangat ..
Film The Curse of La Llorona ini mirip mirip film nenek gayung.
ReplyDelete