“Lemes amat kayak nggak ada semangat hidup.”
“…”
“Semangat mati!”
“…”
“Ya semangat lah pokoknya.”
Seorang kawan pernah bersabda, “dari semua genre film, komedi dan horor termasuk
yang paling sulit dibikin karena tawa dan takut itu subjektivitasnya paling
tinggi.” Berhubung saya kerap menjumpai situasi dimana beberapa teman
maupun pembaca ulasan mengajukan keberatan dengan menyatakan “ini nggak serem ah! Ini nggak lucu ah!”
sementara saya merasakan sensasi lucu dan seram begitu juga dengan banyak
penonton di bioskop, saya pun mengangguk setuju. Lebih sukar menjumpai film
dari dua genre ini yang memperoleh resepsi bagus secara universal ketimbang
genre lain semisal drama atau laga. Maka begitu mendengar Bene Dion Rajagukguk
(sebelumnya menulis skrip untuk Suzzanna
Bernafas dalam Kubur dan Stip &
Pensil) mencoba untuk menggabungkan genre komedi dengan horor dalam debut
penyutradaraannya, Ghost Writer, saya
jelas terkedjoet. Sebuah upaya yang jelas sangat berani terlebih jarang-jarang
ada sineas dalam negeri yang sanggup mengeksekusinya dengan baik. Malah, masih
segar di ingatan, tandem ini memberi ‘mimpi buruk’ di permulaan era 2010-an
saat marak diluncurkan film komedi horor berkualitas alamakjang yang membuat
penonton lari tunggang langgang menjauhi bioskop. Menengok jejak rekam Bene,
tentu sulit untuk membayangkan dia akan menggarapnya sesuka hati walau jelas
ada sebersit keraguan di benak lantaran seperti telah dijabarkan sebelumnya,
ini bukan perpaduan yang mudah. Jika Bene berhasil menaklukkannya, sudah barang
tentu dia seketika bergabung dalam jajaran “sutradara
yang harus kamu perhatikan.”
Ghost Writer yang didasarkan pada naskah racikan Nonny Boenawan
(murid binaan sang produser, Ernest Prakasa, dalam kelas penulisan skenarionya)
bersama Bene ini menempatkan seorang penulis bernama Naya (Tatjana Saphira)
sebagai karakter utama. Usai tiga tahun lampau merilis sebuah novel yang
disambut dengan sangat hangat oleh publik maupun kritikus, Naya tak kunjung
terlepas dari kebuntuan ide yang menyulitkannya untuk mengkreasi karya anyar. Ini
menjadi masalah besar bagi Naya tatkala uang tabungannya semakin menipis sementara
kebutuhan hidup terus meronta-ronta termasuk menyekolahkan sang adik, Darto
(Endy Arfian), yang sebentar lagi mengenyam bangku SMA. Writer’s block yang kerap menghantui Naya ini akhirnya memperoleh
solusi selepas Naya tanpa sengaja menemukan sebuah buku harian tua yang tergeletak
di loteng. Dalam buku harian tersebut, Naya mendapati serentetan curahan hati bernada
kelam, muram, serta penuh amarah dari si pemilik yang lantas menginspirasinya
untuk diterjemahkan ke dalam bentuk prosa. Belum juga proses penulisan
berjalan, Naya dikejutkan oleh kehadiran sesosok hantu, Galih (Ge Pamungkas),
yang mengaku sebagai pemilik buku harian tersebut. Galih menolak kisah masa
lalunya yang merana dimanfaatkan oleh Naya untuk meraup untung. Berhubung Naya
tengah membutuhkan uang, dia pun bernegosiasi dengan Galih yang belakangan
bersedia membantunya. Tapi perjuangan menuntaskan novel ini tidak lantas
berlangsung mudah lantaran terdapat hantu lain yang berupaya untuk menyingkirkan
Naya.
Premis menggelitik berbunyi, “bagaimana jadinya kalau ternyata ada
ghost writer (penulis sewaan yang namanya tidak dicantumkan dalam kredit) yang
beneran ghost?”, yang diajukan oleh Ghost
Writer nyatanya tak berakhir dengan sia-sia. Bene membuktikan bahwa dia
adalah sutradara pendatang baru yang sangat layak untuk diperhitungkan di masa
mendatang melalui kemahirannya memadukan tiga elemen berlainan: komedi, horor,
serta drama. Memang betul teror yang dikedepankan oleh film ini tidak akan
membuatmu mengkerut di kursi bioskop karena sebatas di level “ramah keluarga”
dan tujuan utamanya pun bukan untuk menakut-nakuti penonton melainkan untuk menggerakkan
narasi. Jika ada satu adegan paling mengerikan yang bisa kamu jumpai di sini,
maka itu berhubungan dengan pintu digedor-gedor saat sedang nikmat-nikmatnya
membuang hajat. Tanpa keterlibatan hantu sekalipun, kejadian semacam ini telah memberikan
definisi yang sesungguhnya atas kata ‘horor’ di dunia nyata (ciyus!). Terdengar
lawak? Begitulah semangat yang dijunjung tinggi oleh Ghost Writer. Berhubung Bene mempunyai latar belakang sebagai
komika, saya tidak terperanjat begitu mendapati kandungan komedi lah yang
paling pekat di sini. Tidak semuanya tersampaikan secara efektif, bahkan ada
kalanya terasa mendistraksi seperti duo Arie Kriting-Muhadkly Acho yang porsi
tampilnya cenderung berlebih dan semestinya bisa dihibahkan kepada karakter Bening (Asmara Abigail) yang kurang mendapat sorotan. Namun saat guyonan tersebut mengenai sasaran,
bersiaplah untuk tergelak-gelak. Satu paling membekas di benak saya jelas
adegan chatting yang menjadi awal
mula terbentuknya interaksi antara Naya dengan Galih. Sebuah interaksi lucu
yang secara perlahan tapi pasti berkembang menjadi hangat seiring berjalannya
durasi.
Ya, Naya dan Galih membentuk
hubungan lintas alam yang bersifat simbiosis mutualisme. Ketimbang mendera para
penghuni rumah dengan teror sampai mereka terbirit-birit, Galih memilih untuk
berkawan dengan Naya. Pemicunya tidak dilandasi oleh cinta – Naya dikisahkan
telah menjalin hubungan serius dengan seorang aktor bernama Vino (Deva Mahenra)
– melainkan oleh kepedulian. Saya tidak akan menjabarkan secara detil mengenai
latar belakang keduanya demi efek kejut. Yang jelas, Bene menunjukkan
kepekaannya dalam meramu momen dramatik dengan memberi perhatian lebih terhadap
tumbuh kembangnya hubungan dua karakter ini. Galih tidak ujug-ujug muncul lalu
mengiyakan penawaran Naya, tapi ada proses yang membawanya ke titik tersebut. Sebuah
proses yang dijabarkan secara hati-hati sehingga tanpa sadar kita akhirnya
bersimpati kepada mereka. Adanya kepedulian terhadap karakter-karakter inti
inilah yang membuat saya tak kuasa menahan air mata tatkala si pembuat film
mengungkap sebuah kebenaran yang sekaligus bertujuan untuk menyampaikan pesan besar
kepada penonton mengenai keluarga. Damn! Kesanggupan
Ghost Writer dalam memenuhi
potensinya ini tidak saja disebabkan oleh naskah beserta penyutradaraan yang
solid, tetapi juga berkat permainan akting dari jajaran pemain yang
mengagumkan. Tatjana Saphira membentuk chemistry
padu bersama Ge Pamungkas yang rupanya jago bersedu sedan, Deva Mahenra memberi
keriaan sebagai aktor sinetron yang lebay, dan Endy Arfian tampil lucu sebagai
adik Naya yang penakut.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Om, jokes nya sejenis jokes2 di film ernest kan om, bukan kayak my stupid boss (yang saya masih ga ngerti lucunya dimana) kan?
ReplyDeleteIya. Mirip dengan candaannya Ernest karena dia sendiri juga terjun sebagai produser.
DeleteDiantara 5 film lebaran setjju ga kalo ini film terbaik?
ReplyDeleteGhost Writer - Penulis Bayangan
ReplyDeletehttps://www.youtube.com/watch?v=nDaiE1Ia4LM