“Long live the king.”
Raja Kaiju yang telah belasan
tahun terlelap akhirnya dibangunkan kembali oleh Legendary Pictures demi
memenuhi ambisi mereka dalam merengkuh pundi-pundi dollar. Ya, pasca Godzilla (1998) yang dinilai gagal
lantaran kurang merepresentasikan monster ikonik asal Negeri Sakura dan terlalu
bergaya Hollywood, mereka mencoba memperbaikinya melalui versi upgrade yang dilepas di tahun 2014. Meski
beberapa pihak menilai elemen drama manusianya kelewat kental sampai-sampai
menggerus porsi tampil Gojira, tak bisa dipungkiri kalau versi anyar ini
mencetak sukses. Dari mulanya hanya terpikir untuk menciptakan standalone movie, pihak studio lantas
mengekspansinya menjadi sebuah franchise
berjulukan MonsterVerse yang diniatkan untuk mencapai puncaknya dalam pertarungan
akbar yang memertemukan monster berukuran gigantis yang punggungnya bergaya
Mohican menyerupai stegosaurus ini dengan kera raksasa yang bersemayam di
pedalaman bernama Kong. Namun sebelum kita menyaksikan Godzilla vs. Kong yang direncanakan rilis pada tahun depan, kita
terlebih dahulu disuguhi Kong: Skull
Island (2017) yang memaparkan latar belakang si Kong dan Godzilla: King of the Monsters yang difungsikan
untuk mengelaborasi mitologi-mitologi terkait Godzilla yang telah diperkenalkan
pada lima tahun silam. Guna memenuhi aturan tak tertulis dari sebuah sekuel,
maka Michael Dougherty (Trick r Treat,
Krampus) pun memperbesar cakupan
skala dengan menambah partisipan dalam pertarungan monster.
Disamping Godzilla yang sudah
barang tentu menjadi jualan utama film, Godzilla:
King of the Monsters turut mempertemukan kita dengan sederet monster
legendaris yang dulunya kerap wara-wiri dalam sejumlah instalmen Gojira produksi Toho. Beberapa nama yang
ikut berpartisipasi di jilid kedua ini antara lain: 1) King Ghidorah yang
berwujud naga berkepala tiga dengan kekuatan berupa sengatan listrik, 2) Mothra
yang memiliki keanggunan seekor kupu-kupu, dan 3) Rodan yang menyerupai reptil terbang
dari era purbakala. Kebangkitan monster-monster lawas yang dulunya menguasai
bumi berjulukan Titan ini bermula dari rencana seorang ekoteroris, Kolonel Alan
Jonah (Charles Dance), untuk memperbaharui tatanan bumi yang dianggapnya telah
carut marut akibat tingkah polah manusia yang tidak bertanggung jawab. Demi memenuhi
tujuannya dalam menciptakan kehancuran di seantero planet agar bumi memiliki
kesempatan untuk memulai segalanya dari awal, Alan pun menculik seorang ilmuwan
yang tengah berduka, Dr. Emma Russell (Vera Farmiga), beserta putrinya,
Maddison (Millie Bobby Brown), untuk memperoleh akses ke sebuah alat bernama
Orca yang konon dapat mengontrol tindak tanduk para monster. Organisasi Monarch
yang mengetahui rencana busuk teroris-teroris ini lantas merekrut mantan suami
Emma, Mark (Kyle Chandler), yang memahami betul mengenai Orca maupun perilaku
monster. Walau awalnya cenderung ogah-ogahan, Mark akhirnya bersedia untuk
bekerja sama dengan Monarch dalam menyelamatkan tidak hanya keluarganya tetapi
juga umat manusia yang nasibnya tengah berada di ujung tanduk menyusul
bangkitnya Ghidorah.
Seolah mendengar segala keluhan
yang kerap didengungkan oleh para penggemar berat Gojira karena si karakter
tituler hanya diberi kesempatan seuprit buat nongol di Godzilla (2014), Godzilla:
King of the Monsters berupaya untuk menebus kesalahan dengan menggeber
sejumlah pertarungan antar monster dan pemandangan berupa bangunan-bangunan
yang didestruksi oleh kawanan Titan di beberapa titik durasi. Bagi mereka yang
menggilai Kaiju, apa yang disajikan oleh film ini jelas akan membuat hati
terasa bungah. Lagian, apa sih yang diharapkan dari monster movie selain menyaksikan makhluk-makhluk ganas ini saling
melengking satu sama lain, adu tonjok, sampai adu jurus-jurus andalan seperti
Godzilla yang melontarkan atomic breath
yang sensasional ke lawannya? Ditengok sepintas, Godzilla: King of the Monsters terkesan enggan ribet dengan sebatas
memenuhi ekspektasi penonton untuk menyimak para Titan mengobrak-abrik
perkotaan seperti dilakukan oleh para pendahulu. Saya juga tidak mengeluhkan
pendekatan ini karena memang sejatinya itulah yang semestinya kita peroleh dari
film mengenai Gojira. Berhubung efek khusus yang menyokongnya tergolong ciamik,
musik pengiringnya yang dahsyat memberi penghormatan terhadap skoring ikonik
jilid terdahulu, dan sang sinematografer juga mempersembahkan beberapa
tangkapan gambar yang layak dipajang di akun One Perfect Shot, tidak ada
keraguan untuk mengatakan bahwa tontonan ini menghadirkan pengalaman sinematik
cukup mumpuni. Penonton awam akan sesekali mengucap “wih” begitu kuartet monster beraksi, sementara penggemar berat
jelas akan berdecak kagum melihat idola mereka unjuk gigi.
Hanya saja, ditengah segala
keriuhan pertarungan, Godzilla: King of
the Monsters ternyata menderita persoalan senada seirama dengan
predesesornya yaitu narasi. Beberapa pihak mungkin berkata, “ngapain sih kamu nyariin plot bagus dari
film soal monster mengamuk?” dan saya jelas melihat poinnya. Tapi sulit
untuk tidak terdistraksi saat si pembuat film menempatkan penceritaan sebagai
bagian yang krusial dari film. Alih-alih menyodori kita dengan jalinan
pengisahan yang remeh temeh nan klise, Dougherty beserta Zach Shields yang
memegang divisi penulisan skenario malah menghadirkan narasi yang mencoba untuk
sebisa mungkin kompleks dengan membagi sorotan kepada tim ekoteroris, tim
Monarch, dan tim Russell. Apabila naskah menyanggupi untuk mengakomodir segala
konflik tersebut, film jelas berpotensi menggerus emosi. Namun realitanya
ternyata tidaklah demikian karena: 1) para karakternya mempunyai motivasi yang
membingungkan (khususnya Emma yang sangat tidak konsisten karakterisasinya), 2)
dialognya acapkali konyol serta lebih bersifat eksposisi untuk menjelaskan
setiap perkara ketimbang terdengar seperti obrolan nyata antar manusia, dan 3) naskah
kesusahan dalam menentukan prioritas penceritaan sehingga setiap konflik tak
pernah tergali mendalam apalagi memiliki rasa. Ketiadaan rasa yang menyebabkan
narasi terasa sangat hambar ini menunjukkan pengaruhnya tatkala film
mengalihkan fokusnya dari monster-monster mengamuk ke drama manusia. Saya jenuh,
saya juga terserang kantuk. Ini kemudian berkembang menjadi masalah signifikan lantaran
porsinya tidaklah sedikit serta kerap disempalkan di sela-sela pertarungan yang
berimbas pada menurunnya kesenangan. Menilik imbasnya, saya malah berharap Godzilla: King of the Monsters hanya
fokus ke adegan laga yang memang menjadi keunggulannya dengan sejumput narasi
ala film kelas B daripada memaksakan diri untuk memainkan emosi tapi malah
membuat penonton pening saking tidak meyakinkannya.
Note : Godzilla: King of the
Monsters mempunyai adegan tambahan di penghujung durasi. Tidak terlalu
penting jadi ditinggal pun tidak jadi soal.
Acceptable (3/5)
Rencananya mau nonton ini tapi berhubung blm nonton film sebelum nya jadi takutnya kurang nyambung pas nontonnya entar.
ReplyDeleteBdw di tunggu ulasan film lebaran nya min 😁😁
Sebenarnya sih masih bisa nyambung karena tokoh utamanya sendiri beda. Tapi emang lebih baik nonton dulu buat dapat gambaran lebih utuh soal semesta MonsterVerse nya 😄
Deletesetuju ama review nya bang. salah satu bencana di film ini ya drama manusianya yang asa klise dan bertele tele. bosen,, pengen rasanya edit film trus ilangin bagian drama ini.
ReplyDeleteslain itu ada yg kurang emosional atau gmana gtu, pas adegan rekan dokter serizawa (ilmuan yang cewe itu, yang mati pas adegan king gidhorah di antartika) itu berasa, UDAH, GITU AJA DIA MATI. DILUPAKAN. gak ada adegan (seenggaknya lumayan nguras emosi lah, padahal ikatan dia sma dokter serizawa bner bner kuat smsnjak dri film pertamanya).
adegan emosional pas di tangga juga gak ada artinya, ampas banget..
ya walaupun cukup puas si mnurut saya yg sbagai penggila efek komputer yg dahsyat sama scoring filmnya yang luar biasa.
btw, mnurut anda bang, khusus adegan monsternya terlalu bagus gak si? sampe ragu nanti apakah keepikan monsternya bakal bisa dilampaui di film slanjutnya? serasa woww banget soalnya
Gan, kasih tip dong bagaimana cara buat ulasan film.. w di Facebook hampir setiap hari buat 1 ulasan sederhana.. tapi ketika dibaca perasaan ga enak, ga ngalir kaku..
ReplyDeleteNama FB ane Hideyoshi Kurosawa
Alur ceritanya bagus namun untuk animasinya menurut saya lebih bagus lagi jika diserahkan kepada Film Maker yang lebih profesional
ReplyDeleteNonton FIlm : INDOXX1