October 18, 2019

REVIEW : THE PEANUT BUTTER FALCON


“Friends are the family you choose.”

Dalam The Peanut Butter Falcon, penonton diperkenalkan pada seorang laki-laki berusia 22 tahun yang mengidap Down Syndrome, Zak (Zack Gottsagen). Tak memiliki keluarga yang bersedia mengurusnya, Zak pun ditempatkan oleh pemerintah di panti jompo dimana dia kerap menghabiskan waktunya untuk menyaksikan sebuah video gulat. Dari video ini, dia mengidolakan pegulat berjulukan The Salt Water Redneck (Thomas Haden Church) dan berharap dapat bergabung ke sekolah gulat yang diasuhnya. Sayangnya, bukan perkara mudah bagi Zak untuk bisa mewujudkan mimpinya ini sampai kemudian dia berhasil melarikan diri dari panti jompo pada suatu malam berkat bantuan teman sekamarnya, Carl (Bruce Dern). Tanpa dibekali peta, uang saku, serta pakaian – well, Zak hanya mengenakan celana dalam saat kabur – protagonis kita ini pun terlunta-lunta untuk beberapa saat. Yang kemudian bersedia untuk memberinya bantuan adalah seorang nelayan bermasalah bernama Tyler (Shia LaBeouf). Itu juga karena terpaksa lantaran tidak tega melihat Zak harus mengalami perundungan dari orang-orang yang ditemuinya. Hubungan Zak-Tyler yang tadinya bisa dibilang dingin ini perlahan tapi pasti mulai menghangat setelah keduanya berkenan untuk saling membuka diri. Dari setiap percakapan, dari setiap interaksi, kita bisa menyadari bahwa mereka adalah produk dari duka dan sepi. Sebuah alasan yang membuat persahabatan mereka cepat rekat disamping fakta bahwa mereka sejatinya sama-sama berstatus sebagai buronan: Tyler diburu oleh rekan-rekan sesama nelayan, sementara Zak diburu oleh pengasuhnya dari panti jompo, Eleanor (Dakota Johnson).

Menilik jalinan pengisahan yang menempatkan duo karakter utama sebagai buronan, mungkin ada dari kalian yang berpikir: apakah ini adalah tontonan yang seru? Jika seru merujuk pada bagus, maka saya bisa bilang, ya. Tapi jika ini dipergunakan untuk mewakili ketersediaan adegan aksi, maka jawabnya tidak. The Peanut Butter Falcon adalah film sederhana yang lebih menekankan pada hubungan yang terbentuk diantara para karakter alih-alih dihamparkan sebagai sajian petualangan yang mendebarkan. Kesederhanaan itu tertampang jelas di layar mengingat kucuran dananya “hanya” sebesar $6,5 juta. Disamping itu, film ini menandai untuk pertama kalinya bagi duo sutradara, Tyler Nilson dan Michael Schwartz, untuk menduduki kursi penyutradaraan. Zack Gottsagen yang didapuk sebagai pelakon utama pun belum memiliki portofolio akting di layar lebar. Sejatinya, The Peanut Butter Falcon diniatkan sebagai hadiah dari para sutradara bagi Zack – pengidap Down Syndrome betulan – yang kebelet berlakon di depan kamera usai ketiganya berjumpa dalam suatu perkemahan. Nilson dan Schwartz lantas mengkreasi sebuah hikayat inspiratif dimana Zack dikisahkan menempuh perjalanan darat (serta air) yang panjang di pesisir Amerika demi mewujudkan mimpinya sebagai pegulat. Terdengar seperti cerita yang klise? Memang begitulah adanya. The Peanut Butter Falcon tidak pernah ngoyo, apalagi berpura-pura, untuk menjadi sajian yang tampak sophisticated dengan guliran narasi yang berbelit-belit serta penyampaian yang tak kalah ambisiusnya. Film ini bertutur secara apa adanya dan justru disitulah yang membuat saya bisa jatuh cinta kepadanya. Terasa jujur, nyata, sekaligus merasuk di hati.


Yang menjadi pusat perhatian duo pembuat film adalah persahabatan unik yang terjalin diantara dua manusia yang mungkin sebelumnya tidak pernah kamu bayangkan akan berteman baik. Tyler menciptakan jarak dengan orang-orang di sekitarnya lantaran masa lalu yang belum bisa dimaafkannya, sedangkan Zak terkurung di sebuah tempat yang semestinya bukan menjadi kediamannya. Mereka kesepian dan memendam duka, tapi mereka memiliki keinginan untuk maju. Setidaknya begitulah karakter Zak ditulis. Ketimbang dideskripsikan sebagai satu karakter yang kerap mengasihani diri sendiri akibat keterbatasannya atau justru mempunyai impian meluap-luap melebihi kapasitas diri, Zak digambarkan secara sewajarnya. Dia bisa menerima keadaan dirinya, dia menyimpan kerapuhan akibat kesendirian, namun dia juga tangguh secara fisik maupun mental yang membuat impiannya untuk menjadi pegulat terasa selaras. Disokong oleh performa natural yang dibawakan Zack Gottsagen, kita bisa bersimpati kepadanya dengan mudah. Kita berharap dia dapat menuntaskan perjalanan tanpa hambatan, kita berharap mimpinya untuk bertemu sang idola dapat terwujud, dan kita pun berharap dia memperoleh hadiah terbaik di pesta ulang yang kerap diserukannya: keluarga. Ya, kekosongan terbesar dalam hidupnya disebabkan oleh ketiadaan satu unit yang benar-benar menaruh perhatian kepadanya. Memang betul bahwa para penghuni panti jompo menunjukkan kepedulian kepada Zak, akan tetapi, apakah tempat ini memang layak dihuni olehnya yang masih sangat muda serta berjiwa bebas? Peraturan-peraturan di sana hanya mengekangnya, ketimbang memfasilitasinya untuk berkembang.

Itulah mengapa saat dia berhasil kabur, saya bersorak. Menanti untuk melihat apa yang akan dihadapinya di dunia nyata dan bagaimana pengalaman-pengalaman tersebut membentuk sudut pandangnya sekaligus mempengaruhi perspektif dari orang-orang di sekelilingnya. Bagi Tyler, Zak adalah sebuah katarsis yang membimbingnya untuk mengenyahkan ingatan-ingatan menyiksa dari masa lampau. Shia LaBeouf membentuk chemistry hangat bersama Gottsagen dimana karakter yang dimainkannya terlihat sangat peduli kepada sahabat barunya. Memang sih mulanya dia tertarik untuk berbuat baik kepada Zak setelah mengetahui ada Eleanor yang memburunya – LaBeouf juga membentuk ikatan kimia sangat ciamik bersama Dakota Johnson – tapi tukar dialog diantara dua karakter ini seketika menyadarkan Tyler tentang penerimaan dalam hidup dan menyadarkan penonton bahwa Tyler adalah manusia berhati lembut yang dirundung trauma. Kita melihat Tyler memerlakukan Zak selayaknya manusia dengan menggemblengnya mati-matian sampai menerima keluhan dari Eleanor yang seketika memberi kita pandangan menarik: dua karakter ini tak ubahnya figur ayah dan ibu bagi Zak. Tyler memancarkan kebijaksanaan sekaligus kekuatan seorang ayah, sementara Eleanor memancarkan kehangatan seorang ibu. Maka begitu karakter ini bersama, khususnya saat mereka berbincang-bincang mengenai kehidupan, saya pun ikut tertawa, menyunggingkan senyum dan meneteskan air mata haru. Saya dapat merasakan adanya cinta kasih yang tulus diantara mereka, saya dapat merasakan bahwa mereka saling membutuhkan, dan saya bisa mengatakan bahwa mereka adalah definisi dari kata superhero. Zak, Tyler, serta Eleanor memang tidak menyelamatkan dunia dari marabahaya, tetapi mereka telah menyelamatkan diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitar dengan kekuatan yang kita sebut cinta. Sungguh film yang sangat indah, bukan?

Outstanding (4/5)


6 comments:

  1. Terima kasih kak atas rekomendasi film ini
    INDOXX1

    ReplyDelete
  2. tema 2 orang berteman dan saling belajar tentang hidup kayaknya masih bakal banyak lagi ni,, soalnya tema seperti ini banyak yg bagus terakhir nonton Green book sangat saya suka. menghibur sekaligus menghangatkan hati.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yes. Salah satu tema kesukaanku nih selain keluarga. Kalau ditangani dengan tepat, bisa bikin hati leleh 😭

      Delete
    2. iya saya juga lemah kalo dikasih film keluarga 😆😆

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch