“Aku akan selalu ada buat kamu.”
Betapa nelangsanya nasib Minke
(Iqbaal Ramadhan). Usai kisah cintanya dengan Annelies (Mawar De Jongh) dipaksa
kandas lantaran sang pujaan harus berpindah ke Belanda, kini dia pun harus
menerima kenyataan pahit bahwa dirinya telah ditikung oleh teman baiknya
sendiri. Jan (Bryan Domani) yang diberi kepercayaan untuk mengawal Annelies
ternyata diam-diam menaruh rasa kepada Annelies… dan mereka pun ada kemungkinan
memiliki hubungan darah dari pihak ayah (!). Kacau betul, bukan? Berhubung Tuan
Mellema gemar bermain perempuan, maka plot
twist ini tentu tidak mengherankan meski tetap akan bikin diri ini
geleng-geleng kepala sekaligus mengernyitkan dahi jika benar-benar ditulis oleh
Pramoedya Ananta Toer. Tapi syukurlah, hubungan cinta terlarang antara Annelies
dengan Jan tersebut bukan bagian dari cerita kelanjutan Bumi Manusia, melainkan dari film bertajuk Sin keluaran Falcon Pictures yang menempatkan Mawar De Jongh
beserta Bryan Domani di garda pemain utama. Dan memang, ada narasi mengenai
cinta terlarang yang dikemukakan melalui tagline
berbunyi “saat kekasihmu adalah kakakmu
sendiri” yang mendorong beberapa kawan untuk melempar komentar julid: kok
berasa sinetron ya? Saya sih tidak pernah berpikir sampai ke sana ya, karena
memang jarang sekali nonton sinetron. Malah, saya jadi teringat pada satu film
erotis asal Thailand, Jan Dara
(2001), yang sempat tayang di bioskop lokal dengan tajuk My Lover My Son. Same energy,
rite? Berhubung masyarakat Indonesia sedang sangat relijius dan menaruh
perhatian sangat tinggi kepada perkara berbau moral, saya tentu sama sekali tidak
kaget begitu mengetahui bahwa kesamaan energi antara dua film ini hanya sampai
di tampilan luar semata.
Sin yang didasarkan pada novel rekaan Faradita sendiri sejatinya
merupakan film percintaan remaja biasa. Kebetulan, konflik yang disodorkan agak
dirumit-rumitkan demi memberi kesan berbeda. Di sini, penonton dikenalkan
kepada Ametta Rinjani (Mawar De Jongh), siswi paling cantik di sekolah dan
telah mempunyai reputasi kuat sebagai seorang playgirl. Dia kerap bergonta-ganti pasangan hanya untuk mencari
kesenangan sementara tanpa pernah sekalipun berniat untuk menjalin hubungan
secara serius. Petualangan Metta dalam berburu laki-laki akhirnya mencapai
ujungnya setelah dia dibuat bertekuk lutut oleh Raga (Bryan Domani). Berbeda
dengan para lelaki di sekolah yang berusaha mati-matian untuk mendapat
perhatian dari Metta, Raga justru bersikap acuh tak acuh kepadanya. Bahkan, dia
cenderung terganggu dengan kehadirannya. Demi bisa menaklukkan cowok misterius ini,
Metta pun menguntitnya yang membawanya menuju sebuah arena pertandingan tinju
ilegal dimana Raga menjadi salah satu petarungnya. Rahasia yang disembunyikan
dalam-dalam oleh Raga ini lantas dimanfaatkan sebagai sebuah ancaman oleh
Metta. Dia memberi pilihan kepada lelaki yang ditaksirnya; menghabiskan waktu
bersamanya atau rahasianya dibongkar ke seantero sekolah. Berada dalam posisi
terpojok, Raga pun mau tak mau kerap menemani Metta kemanapun dia pergi yang
secara perlahan tapi pasti menumbuhkan suatu rasa berbeda. Sebuah rasa yang
seharusnya tidak tumbuh diantara mereka lantaran Raga dan Metta rupanya
mempunyai hubungan darah yang selama ini sengaja ditutup-tutupi oleh pihak
keluarga demi kebaikan bersama.
Saat film arahan Herwin Novianto
(Aisyah Biarkan Kami Bersaudara, Gila Lu Ndro) ini meletakkan fokus
narasinya pada upaya Metta menaklukkan Raga, Sin sebetulnya masih cukup renyah untuk dikudap. Memang sih secara
plot terbilang sangat klise, tapi ada dua faktor yang membuat tontonan ini naik
kelas: 1) sinematografi cantik dari Edi Michael Santoso yang sanggup menyulap
Jakarta sehingga memberi kesan seperti megapolitan mewah, dan 2) performa
kompeten Mawar De Jongh dimana dia menguarkan aura seduktif nan bitchy yang menjadikan karakter Metta
tampak unik di genrenya. Saya menyukai bagaimana Mawar bisa tampil sangat
menyebalkan di hadapan orang-orang yang tidak disukainya, lalu beralih sangat
menggoda di depan Bryan Domani, dan kemudian bermanja-manja ketika Raga
dikisahkan mulai bisa menerima kehadiran Metta. Berkat chemistry yang terjalin diantara dua pelakon utama ditambah bubuhan
humor yang melingkungi hubungan antik keduanya, ada kalanya saya ikut
tersenyum-senyum gemas. Para penonton remaja yang memenuhi gedung bioskop di
tempat saya menyaksikan film ini pun kentara ikut dibuat jatuh hati. Mereka
terkekeh, ada satu dua yang terdengar berseru “awww…”, dan penonton di sebelah saya tampak salah tingkah
dibuatnya. Mesti diakui, Sin tergolong
berhasil dalam memancarkan pesona romansanya di paruh awal, khususnya kepada
target pasarnya. Tapi saat film memutuskan untuk memberikan pelintiran pada
cerita dengan mengubah nada penceritaan menjadi sangat dramatis, pada saat
itulah Sin terhadang banyak
problematika.
Sebetulnya, keputusan untuk
membuat jalinan pengisahan Sin lebih
dari sekadar popular girl fall in love
with an innocent boy layak diapresiasi. Ada pembicaraan soal obsesi, ada pula
obrolan tentang relasi orang tua dengan anak di sini. Hanya saja, kedua topik
menggelitik ini tak pernah benar-benar dikulik lebih jauh lantaran film mengalami
kebingungan untuk menentukan pijakannya. Apakah Sin ini diniatkan sebagai film percintaan yang ringan-ringan saja
atau memang berencana membawa narasinya ke arah lebih kompleks? Karena jika
niatan pertama yang ingin dicapai, perubahan nada cerita yang drastis di paruh
kedua membuatnya terasa sangat janggal. Dan jika niatan kedua yang ingin
disasar, upayanya pun tak maksimal lantaran sebagian besar durasi dihabiskan
untuk menyoroti kisah kasih dua protagonis yang gemas, tanpa pernah diberi
landasan memadai menuju ke persoalan utama. Konflik besar mengenai “kekasihku adalah kakakku sendiri” pun
baru benar-benar dibahas di tiga puluh menit jelang tutup durasi yang membuat
paruh akhir terasa penuh sesak dan terlampau bergegas. Tak ada keharuan mencuat tatkala Metta berjumpa dengan ayah kandungnya (kayak biasa aja tuh), Raga mendadak
berkenan untuk berkomunikasi dengan ayah yang tadinya sangat dibencinya, salah
satu sahabat baik Metta mendadak berubah menjadi psikopat lengkap dengan tawa
menggelikannya, dan konflik mendadak bisa diselesaikan dengan sangat mudah yang
membuat saya bertanya-tanya, “mengapa
persoalan ini bisa ada kalau begitu?”. Ditambah rentetan adegan di babak
klimaks yang membuat saya berulang kali mengucap istighfar lantaran saking ajaibnya
(pertarungan di bawah hujan yang hujannya cuma disitu doang? Sahabat Raga yang ahli melacak keberadaan seseorang? Mbak psikopat yang
belum terbiasa memegang cutter?), Sin yang tadinya memulai langkah dengan
menjanjikan pun akhirnya hanya membuat saya mengalami migrain saat keluar
bioskop alih-alih ikut baper.
Panadol mana Panadol.
Panadol mana Panadol.
Acceptable (2,5/5)
dari awal sdh gak terlalu niat nonton film ini min 😁😁
ReplyDeletePadahal kalau film ini menerima dirinya sebagai tontonan cheesy dan nggak ngoyo buat nampilin plot dramatis nan ribet, malah sepertinya akan bagus
Deletekayak dear nathan contoh nya tema chessy tapi bisa bikin baper 😁😁
Deletesitus online terpercaya
ReplyDeletesitus slot
situs slot bonus new member
situs slot terpercaya
situs terpercaya