Waiting for the Barbarians memiliki sederet amunisi yang
memungkinkannya untuk menjelma sebagai sajian mengikat berkualitas tinggi:
materi sumbernya adalah novel pemenang penghargaan, sang penulis novel diganjar
penghargaan Nobel di tahun 2003 untuk kategori sastra, sutradara yang menangani
adaptasinya telah menghantarkan film sebelumnya untuk berkompetisi di Oscar,
dan jajaran pemainnya pun memiliki ikatan kuat dengan piala pria telanjang berlapis emas tersebut. Mudahnya, apa yang mungkin salah? Terlebih lagi, topik
pembicaraan yang diajukan oleh Waiting
for the Barbarians juga terasa relevan dan universal untuk berbagai zaman
maupun kebudayaan lantaran mempergunjingkan soal tabiat asli manusia dalam
menyikapi persoalan. Melalui film – serta tentunya versi novel yang ditulis
oleh J. M. Coetzee dari Afrika Selatan – persoalan tersebut diwujudkan sebagai
peperangan. Bukan peperangan yang dipantik oleh gesekan-gesekan atau
pertentangan ideologi, melainkan miskomunikasi antar budaya dimana salah satu
pihak memandang pihak lain sebagai musuh lantaran ketidaktahuan terhadap kultur
yang dianut. Mereka dianggap memiliki pandangan berbeda yang salah, dan mereka
terlihat mengancam sistem beserta kepercayaan yang diyakini. Oleh karena itu,
tidak ada langkah paling tepat untuk “melindungi” diri ketimbang memerangi
pihak musuh lalu memberangus habis mereka. Terdengar familiar, bukan?
Pertentangan sudut pandang antara
magistrat dengan Joll inilah yang kemudian menggulirkan narasi Waiting for the Barbarians. Sang
magistrat meyakini cara terbaik untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan
memperlakukan kaum nomaden selaiknya manusia, sementara Joll yang percaya
peperangan berada di depan mata justru melihat sikap magistrat ini kelewat
lembek. Menurut pandangan Joll, kebenaran hanya akan terungkap melalui
penyiksaan yang divalidasi oleh pengalamannya sebagai komandan pasukan rezim
kolonial selama bertahun-tahun. Melalui karakteristik Joll, penonton dihadapkan
pada perenungan. Siapa yang sejatinya lebih layak menyandang sebutan “bar-bar”
di sini? Kaum nomaden atau Joll berikut pasukannya? Waiting for the Barbarians sendiri tak pernah memperlihatkan
keberingasan kaum nomaden, kecuali pada satu titik dimana genderang perang
telah ditabuh untuk mereka. Apa yang dinilai sebagai tindakan keji oleh
pemerintah kolonial, sejatinya tak lebih dari upaya mereka untuk bertahan hidup
seperti mencuri hewan ternak demi menebus obat. Pada dasarnya, ancaman yang
terus menerus dikumandangkan bukanlah sesuatu yang nyata dan merupakan bagian
dari trik untuk menjustifikasi tindakan keji dari para prajurit. Agar penduduk
lokal memercayai ada bahaya mengintai, agar kerajaan memiliki alasan untuk melakukan
pembantaian, dan pada akhirnya, agar kerajaan mengantongi kekuasaan yang telah
sedari awal diincar.
Perbincangan-perbincangan ini diimplementasikan oleh sang sutradara, Ciro Guerra (Embrace of the Serpent, Birds of Passage), ke dalam sajian yang mengalun perlahan dengan nada kontemplatif. Tentu bukan tontonan yang mudah untuk dikonsumsi, menilik minimnya momen dramatik meletup-letup dan adanya rentetan adegan penyiksaan yang divisualisasikan secara gamblang. Tapi jika kamu memiliki kesabaran, Waiting for the Barbarians akan menghadiahimu dengan dua hadiah: 1) hamparan visual yang mengagumkan dari sinematografer Chris Menges yang membingkai padang pasir secara indah sekaligus menguarkan aura terpencil pada desa, serta 2) performa prima dari para pelakonnya. Mesti diakui, akting pemain merupakan detak jantung yang memberikan nyawa bagi Waiting for the Barbarians. Mark Rylance tampil simpatik sebagai magistrat yang berupaya menegakkan keadilan ditengah tekanan sistem yang menghendakinya untuk bersikap sebaliknya, Johnny Depp dengan penampilan bak karakter dari filmnya Tim Burton (kacamatanya itu lho!) muncul mengerikan sebagai seorang kolonel yang keji, sementara Robert Pattinson yang baru nongol di 30 menit terakhir pun tak kalah bengisnya sebagai bawahan Kolonel Joll. Bahkan beberapa nama lain yang tak sebesar tiga aktor ini juga layak mendapatkan kredit khusus, seperti Gana Bayarsaikhan yang memunculkan belas kasih penonton terhadap karakternya yang dijadikan tahanan perang, Greta Scacchi yang memberi keteduhan ditengah panasnya sengatan matahari dan konflik, serta Harry Melling yang dihadapkan pada dilema antara tunduk pada perintah atau menuruti kata hati.
Exceeds Expectations (3,5/5)
*Saat ini Waiting for the Barbarians ditayangkan secara eksklusif di Mola TV. Kalian bisa menontonnya dengan mendaftar dan membayar paket langganan sebesar Rp. 12.500/30 hari.*
Menarik filmnya. Jadi penasaran pengen nonton :)
ReplyDeletedisini ada yang udah nnton film ini juga gaa?
ReplyDeletegw udah nonton tapi ngapa filmnya lambat yak ?
Deletesoalnya genre filmnya artmovie lo harus bener bener pahamin filmnya
Deleteslot 2023
ReplyDeleteslot 24 jam
slot dengan jackpot terbesar
slot gacor terpercaya
slot judi terpercaya