“Kesabaran merupakan kunci dari hubungan yang baik.”
Kamu tidak akan menemukan makna
“bucin” di KBBI. Konon, ini adalah akronim dari budak cinta yang dipopulerkan
pertama kali oleh duo Youtuber kondang, Jovial dan Andovi da Lopez. Bahasa
prokem tersebut disematkan oleh keduanya untuk orang-orang yang kelewat tunduk
kepada pasangannya dengan dalih bersikap romantis atau “aku mencintainya sepenuh hati”. Alhasil, mereka pun rela melakukan
apa saja demi sang pasangan sampai-sampai mengesampingkan logika dan hati.
Sungguh menyedihkan. Berhubung istilah ini masih kerap digunakan oleh muda-mudi
masa kini, bahkan sebetulnya sangat relevan dengan problematika percintaan
banyak orang, Jovial pun tercetus satu ide untuk memonetisasinya lebih lanjut.
Bagaimana kalau istilah ini dikembangkan menjadi sebuah cerita panjang?
Lebih-lebih, teman baiknya sesama Youtuber, Chandra Liow, sedang membutuhkan
skrip film untuk debut penyutradaraannya usai mencicipi karir akting yang
tergolong sukses melalui Single
(2015) dan Hit & Run (2019). Dari
sini, dua content creator yang
memutuskan berkolaborasi untuk kesekian kalinya ini lantas menghasilkan film
komedi bertajuk Bucin – atau Whipped
untuk peredaran internasional – yang tadinya direncanakan untuk edar di
bioskop. Tapi setelah dunia diterpa pandemi Covid-19, film produksi Rapi Films
ini pun diserahkan kepada Netflix dan hamba merasa sangat beruntung tidak
menyaksikan Bucin di layar lebar.
Dalam Bucin, Jovial da Lopez dan Chandra Liow yang juga ikut bermain di
garda terdepan bersama Andovi da Lopez beserta Tommy Limmm berperan sebagai
versi fiksi dari diri mereka sendiri. Keempatnya dikisahkan mengikuti kelas
anti bucin asuhan seorang pakar cinta bernama Vania (Susan Sameh). Alasannya,
Jovi kedarung resah melihat adiknya, Andovi, dibuat tak berdaya oleh sang
kekasih, Kirana (Widika Sidmore), yang memanfaatkan ketidaktegasan Andovi untuk
memenuhi keinginannya dalam sekejap. Tak hanya Andovi, Tommy dan Jovi pun
sejatinya mengalami permasalahan kurang lebih senada dengan pasangan-pasangan
mereka. Tommy yang sedang mempersiapkan pernikahannya dengan Julia (Karina
Salim) tak diberi kebebasan untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri,
sementara Jovi tak memiliki keberanian untuk berkata jujur kepada Cilla (Kezia
Aletheia) mengenai perasaannya yang sebenarnya. Lalu bagaimana dengan Chandra
yang seorang jomlo? Well, dia hanya
merasa perlu untuk memberi moral support
kepada trio bucin ini dengan mengikuti kelas yang sama sekali tidak ada artinya
bagi dia. Bahkan, kelas anti bucin pun pada dasarnya urung memberikan dampak
signifikan kepada yang lain kecuali memicu konflik diantara empat sekawan ini
dan memberi kesempatan bagi Jovi untuk mendapatkan pengganti Cilla.
Selama menit-menit awal, Bucin sejujurnya tampak menjanjikan
untuk diikuti. Entah dari konsep “kelas anti bucin” yang didesain menyerupai
permainan escape room atau dari
lelucon visual yang coba dikedepankan oleh Chandra Liow. Bahkan, saya pun
mengapresiasi akting Karina Salim sebagai Julia dengan gaya bicaranya yang
kekanak-kanakkan apalagi ketika doi bermanja-manja ria bersama Tommy. Lucu,
menggelikan, sekaligus menggemaskan. Bagi hamba, Karina adalah hal terbaik yang
dipunyai oleh Bucin dan bisa membuat
diri ini bertahan di saat film menjadi semakin sukar dicerna di menit-menit
selanjutnya. Bukan, bukan karena kontennya yang ternyata ndakik-ndakik atau teramat kompleks, melainkan karena gaya
bercandanya yang memang tak sesuai selera. Mungkin masih bisa memantik tawa
buat penggemar berat sang sutradara. Tapi berdasar sepengamatan saya,
guyonannya acapkali meleset dari sasaran yang memungkinkan orkestra jangkrik terdengar
begitu nyaring di telinga. Selain kemunculan Julia, sungguh penuh perjuangan
hanya untuk mengingat momen-momen apa saja yang dapat menyunggingkan senyum
alih-alih bikin manyun. Sebagai sebuah film yang mengatasnamakan dirinya
sebagai komedi, Bucin nyaris tak
memiliki kemampuan untuk mengocok perut. Ditambah lagi, kehadiran barisan
karakternya sulit sekali diberi simpati. Jika sedari awal betul diniatkan untuk
bercerita soal laki-laki lubang pantat yang membuat penontonnya mengelus dada,
paling tidak beri mereka latar belakang yang menggugah selera. Beri mereka
alasan-alasan pasti yang melandasi tindakan ketimbang sebatas berlindung
dibalik dalih “udah ngeselin dari orok.”
Maksud saya, kenapa Andovi
sebegitu tidak inginnya kehilangan Kirana sampai bersedia diperlakukan semena-mena
bak budak? Mengapa Tommy ngotot ingin membeli mobil baru yang mana bukan
kebutuhan primer sedangkan pernikahan sudah di depan mata? Kenapa Jovi tega
menyiksa Cilla dalam hubungan penuh ketidakpastian yang sudah terasa amat
dingin? Dan mengapa Chandra hanya mondar-mandir sambil sesekali melempar punchline menyebalkan tanpa diberi
kontribusi yang jelas pada penceritaan? Why?
Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkecamuk di benak dan Bucin enggan memberikan jawaban yang memuaskan pada penonton. Padahal
ada perpaduan antara kebodohan, egoisme, serta toxic relationship di sini. Pokoknya, mereka tiba-tiba seperti itu
dan para perempuan lah penyebabnya. Tidak ada yang salah memang dengan
menggunakan sudut pandang lelaki untuk menguliti konflik di film ini. Hanya
saja, apa yang kemudian menjadikan Bucin
problematis, adalah keputusan si pembuat film untuk mengantagonisasi serta
merendahkan martabat para karakter perempuan di sini sedemikian rupa. Momen
pengungkapannya dengan bubuhan twist
yang diharapkan mengejutkan adalah momen dimana hamba butuh mendengarkan suara
hujan demi mencegah munculnya gerutuan-gerutuan non-esensial. Betapa tidak, mereka
menggambarkan si villain yang
notabene adalah korban sebagai sosok psikopat dan film pun enggan memberi penyelesaian
untuk karakter ini. Tiba-tiba lenyap, tiba-tiba kita dihadapkan pada perubahan
drastis dari salah satu tokoh kunci yang merupakan “the real villain” dalam Bucin.
Tanpa melewati proses, sosoknya mendadak memperoleh hidayah yang diterima
begitu saja oleh sang kekasih hanya bermodalkan pernyataan, “cinta itu memaafkan.” Subhanallah, ternyata hamba sedang
menyaksikan versi layar lebar dari FTV Pintu
Berkah.
Ambisi Jovial beserta Chandra
untuk memberi porsi sama rata kepada setiap karakter menjadi salah satu musabab
mengapa film menjadi ruwet di belakang. Terlalu banyak tokoh, terlalu banyak konflik
yang dijejalkan, tapi terlalu sedikit waktu yang dipergunakan untuk
mengentaskan para karakter dari permasalahan masing-masing. Mungkin, hanya
mungkin ya, kadar seksisme dalam Bucin
akan sedikit berkurang apabila fokus pengisahan hanya pada satu karakter
sehingga ada kesempatan untuk mengeksplorasi permasalahan yang diajukan
termasuk memberinya latar belakang dan penyelesaian yang masuk akal. Ya beginilah
Bun pentingnya menetapkan prioritas agar tidak kewalahan sendiri.
Bisa ditonton di Netflix
Poor (2/5)
permainan poker dengan pelayanan CS yang ramah dan terbaik hanya di IONQQ :D
ReplyDeleteWA: +855 1537 3217
EvoTogel adalah situs GAME TOTO Online terlengkap aman dan terpercaya dengan server kualitas terbaik dan tercepat tanpa admin ataupun robot yang ikut bermain bonus kemenangan nyata ratusan juta
ReplyDeletedaftar situs judi slot online terpercaya
ReplyDeletedaftar situs slot gacor
daftar situs slot
daftar slot gacor
daftar slot online