“Di dunia ini, gue paling suka uang.”
Guru Guru Gokil adalah salah satu film Indonesia yang hamba
nanti-nantikan kehadirannya di awal tahun ini. Alasannya sederhana saja, Dian
Sastrowardoyo tidak pernah mengecewakan saat diminta untuk ngebanyol.
Keputusannya untuk turut menduduki kursi produser, kian menguatkan ekspektasi
mengingat Mbak Dian terhitung sebagai aktris yang selektif dalam memilih
konten. Mudahnya, film ini tidak akan main-main secara kualitas penggarapan.
Bahkan saat pandemi Covid-19 kian meluas yang menyebabkan jaringan bioskop di
Indonesia berhenti beroperasi untuk sementara waktu, film garapan Sammaria
Simanjuntak (Demi Ucok, Cin(t)a) ini dipinang oleh raksasa
streaming Netflix dan memperoleh kesempatan untuk diedarkan secara luas ke
seluruh dunia dengan banderol “Netflix
Original”. Itu artinya, ini adalah film Indonesia kedua yang mendapat
kehormatan tersebut usai The Night Comes
for Us (2018). Belum apa-apa, sudah terdengar menggiurkan, to? Terlebih
materi yang diusung sejatinya memang menggiurkan yakni seputar sepak terjang
para pahlawan tanpa tanda jasa yang dihidangkan menggunakan pendekatan komedi.
Sepintas lalu, film ini punya komposisi yang terlihat tidak mungkin salah di
atas kertas. Ditambah kehadiran Gading Marten yang dikenal luwes kala ngelaba
di garda terdepan pemain, Guru Guru Gokil
seolah menjanjikan sajian komedi lucu nan menginspirasi yang ternyata oh
ternyata… tidak pernah terealisasi.
Karakter utama yang menggerakkan poros penceritaan adalah Taat Pribadi (Gading Marten). Seorang pria dari suatu desa yang memilih untuk mengadu nasib di Jakarta lantaran tidak ingin dibayang-bayangi oleh nama besar sang ayah, Pak Purnama (Arswendy Bening Swara). Apalagi, sebagai seseorang yang memproklamirkan dirinya sebagai pecinta uang, kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah pun jauh lebih besar di ibukota. Hanya saja, setelah berjibaku dengan beragam profesi selama bertahun-tahun, kondisi finansial Taat tidak kunjung membaik yang kemudian mendorongnya untuk kembali ke kampung halaman. Di desa, satu-satunya pekerjaan yang tersedia untuknya adalah menjadi guru pengganti di sebuah sekolah tempat ayahnya mengajar. Bagi Taat, menjalani pekerjaan ini bak musibah karena: 1) dia benci guru, dan 2) dia semakin dekat dengan sang ayah yang selama ini dihindarinya. Tapi berhubung tak ada pilihan lain, apa yang bisa dilakukannya? Toh masih ada Bu Rahayu (Faradina Mufti), guru serbabisa yang kerasnya minta ampun, sebagai obat pelipur lara. Di tengah upaya si protagonis dalam mencari uang sekaligus memenangkan cintanya ini, sebuah perampokan terjadi dan menguras habis gaji para guru. Tak ingin uang yang didambakannya menghilang begitu saja, Taat pun merancang misi mengambil alih gaji yang dirampok dari mafia setempat bersama guru-guru lain seperti Pak Manul (Boris Bokir), Bu Nirmala (Dian Sastro), serta tentunya, Bu Rahayu.
Tampak menarik? Ya, jika Guru Guru Gokil mampu meletakkan
fokusnya di salah satu titik tanpa harus bercabang kesana kemari. Masalahnya,
film mempunyai banyak sekali intrik yang telah ditetapkan dari awal seperti
relasi Taat dengan sang ayah yang dingin, Taat yang menjalani pekerjaannya
dengan keterpaksaan, hubungan percintaan Taat bersama Bu Rahayu, sampai kritik
sosial terkait nasib guru di Indonesia yang jauh dari sejahtera. Naskah gubahan
Rahabi Mandra seolah hendak membawa penceritaan mengikuti transformasi si tokoh
utama dari seseorang yang membenci profesi guru menjadi seorang pria yang
menaruh respek tinggi pada pekerjaan mulia ini. Jika saja film bertahan pada
plot ini, saya meyakini Guru Guru Gokil akan
menggoreskan kesan kuat lantaran telah berani menampilkan realita pahit dari
para tenaga pengajar dengan penuh candaan (plus sentilan) disana sini. Akan
tetapi, alih-alih bertahan di ranah komedi satir, Sammaria Simanjuntak justru
membelokkan kemudi ke ranah komedi kriminal yang penuh kehebohan sampai-sampai pesan yang ingin diutarakan mengabur. Selama sisa durasi,
film diisi oleh momen-momen mengatur strategi yang serba mudah, menyergap ke
markas besar si penjahat yang (lagi-lagi) serba mudah, lalu diakhiri dengan
konfrontasi konyol-konyolan. Tidak terlihat ada pertaruhan yang nyata karena
sosok villain-nya sendiri digambarkan
kelewat amatir dan karakter Taat tidak pernah berproses secara meyakinkan
akibat plot yang ramai sesak. Semuanya berlangsung tiba-tiba, termasuk
bagaimana Taat bisa dengan mudah menjalin ikatan kuat dengan murid-muridnya dan
bagaimana dia akhirnya bisa berdamai dengan sang ayah.
Alhasil, Guru Guru Gokil menjadi serba tanggung dalam penyampaian emosinya.
Adegan yang diharapkan mampu memicu gelak tawa berderai-derai maupun tangis
haru pun urung muncul. Padahal potensi-potensinya jelas terlihat dan jajaran
pemain kentara telah mengerahkan kemampuan berlakon secara maksimal. Berkat
kontribusi akting apik inilah yang membuat Guru
Guru Gokil masih bisa untuk setidaknya tampil menghibur. Gading Marten yang
berada di zona nyamannya tampil effortless
sebagai pemuda slengean yang tidak
pernah menganggap serius pekerjaannya karena dia hanya mengincar satu hal:
uang. Bersama dengan Faradina Mufti yang memesona dibalik sikap galaknya,
mereka membentuk chemistry manis yang
memungkinkan interaksi keduanya terasa menyenangkan untuk disimak. Dian Sastro
dalam peran sama sekali berbeda adalah scene
stealer yang memberikan dorongan pada penonton untuk tersenyum melihatnya,
atau malah tertawa. Sementara Asri Welas yang juga diberi kesempatan memainkan
peran bertolak belakang dari biasanya malah agak tersia-siakan. Saya pribadi
tidak merasa nyaman melihatnya menjajal karakter serius dalam film lucu-lucuan
receh seperti ini lantaran dia dengan comic
timing-nya yang juara sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk mengatrol
momen-momen komedik yang acapkali berlangsung hambar. Sangat disayangkan.
Bisa ditonton di Netflix
Acceptable (2,5/5)
Twist di ending juga dipaksakan ya, kenapa pula harus ke genre kriminal kenapa gak murni drama komedi perjuangan guru saja.
ReplyDeleteItulah. Mana elemen kriminalitasnya nggak seru pula.
Deletesayang beribu sayang, aku gemes kenapa beloknya tajem banget langsung ke komedi kriminal. Endingnya juga serba tiba2, pas gading sama bapaknya debat di akhir itu. Hubungan ayah-anak yang terasa hambar padahal niatnya buat mengaduk emosi. Sayang bgt..
ReplyDeleteAdegan rekonsiliasi ayah anak itu potensial bikin bercucuran air mata lho. Tapi di sini berasa lewat aja. Gemes banget emang kalau nonton film yang bisa bagus tapi malah ngecewain :(
Deleteberbagai bonus besar menanti di IONQQ
ReplyDeleteayo di tunggu apa lagi, segera bergabung bersama kami di IONQQ
WA: +855 1537 3217
game slot
ReplyDeletegame slot gacor
game slot terbaik
game slot terpercaya
games slot gacor