“Kita bisa mengusahakan kebahagiaan di masa depan, selama kita jujur
dan tulus memberikan kemampuan terbaik kita.”
Pelukis Hantu adalah film yang menyenangkan. Begitulah kesan
pertama yang tergores selepas menontonnya. Sepintas lalu, tontonan yang
mengombinasikan genre horor dan komedi ini memang terlihat seperti sajian seram
kelas B yang dibuat untuk mengeruk keuntungan semata tanpa peduli kualitas – jejak
rekam genre ini tak cihuy. Lebih-lebih, MD Pictures memutuskan untuk
menerjunkannya secara langsung ke layanan penyedia streaming yang tentu memantik kecurigaan hamba: kenapa? Maklum,
pengalaman menonton film Indonesia dalam satu bulan terakhir ini sungguh bikin
kepala nyut-nyutan sehingga keragu-raguan pun melejit ke angkasa. Sungguh, saya
telah berpasrah kepada Tuhan. Akan tetapi, Pelukis
Hantu yang menandai untuk pertama kalinya Arie Kriting memulai debut
penyutradaraannya, menunjukkan bahwa masihlah ada harapan terhadap produk yang
dilempar ke OTT (over the top atau
layanan streaming). Mengikuti jejak
rekannya sesama komika, Bene Dion, yang tahun lalu menghasilkan Ghost Writer yang mengesankan, Bung Arie
mencoba untuk menghadirkan sebuah sajian hiburan yang tak saja membuat
penontonnya tergelak-gelak sekaligus terperanjat, tetapi juga mendapatkan
sesuatu. Ya, dia turut memasukkan hati ke dalam penceritaan demi menguarkan
sisi emosional dari penceritaan serta isu yang kompleks mengenai luka dan
trauma. Sebuah langkah yang terhitung berani untuk karya perdana.
Dalam Pelukis Hantu, kita diperkenalkan pada seorang pelukis amatir
bernama Tutur (Ge Pamungkas) yang mengalami kesulitan ekonomi lantaran
karya-karyanya tak laku terjual. Padahal di waktu bersamaan, dia harus membayar
biaya pengobatan ibunya, Ana (Aida Nurmala), yang sedang sakit keras. Saat
harapan seperti telah mengabur, Tutur menerima telepon dari teman lamanya, Udin
(Abdur Arsyad), yang mengabarinya mengenai lowongan untuk menjadi salah satu
pengisi acara dalam sebuah program mistis di televisi. Bukan sembarang pengisi
acara, melainkan menempati posisi “pelukis hantu” dimana dia harus melukis
memedi dengan mata tertutup. Sebagai seseorang yang memiliki idealisme tinggi –
plus dia tak punya bakat melihat makhluk gaib – Tutur sempat dirundung keraguan
karena merasa sudah membohongi publik. Tapi berhubung dia tak punya pilihan
lain, mengapa tidak dicoba saja dulu? Pada awalnya, protagonis kita ini
berpura-pura saja memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan alam lain
sampai kemudian… kemampuan itu benar-benar menghinggapinya (!). Sesosok
kuntilanak kerap menampakkan diri di hadapannya setiap kali matanya ditutup. Di
satu sisi, penampakan ini jelas membantu kelancaran karirnya. Namun di sisi
lain, Tutur mulai mempertanyakan motif si kuntilanak. Dia menduga, ada pesan penting
yang sejatinya ingin disampaikan kepadanya. Dibantu oleh seorang blogger spesialis supranatural, Amanda (Michelle Ziudith), dan Udin, Tutur pun berupaya untuk menyibak
misteri dibalik kemunculan Mbak Kunti yang ternyata berkaitan dengan tragedi
masa lampau.
Menilik latar belakang Arie
sebagai seorang komika, tidak mengherankan saat kemudian Pelukis Hantu yang naskahnya juga dia tulis menunjukkan
keunggulannya dalam hal ngelaba. Kecakapannya dalam mengatur tempo, menggali
materi, sekaligus dukungan para pelakon memungkinkan untuk sebagian besar humor
meluncur secara mulus. Saya berulang kali tergelak-gelak mendengar kelakarnya
yang menyentil sana-sini – khususnya sektor hiburan dan politik – lalu bermain-main
dengan kata, sampai menyelipkan referensi ke budaya populer. Yang menarik,
humor yang dikedepankan oleh film ini terintegrasi dengan plot utama alih-alih
muncul secara acak entah darimana bak kumpulan-kumpulan sketsa. Memanfaatkan
situasi tidak wajar si karakter utama yang kemudian melahirkan celetukan maupun
tektokan menggelitik diantara para tokoh. Secara pribadi, saya menyukai
keberadaan Abdur Arsyad di sini yang digambarkan sebagai karakter oportunis
dengan kemampuan otak yang, well…
pas-pasan, serta Hifdzi Khoir sebagai produser serakah yang hanya memikirkan
satu hal: rating. Momen-momen terlucu dalam Pelukis
Hantu mencuat saat melibatkan dua manusia tersebut. Ekspresi, penyampaian,
serta timing-nya diperhitungkan
secara jeli. Membuat saya seketika mengurungkan niat untuk menggampar keduanya dengan
kanvas lantaran karakternya yang didesain menyebalkan. Pengen banget tak hih,
tapi kok ya kocak jadi bisalah sedikit diampuni tingkah polahnya yang naudzubillah itu.
Keduanya mencuri lampu sorot dari
Ge Pamungkas dan Michelle Ziudith selaku bintang utama yang cenderung fluktuatif.
Saat mendapat tugas untuk melucu, Ge sejatinya tidak mengalami kendala. Tapi ketika
giliran untuk berlakon serius tiba dimana Tutur harus mengeluarkan segala perasaan
terpendamnya, pada saat itulah Ge menunjukkan keterbatasannya. Tak ada emosi
yang tersalurkan kepada penonton sehingga mereduksi kesempatan bagi film untuk
mengundang air mata. Jujur saja, saya menyayangkannya mengingat babak ketiga Pelukis Hantu yang mengedepankan topik mengenai
“berdamai dengan luka” memiliki potensi untuk menggerus hati. Michelle Ziudith
yang memiliki jam terbang lebih tinggi
perkara menangani momen dramatik pun tak banyak membantu. Karakternya tak
mengalami perkembangan berarti dan seolah-olah hanya diposisikan sebagai love interest semata bagi Tutur. Bahkan,
konflik personalnya dengan keluarga perlahan terpinggirkan saat pencarian Tutur
semakin dalam. Michelle juga mendapat kesempatan amat minim untuk bersenda
gurau, padahal hey, lihatlah betapa lucunya dia di Mekah I’m Coming tempo hari. Saya membayangkan, film mungkin akan menjadi
lebih asyik apabila Amanda dengan penampilan bak cenayangnya ini tidak diberi
plot percintaan dan lebih sebagai partner
in crime yang gila bagi duo Tutur-Udin. Buat rekan tektokannya Udin yang
hanya butuh sedikit lagi pemantik agar celetukannya semakin tidak terkontrol
sehingga membuat karakter utama kita terus menerus pusing tujuh keliling di
kala mencari kebenaran soal Mbak Kunti.
Pun begitu, meski Pelukis Hantu agak sedikit bermasalah di
sektor drama yang kurang greget dan titik penyelesaiannya pun tidak seemosional yang diharapkan,
film masih jago dalam hal bersenang-senang. Membuktikan bahwa Arie adalah
sutradara pendatang baru yang karirnya patut diwaspadai. Selama 97 menit, saya
mendapati tontonan hiburan pelepas penat yang memang dibutuhkan di masa-masa sulit
seperti ini. Elemen horornya sendiri tidak sepekat komedinya, bahkan cukup minim. Tapi Arie mampu
menghadirkan satu dua trik menakut-nakuti yang membuat hamba terlonjak dari
kursi. Ditambah lagi, riasan wajah untuk Kuntilanak tergolong mengerikan. Jadi
bagaimana mungkin diri ini bisa duduk dengan tenang saat sosoknya tiba-tiba nongol
seolah ingin menerkam penonton? Sungguh tidak ada akhlak.
Bisa ditonton di Disney+ Hotstar
Indonesia
Exceeds Expectations (3,5/5)
Saya biasa membaca di blog ini dan di blog sebelah, dari penilaian dan kata-katanya ada kemiripan ��. Apa kalian ada hubungan, Bang? Hehe.
ReplyDeleteBlog sebelah yang mana nih? 🤔
DeleteMovfreak ��
DeleteOoo... Temen satu tongkrongan itu. Temen kita juga pernah bilang kalau gaya penulisan emang mirip sih. Soalnya emang saling terinspirasi satu sama lain. Selera filmnya juga sama. 😁
DeleteOalah,pantes ��
Deleteterimakasih telah mereview film ini 👍🙏
ReplyDeleteSama sama 😀
Deleteagen togel terbaik
ReplyDeleteagen slot terbaik
bandar togel
bandar slot terpercaya
pragmatik slot