March 28, 2011

REVIEW : GNOMEO & JULIET

"The story you about to see has been told before. A lot."

Dibandingkan karya William Shakespeare yang lain, Romeo and Juliet, termasuk yang paling sering diadaptasi. Entah sudah berapa film yang berangkat dari karya sastra klasik nan populer ini, sepertinya semua negara di bumi ini setidaknya memiliki satu film yang mengadaptasi Romeo and Juliet. Tak hanya film live action, tetapi juga animasi bahkan yang ditujukan untuk konsumsi penonton cilik. Pada umumnya versi film Romeo and Juliet patuh pada kisah aslinya, namun tak sedikit pula yang merombaknya dan memberi sentuhan baru disana sini agar kisahnya terasa lebih menarik. Ini tentunya tanpa menghilangkan esensi dari plot aslinya. Demi menyesuaikan dengan target penonton, Kelly Asbury beserta timnya memberi cukup banyak sentuhan baru untuk adaptasi ke sekian Romeo and Juliet. Di bawah bendera Starz Animation, lahirlah versi animasi 3D dari kisah percintaan tragis Romeo dan Juliet. Serombongan bintang besar macam James McAvoy, Emily Blunt, Michael Caine, Jason Statham, Maggie Smith, Julie Walters hingga Hulk Hogan pun direkrut untuk meramaikan Gnomeo & Juliet.

Adapun inti kisahnya sendiri tak jauh berbeda dengan Romeo and Juliet, namun beberapa perubahan tetap dilakukan untuk menyesuaikan dengan setting dan target penonton. Jika kita biasanya mengenal Romeo dan Juliet sebagai dua insan manusia yang rupawan, maka kali ini dua karakter paling populer dalam sejarah Sastra Inggris ini diwujudkan dalam bentuk Gnome (patung taman) yang rupawan. Untuk memudahkan penonton, terutama penonton cilik, dalam mengenal setiap tokohnya, topi gnome dibedakan menjadi dua warna, merah dan biru. Merah mewakili keluarga Juliet Capulet, sementara biru adalah milik Gnomeo Montague. Mereka tinggal di kebun yang bersebelahan dan permusuhan diantara mereka telah berkobar sejak lama. Juliet (Emily Blunt) yang merasa dirinya diremehkan berencana untuk mengambil sebuah anggrek di rumah kaca agar sang ayah tak menganggapnya sebagai gadis lemah. Di saat yang bersamaan, Gnomeo (James McAvoy) hendak menyergap dan menghancurkan taman keluarga Capulet. Perhatiannya teralihkan saat dia melihat kecantikan Juliet. Gnomeo mengejar Juliet. Mereka saling menggoda dan berebut anggrek. Dengan memakai samaran, keduanya tak saling mengenal. Tapi saat penyamaran mereka terbuka, segalanya telah terlambat. Gnomeo dan Juliet telah resmi saling jatuh cinta. Melihat kondisi yang tidak mendukung, Gnomeo dan Juliet pun berencana untuk kabur dari taman masing - masing agar cinta mereka abadi.

Saya sama sekali tidak menyangka jika Gnomeo & Juliet sangat menghibur sebagai sebuah tontonan. Awalnya agak pesimis dan curiga film ini akan menjadi sangat childish. Tapi ternyata saya salah. Walaupun di beberapa bagian terasa kekanakkan, tapi Gnomeo & Juliet secara mengejutkan tetap enak untuk ditonton. Paruh awal penuh dengan kekonyolan yang mampu mengocok perut penonton dan yang membuat saya senang, cara Kelly Asbury menyodorkan lawakan tak melulu bermain di area slapstick. Kadangkala kelucuan justru muncul di adegan yang tak terduga oleh penonton. Sayangnya sejak keluarga Capulet dan Montague mulai memutuskan untuk berperang berbagai kelucuan itu mulai mengendur dan malah terasa garing. Aspek drama lebih ditekankan terutama di bagian ending yang cukup menguras emosi. Agar penonton tak merasa bosan saat segala lawakan perlahan mulai menghilang, Asbury memasukkan berbagai adegan menegangkan yang mampu membuat penonton menghela nafas. Lumayan efektif. Tapi yang membuat saya agak terganggu adalah kehadiran burung flamingo berwarna pink, Featherstone. Entah bagaimana dengan penonton lain tapi Featherstone membuat saya sebal dan walaupun kisahnya sangat menyentuh tetap tak mengurangi kekesalan saya terhadap karakter ini.

Apa kekuatan paling menonjol dari Gnomeo & Juliet ? Animasinya. Sungguh, animasi grafis 3D di Gnomeo & Juliet terlihat sangat mulus dan realistis. Agak sulit dipercaya jika film ini dibiayai dengan bujet sekitar $ 10 juta saja apabila melihat hasilnya yang sangat menakjubkan. Sayangnya ini tidak terbantu dengan presentasi 3D-nya yang terasa biasa saja dan tak ada kesan eye-popping seperti yang ditunjukkan oleh Despicable Me. Lantas bagaimana dengan para pengisi suaranya yang dihuni oleh sederetan bintang populer tersebut ? Sama sekali tak mengecewakan. McAvoy dan Blunt membawakan suara Gnomeo dan Juliet dengan pas dan chemistry yang terjalin pun cukup apik. Namun yang paling mencuri perhatian saya (dan saya cukup yakin, semua penonton) adalah Ashley Jensen. Aktris Skotlandia yang angkat nama di Ugly Betty dan Accidentally on Purpose ini sangat lucu saat membawakan suara Nanette, patung kodok sahabat Juliet. Agaknya Jensen lebih cocok menjadi dubber ketimbang berkecimpung di dunia seni peran. Dialah yang menjadi nyawa dari Gnomeo & Juliet. Tanpa Nanette yang ceriwis dan banyak akal ini, Gnomeo & Juliet mungkin akan terasa flat dan menjemukan.

Note : Eh, eh, eh, soundtrack Gnomeo & Juliet yang diracik oleh Elton John, Chris P. Bacon dan James Newton Howard enak - enak ya ? Paling suka dengan duet Elton John dan Lady Gaga di Hello, Hello.

Exceeds Expectations

Trailer :


March 20, 2011

REVIEW : YOURS TRULY

Citra film horror lokal di mata masyarakat awam sudah tercemar lantaran banyaknya film asal jadi yang mengaku sebagai film horror yang tayang di bioskop. Saat Rumah Dara dirilis setahun silam, sambutannya pun tak seperti yang diharapkan padahal promosinya gencar dan review bagus menyertainya. Rupanya banyak masyarakat yang kadung trauma dan menganggap semua film horror lokal tak layak ditonton. Tentu ini bukan salah masyarakat karena pada kenyataannya memang seperti itu. Jujur, saya sebagai pecinta genre ini merasa sakit hati melihat para sineas tak bertanggung jawab tersebut 'memperkosa' genre horror dengan kasar. Setelah berbagai kecaman demi kecaman dan jumlah penonton yang kian merosot, ternyata sama sekali tak membuat mereka jera dan malah semakin menjadi - jadi. Di saat saya mulai pesimis, hadirlah duo Elvira Kusno dan Ian Salim yang menjadi bahan perbincangan di kalangan para movie blogger lantaran film pendek bikinan mereka, Yours Truly, secara tidak terduga memiliki kualitas yang bagus. Saya pun dibuat penasaran dengan Yours Truly dan langsung mencicipinya. Hasilnya ? Ulalaaaa, para pecinta film horror akan bersorak sorai menyambut mereka seperti halnya ketika The Mo Brothers memulai debut mereka.

Mengusung genre psycho - horror, Yours Truly memulai kisahnya dengan manis dan cenderung menipu penonton. Todi (Todi Pandapotan) adalah seorang pria pendiam dan kaku yang bekerja di toko bunga bernama Yours Truly. Yang unik dari toko ini adalah penerima bunga tidak akan mendapat kartu ucapan yang biasanya disematkan bersama bunga, melainkan sebuah nyanyian sebagai pengganti kartu. Ya, tugas Todi selain mengantar bunga adalah menyanyikan sebuah lagu yang berisi pesan dari sang pengantar bunga. Pekerjaan yang terkesan sederhana namun bagi seorang introvert macam Todi, hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Belum lagi dia harus berhadapan dengan sejumlah orang yang memiliki karakter beragam seperti Olive, Anastasia hingga Mince Karmince (Cecep Reza) yang sangat ditakuti oleh Todi. Namun pekerjaan uniknya inilah yang kemudian mempertemukannya dengan seorang gadis cantik yang ramah bernama Kayla (Kyla Pisita White). Saking seringnya mereka bertemu, hubungan antara Todi dan Kayla semakin lama semakin dekat. Bermodalkan tape recorder, Todi mengutarakan isi hatinya kepada Kayla. Akankah Kayla yang cerewet dan selalu mendominasi percakapan menerima Todi yang sangat pendiam ? Ah, itu sama sekali tak penting. Elvira dan Ian mengakhiri Yours Truly dengan cara yang sangat jauh berbeda dari cara mereka memulainya.

Poster, judul dan menit - menit awal film ini sungguh menipu. Apa yang terjadi di akhir film sungguh berbeda dengan bayangan saya meskipun sebenarnya ending Yours Truly tidak menawarkan sesuatu yang baru. Ketegangan dibangun dengan perlahan, malahan Elvira dan Ian mencoba mengelabui penonton dengan memasukkan banyak elemen komedi romantis ke dalam film pendek berdurasi 16 menit saja ini. Siapapun yang mengira bahwa ini adalah film romantis yang manis atau film horror slasher yang berdarah - darah tentu akan tertipu. Apa yang sesungguhnya terjadi baru terbaca di 2 menit terakhir. Intinya sih, jangan menilai sesuatu dari permukaannya saja. Rupanya Elvira dan Ian tak hanya menerapkannya pada karakter buatan mereka, tapi juga terhadap film buatan mereka. Jangan percaya dengan posternya. Jangan percaya dengan judulnya. Jangan percaya dengan apa yang dituturkan di 12 menit pertama. Percayai saja bahwa Yours Truly adalah film pendek yang menarik.

Menyinggung masalah teknis, untuk ukuran film debut sudah cukup bagus. Tidak ada yang mengganggu secara signifikan, masih dalam batas kewajaran. Sementara dari akting, acungan dua jempol layak diberikan kepada Todi Pandapotan dan Kyla Pisita White yang bermain menawan disini. Dua nama yang memulai karir di panggung hiburan sebagai model ini tak dinyana berhasil menghidupkan karakter Todi dan Kayla, chemistry yang terjalin pun cukup believable. Rasanya begitu menyenangkan dan memuaskan melihat sebuah film indie pendek berbujet rendah dari sutradara debutan yang berhasil membuat para dedemit buatan sutradara populer bertekuk lutut. Meskipun tanpa mengumbar tubuh seksi para pemain dan setan - setan narsis yang menyebalkan, Yours Truly tetap enak dinikmati, malah berkali - kali lipat lebih bagus dan terlihat lebih profesional ketimbang Pocong Ngesot dan kawan - kawannya yang digarap super ngawur itu. Semoga saja ini bukan one-hit wonder dari Elvira Kusno dan Ian Salim serta makin banyak sineas muda yang mengikuti jejak mereka. Amin.

Bagi yang ingin menonton Yours Truly, silahkan kunjungi Official Website film ini. KLIK.

Exceeds Expectations

Trailer :


March 18, 2011

REVIEW : DRIVE ANGRY

Entah apa yang terjadi dengan Nicolas Cage hingga dirinya terjebak dalam film - film berkualitas mengecewakan dalam beberapa tahun terakhir. Memang tak semua filmnya buruk karena masih ada yang bisa dikategorikan layak tonton macam Knowing, Kick Ass dan Bad Lieutenant : Port of Call New Orleans. Namun jumlah filmnya yang kacau balau berkali kali lipat lebih banyak dan bahkan untuk tahun ini saja, dia sudah memulainya lewat Season of the Witch. Seakan belum cukup, dia kembali mengulanginya dalam Drive Angry. Kepercayaan saya terhadap Nicolas Cage pun perlahan - lahan mulai hilang. Yang menyedihkan, saking seringnya Cage bermain di film dengan kualitas semenjana, banyak orang mengira bahwa dirinya tidak memiliki film yang bagus. Padahal selama dia mendapatkan naskah yang tepat dan brilian, Cage pun bisa bermain apik di film yang dibintanginya.

Ditangani oleh sutradara yang catatan rekornya tak meyakinkan, Patrick Lussier, dan hasil box office di Amerika Utara yang rusak parah, firasat saya akan Drive Angry sama sekali tak bagus. Tak ada satupun film buatan Lussier yang bisa saya nikmati. Kembali berkolaborasi dengan Todd Farmer setelah sebelumnya menciptakan remake My Bloody Valentine yang sangat mengecewakan itu, saya sama sekali tak menaruh harapan lebih kepada Drive Angry. Lussier menciptakan Drive Angry layaknya film kelas B dengan tambahan embel - embel 3D agar terkesan lebih menjual. Tidak ada yang salah dengan film kelas B karena jika ditangani dengan tepat bisa menjadi tontonan yang menyenangkan. Coba saja cicipi karya Robert Rodriguez dan sutradara favorit saya, Quentin Tarantino. Drive Angry mencoba keras untuk menjadi tontonan yang mengasyikkan dengan begitu dermawannya menggelontorkan sejumlah kekerasan brutal dan ketelanjangan. Tapi apakah itu berhasil ? Bagi saya, cukup berhasil di bagian awal, namun setelah berulang kali diulang malah menjadikannya sebagai boomerang.

Nicolas Cage adalah John Milton, penghuni neraka yang kabur ke bumi demi menyelamatkan sang cucu yang diculik oleh sebuah kelompok pemuja setan. Dalam perjalanannya memburu kelompok ini, dia ditemani oleh seorang gadis cantik nan seksi dari film All the Boys Love Mandy Lane, Amber Heard. Formula yang sangat mudah ditebak dan untungnya kehadiran Heard atau Piper disini sama sekali tak mengganggu, malahan berhasil membuat mata saya terus tetap melek hingga akhir film walau sebenarnya sudah sangat menderita dan ingin film ini cepat selesai. Perburuan juga diperumit dengan kehadiran The Accountant, diperankan dengan cukup baik oleh William Fichtner, yang bertugas untuk menyeret Milton kembali ke neraka. Meski ditampilkan sebagai karakter abu - abu yang menyebalkan, kehadiran The Accountant sepertinya dimanfaatkan oleh Lussier untuk memancing tawa penonton dengan perilakunya yang susah ditebak. Sesekali humor yang ditawarkan cukup efektif, tapi semakin ke belakang saat kekerasan dijadikan sebagai bahan guyonan, segalanya menjadi tak lucu lagi.

Naskah Drive Angry memang tak bisa diandalkan mengingat begitu dangkalnya plot dan dialog - dialog menggelikan bertebaran di sepanjang film. Special effects-nya bolehlah walaupun tak terlampau istimewa. Untuk pemakaian 3D sendiri terkesan dipaksakan karena tanpa ini pun Drive Angry tak akan terasa berbeda. Menyebalkan rasanya memakai kacamata 3D yang mengganggu untuk menonton sebuah film berdurasi 100 menit yang tak kalah mengganggunya. Jelas sekali 3D, kebrutalan, ketelanjangan dan Nicolas Cage yang menjadi jualan utama film ini karena selain itu tak ada yang bisa dibanggakan dari Drive Angry. Perasaan tersiksa sepanjang film dengan menyaksikan sejumlah adegan aksi yang membosankan semakin ditambah melihat bagaimana LSF memotong film ini dengan kasar. Jika kalian memang menggemari tontonan aksi tanpa otak yang menjual kekerasan dan boobs mungkin akan sangat menikmati Drive Angry, tapi jika tidak mending pilih film lain saja daripada menyesal telah membuang - buang uang dan waktu untuk tontonan dangkal macam ini.

Poor

Trailer :


March 12, 2011

REVIEW : RUMAH TANPA JENDELA


Perkenankanlah saya untuk sedikit curhat mengenai pengalaman saya nonton Rumah Tanpa Jendela beberapa hari yang lalu. Sebenarnya saya sendiri sudah capek dan bosan membahas ini, masalah klasik yang terus menghinggapi perfilman lokal hingga detik ini. Saat menonton Rumah Tanpa Jendela, hanya ada sekitar 11 orang saja di dalam bioskop sampai - sampai saya mendengar celetukan dari seorang pegawai bioskop, ''filmnya ga laku, tak ada nonton.'' Kejadian yang sama juga saya alami tatkala menyaksikan film yang saya puja puji tahun lalu, Minggu Pagi di Victoria Park, dimana saat itu hanya ditonton 7 orang termasuk saya. Bahkan saya tak sempat mencicipi Hari Untuk Amanda di bioskop karena hanya bertahan tak kurang dari 5 hari saja di bioskop. Lantas, apa persamaan Rumah Tanpa Jendela dengan kedua film bernasib naas tersebut ? Ketiganya film bagus yang digarap dengan serius. Hampir saja saya enggan membuat review film Indonesia dan promosi mulut ke mulut lagi karena toh pada akhirnya tak didengar, hasilnya pun tak berbeda jauh. Film berkualitas menguap begitu saja, film buruk tetap diantri penonton. Apakah perlu para filmmaker berkualitas ini meniru langkah orang - orang tak bertanggung jawab tersebut dengan membuat sensasi murahan dan adegan buka - bukaan agar filmnya lebih laku ? Jujur saja, saya sudah lelah.

Rumah Tanpa Jendela memberi angin segar kepada pecinta film berkualitas di saat perfilman lokal terus diterjang dengan film asal bikin yang tak bertanggung jawab. Karena untuk konsumsi keluarga, film yang berangkat dari cerpen karangan Asma Nadia ini berutur sederhana dan tak ribet. Bagi kebanyakan orang, jendela adalah suatu barang yang biasa saja dan malah terkadang tak dianggap meski manfaatnya tergolong luar biasa. Coba bayangkan rumah kalian jika tak memiliki jendela, apa yang kalian rasakan ? Memiliki jendela adalah cita - cita Rara (Dwi Tasya), seorang gadis miskin yang hidup di perkampungan kumuh para pemulung. Terkesan sederhana, namun untuk bisa memperoleh kusen jendela, sang ayah (Raffi Ahmad) harus banting tulang dan belum lagi Rara menghadapi cemoohan teman - temannya. Seperti halnya formula film anak - anak kebanyakan, dihadirkan pula sosok sahabat bagi Rara yang datang dari dunia berbeda. Aldo (Emir Mahira), lebih beruntung secara finansial dibanding Rara. Hidupnya serba berkecukupan dan jendela menghiasi setiap sudut rumahnya. Namun dia memiliki keterbelakangan mental dan kakaknya malu dengan kondisi adiknya ini. Sebuah kecelakaan mempertemukan Aldo dengan Rara dan sejak itu persahabatan keduanya mulai terjalin. Berasal dari dunia yang bertolak belakang dengan segala macam perbedaan yang ada membuat persahabatan keduanya mendapat banyak ujian. Impian Rara untuk memiliki jendela semakin menjauh, sementara Aldo menyadari bahwa selain sang nenek (Ati Kanser) tak ada yang benar - benar menerimanya di rumah.

Yang membuat saya berdecak kagum dengan Rumah Tanpa Jendela adalah akting Emir Mahira yang sangat gemilang dan mengalami kemajuan pesat pasca Garuda di Dadaku. Secara konstan menjaga gestures dan aksen sebagai penderita down syndrome membuat kehadiran para pemain lain seakan tak ada artinya. Dwi Tasya yang bermain bagus sebagai Rara tenggelam saat harus berhadapan dengan Emir dalam satu layar, begitu pula dengan para pemain senior macam Ati Kanser dan Inggrid Widjanarko. Mungkin agak terlalu dini, tapi rasanya keterlaluan jika nantinya juri FFI sama sekali tidak melirik akting Emir Mahira disini. Lantas bagaimana dengan akting pasangan paling heboh saat ini, Raffi Ahmad dan Yuni Shara ? Jangan khawatir, mereka juga (untungnya) bermain apik. Meski Raffi Ahmad terkesan agak dipaksakan untuk berperan sebagai single parent dengan jenggotnya yang menggelikan itu, namun Yuni Shara tampil memesona walau tak lebih dari 5 menit tampil. Untuk barisan pemain memang memuaskan, tak ada yang tampil di bawah rata - rata, semuanya bermain bagus. Hanya saja ketotalan akting Emir Mahira dalam membawakan perannya berimbas pada pemain lain yang terasa menjadi tempelan belaka.

Secara naskah sudah kuat, komposisi antara drama dan komedinya pas. Jika ada yang mengganggu mungkin adegan penuh air mata yang diumbar terlalu berlebihan macam sinetron plus dengan tokoh - tokoh jahatnya. Sekali dua kali berhasil memancing emosi, namun setelah terus menerus diulang malah justru membuat sebal. Pesan yang hendak disampaikan justru terasa kabur. Namun yang paling mengusik saya adalah, dengan kisah sedramatis ini apa mungkin akan disukai oleh penonton cilik ? Pada kenyataannya, penonton cilik lebih menyukai tontonan yang ringan dan menghibur. Banyaknya porsi drama penguras air mata akan membuat jenuh mereka meski mungkin bakal disuka penonton dewasa. Walau begitu, saya sempat menitikkan air mata lho di salah satu adegan klimaks Rumah Tanpa Jendela. Selamat, bung Aditya Gumay, Anda sekali lagi berhasil membuat saya mengeluarkan tissue dari kantong celana. Jika mencari titik kelemahan dari Rumah Tanpa Jendela, maka sound mixing adalah yang paling kentara. Permasalahan klasik di film lokal sih sebenarnya, tapi mengingat Rumah Tanpa Jendela mengusung genre musikal, hal ini menjadi sangat mengganggu karena tak hanya melibatkan dialog, tetapi juga musik. Entah berapa kali gerakan bibir pemain tidak pas dengan dialog atau lagu yang dinyanyikan.

Mengesampingkan kelemahan yang menurut saya cukup fatal ini (karena mengganggu kenikmatan penonton), Rumah Tanpa Jendela layak mendapatkan apresiasi lebih. Akting yang gemilang dipadu dengan naskah yang memikat, soundtrack yang enak didengar, sinematografi yang indah dan penyutradaraan yang tepat adalah alasan kenapa Rumah Tanpa Jendela harus masuk ke dalam list film wajib tonton kalian. Jangan sia - siakan uang kalian demi menyaksikan film perusak moral tak bertanggung jawab, bukankah lebih baik dipakai untuk menonton Rumah Tanpa Jendela yang kabarnya uang hasil pendapatan akan disumbangkan untuk gerakan sosial ini ? Mari ajak orang tua, sahabat, keponakan, adik, kekasih atau bahkan tetangga untuk menyaksikan salah satu film hasil buatan anak bangsa yang berkualitas ini. Rumah Tanpa Jendela memang tak sebaik Petualangan Sherina, tapi tetap saja sangat sayang untuk dilewatkan.

Acceptable

March 4, 2011

REVIEW : HEAR ME


Industri perfilman di Taiwan kembali menggeliat pasca kesuksesan Cape No. 7 yang luar biasa di tangga Box Office maupun berbagai festival film. Jika masyarakat Indonesia menggemari film tentang dedemit berbau komedi seks, maka masyarakat Taiwan cenderung menyukai film romantis. Ini bisa dilihat dari film lokal yang memuncaki daftar box office selama 3 tahun berturut - turut ; Secret, Cape No. 7 dan Hear Me. Meski bergenre roman, para sineas Taiwan tetap menggarapnya dengan serius sehingga hasilnya pun tetap ciamik dan jauh dari kata mengecewakan. Secret dibuat dengan bujet besar dan dukungan dari Jay Chou, namun Cape No. 7 dan Hear Me hanyalah film berbujet rendah yang didukung oleh para aktor yang kurang dikenal publik luar Taiwan. Untuk review kali ini, saya akan mengulas Hear Me, sebuah film drama romantis yang inspiratif. Kabarnya, Hear Me sempat akan dikirimkan ke Oscar 2011 sebagai perwakilan Taiwan namun belakangan dibatalkan lantaran tak memenuhi syarat jadwal edar sehingga Monga dikirim sebagai pengganti.

Film romansa yang menyentuh sekaligus menggelitik ini memiliki alur yang lumayan cepat dan enak untuk diikuti. Tak ada kesempatan untuk bertele - tele dan mengumbar kesedihan terlalu berlebihan. Tian Kuo (Eddie Peng) bertemu pertama kali dengan Yang Yang (Ivy Chen) saat dia mengantar katering untuk tim renang Deaflympics. Kakak dari Yang Yang sendiri, Xiao Peng (Yanxi Chen) adalah salah satu anggota tim renang dan merupakan unggulan utama. Kakak beradik ini sudah tuli sejak lahir dan untuk berkomunikasi dengan keduanya, Tian Kuo menggunakan bahasa isyarat. Ada getaran yang tidak biasa di dada Tian Kuo saat bertemu Yang Yang, dia merasa gadis ini berbeda dan istimewa. Berbagai upaya pun dia lakukan agar bisa mengenal Yang Yang lebih jauh, termasuk meminta MSN dia dan memberinya boks nasi secara gratis. Namun pekerjaan Yang Yang membuatnya hampir tak memiliki waktu untuk memikirkan kencan sehingga Tian Kuo bolak balik gigit jari. Melihat kesungguhan Tian Kuo, hati Yang Yang mulai luluh dan bersedia untuk meluangkan waktunya sejenak demi menraktir Tian Kuo makan malam.


Disinilah konflik mulai muncul. Sebuah kesalahpahaman terjadi saat Yang Yang mengira Tian Kuo malu padanya karena membayar dengan uang recehan dan memutuskan untuk tak berhubungan lagi dengannya. Semakin meruncing tatkala Yang Yang menyadari hubungannya dengan sang kakak menjadi berantakan setelah dia berkenalan dengan Tian Kuo. Namun bukan Tian Kuo namanya jika menyerah begitu saja. Dia tak akan berhenti sebelum berhasil mendapatkan Yang Yang. Perjuangan Tian Kuo demi mendapatkan cinta serta perjuangan Xiao Peng untuk menggapai impiannya di Hear Me ini diakhiri dengan menyentuh, lucu sekaligus mengejutkan. Di luar dugaan saya, Hear Me tidak menjadi sebuah film roman yang menye menye nan lebay. Ini bukan hanya sekadar kisah cinta biasa, namun juga menyoroti hubungan kakak beradik dengan gangguan pendengaran yang saling mendukung satu sama lain setelah ditinggal kedua orang tua mereka. Fenfen Cheng tidak menjadikan kisah Xiao Peng - Yang Yang ini sebagai tempelan belaka, malahan dia berhasil membungkusnya dengan sangat menyentuh dan inspiratif. Kekurangan tidak menghambat keduanya untuk maju. Mereka justru digambarkan pantang menyerah, ceria dan selalu memandang hidup dengan optimis. Salut !


Cinta adalah sebuah keajaiban, tak perlu untuk diucapkan atau diterjemahkan, karena cinta secara ajaib bisa langsung terlihat. Hampir sepanjang film, Hear Me tak ada dialog. Kalaupun ada, hanya saat Tian Kuo berinteraksi dengan kedua orang tuanya. Sementara untuk Tian Kuo - Yang Yang dan Yang Yang - Xiao Peng, tak ada dialog sama sekali karena mereka berkomunikasi melalui bahasa isyarat. Jangan keburu pesimis dulu, meski hubungan mereka bertiga nol dialog, tapi tak mengurangi kadar menarik dari film ini. Tetap lucu, tetap romantis dan malah lebih menyentuh. Ivy Chen bermain bagus sekali sebagi Yang Yang. Bahasa tubuh dan bahasa isyaratnya mampu berbicara lantang, sungguh indah dan mengagumkan. Tanpa perlu narasi yang berkepanjangan, dia sudah mampu menunjukkannya melalui ekspresi mukanya yang meyakinkan. Eddie Peng pun senada. Meski kadang terkesan agak over, tapi penampilannya juga patut diacungi dua jempol. Jangan lupakan pula akting hebat dari Yanxi Chen, Lo Bei-an dan Mei Shiu Lin.

Sepanjang 108 menit, Hear Me dituturkan secara sederhana oleh Fenfen Cheng. Minim dialog, minim setting sekaligus minim aktor. Jika ditotal, hanya ada 5 aktor yang memiliki peran penting disini, selebihnya diisi para figuran. Lha, filmnya membosankan dong ? Sama sekali tidak. Inilah yang membuat saya jatuh hati kepada film garapan Fenfen Cheng ini. Mereka bisa memaksimalkan segala keterbatasan yang ada dan menjadikannya menarik. Ini senada dengan pesan filmnya itu sendiri, jangan sampai keterbatasan atau kekurangan yang kau miliki menjadikan dirimu lemah. Dibalik kelemahan, pasti ada kekuatan yang tersembunyi. Terus semangat dan jangan pernah menyerah. Sungguh inspiratif !

Exceeds Expectations

Trailer :

Mobile Edition
By Blogger Touch