"Kita suruh dia ngelawak, kalau nggak lucu kita tembak." - Ernest
Setidaknya ada empat alasan utama yang mendasari mengapa saya bersemangat untuk melangkahkan kaki ke bioskop demi menyaksikan Comic 8; Pertama, trailer yang menimbulkan ketertarikan di dalam diri untuk mengetahui sejauh mana kombinasi dari aksi komedi ini akan bekerja. Kedua, desain poster yang terbilang cantik (dan niat!) untuk ukuran film Indonesia, tentu saja. Ketiga, premis seputar perampokan bank yang membangkitkan rasa penasaran. Terakhir, jajaran pemainnya yang diisi oleh serombongan comic (pelaku stand up comedy) tersohor di Indonesia. Apabila kesemua alasan yang juga merupakan bagian dari formula temuan Anggy Umbara untuk menggaet khalayak ramai ini digoreskan di atas kertas, Comic 8 terdengar bagai hidangan lezat yang sulit ditampik siapapun. Namun bagaimana jadinya apabila diterapkan ke dalam bentuk film? Akankah sajian yang menjanjikan gelaran penuh hingar bingar dengan campuran canda tawa ini mampu memantik kehebohan penuh kesenangan dari penonton di bioskop? Let’s see.
Upaya dari tiga pelaku tindak kriminal amatir; Bintang, Babe, dan Fico, untuk merengkuh Rupiah sebanyak mungkin dengan membobol bank tidak berjalan mulus tatkala mereka memilih hari yang salah untuk ‘berwisata’ ke Bank INI. Segala perencanaan (yang di dalam bayangan mereka) terasa telah matang, mendadak hancur berantakan lantaran di saat yang bersamaan hadir pula trio perampok bank yang (paling tidak) lebih profesional; Ernest, Kemal, dan Arie, yang tengah melancarkan aksi. Kalah saing, maka Bintang dan tim pun terpaksa mengurungkan niat untuk mengisi penuh tangki uang dan beralih menjadi sandera... setidaknya untuk sementara. Belum juga kelar peristiwa perampokan yang amburadul ini, duo aneh bin ajaib; Mongol dan Mudy, hadir untuk memeriahkan suasana yang seiring dengan berjalannya film, menjadi semakin kacau, aneh, dan absurd. In a good way.
Upaya dari tiga pelaku tindak kriminal amatir; Bintang, Babe, dan Fico, untuk merengkuh Rupiah sebanyak mungkin dengan membobol bank tidak berjalan mulus tatkala mereka memilih hari yang salah untuk ‘berwisata’ ke Bank INI. Segala perencanaan (yang di dalam bayangan mereka) terasa telah matang, mendadak hancur berantakan lantaran di saat yang bersamaan hadir pula trio perampok bank yang (paling tidak) lebih profesional; Ernest, Kemal, dan Arie, yang tengah melancarkan aksi. Kalah saing, maka Bintang dan tim pun terpaksa mengurungkan niat untuk mengisi penuh tangki uang dan beralih menjadi sandera... setidaknya untuk sementara. Belum juga kelar peristiwa perampokan yang amburadul ini, duo aneh bin ajaib; Mongol dan Mudy, hadir untuk memeriahkan suasana yang seiring dengan berjalannya film, menjadi semakin kacau, aneh, dan absurd. In a good way.
Ya, in a good way. Anggy Umbara (Mama Cake, Coboy Junior the Movie) memenuhi segala ekspektasi saya yang terpasang cukup tinggi terhadap Comic 8. Ini adalah sebuah sajian yang sungguh menghibur dengan kombinasi yang dirangkai dengan tepat guna antara aksi seru penuh kejutan dan humor-humor segar nyeleneh yang mampu memicu ledakan tawa. Meluncur dengan begitu cepat tanpa berlama-lama menuju ke inti penceritaan, si pembuat film melalui kendaraan bernama Comic 8 mengajak Anda untuk menikmati sebuah perjalanan yang kacau, terkesan sepele, namun mengasyikkan. Memang, beberapa lontaran humor serta adegan aksi tembak menembak (sedikit bubuhan ledakan) telah terpapar sebagian dalam trailer, namun ternyata masih ada cukup amunisi yang disimpan oleh Anggy Umbara sehingga Anda tak perlu risau film akan kekurangan bahan untuk membuat Anda betah duduk manis di kursi bioskop hingga credit title berhenti merayap.
Bahkan, demi menambah daya tarik terhadap film, Fajar Umbara selaku penulis skrip menciptakan twist berlapis di dalam penceritaan. Tidak bisa dipungkiri ada kesan dipaksakan di sini, namun langkah yang ditempuh oleh Fajar dengan membelokkan jalinan pengisahan berulang kali ini cukup berhasil, terbilang berani dan memberi semacam penyegaran khususnya di perfilman Indonesia yang umumnya memilih bermain aman kala menawarkan konklusi. Ini membawa kesenangan tersendiri di menit-menit terakhir dari Comic 8 karena para penonton dibiarkan untuk senantiasa menebak-nebak kemana film akan bermuara di tengah-tengah desingan peluru dan dentuman granat yang tak henti-hentinya menggelegar demi memeroleh jawaban atas pertanyaan, “apa yang sesungguhnya terjadi di balik peristiwa perampokan yang kacau balau ini?”.
Dengan tampilan visual yang dipoles menyesuaikan apa-yang-tampaknya telah menjadi signature milik Anggy Umbara – yang sedikit banyak mengingatkan pada style dari Guy Ritchie – film pun kian terasa bergigi. Menariknya lagi, sekalipun departemen akting penuh sesak dengan cameo yang berlalu lalang, kedelapan comic yang menempati posisi di garda depan dalam Comic 8 memeroleh kesempatan unjuk gigi yang berimbang antara satu dan lain. Tidak ada yang benar-benar mendominasi layar atau tenggelam karena dicaplok porsi tampilnya. Setiap tokoh dibekali dengan karakteristik yang kuat menonjol sehingga masing-masing memiliki kesempatan untuk bersinar meski mungkin (pada akhirnya) tokoh milik Mudy, Mongol, Ernest, atau Fico, memiliki peluang lebih besar untuk dikenang oleh mayoritas penonton.
Note : Salah satu momen terbaik di Comic 8 terletak bersamaan dengan bergulirnya credit title. Maka dari itu, sebaiknya Anda tidak tergesa-gesa meninggalkan gedung bioskop.
Exceeds Expectations
aaaak gak liat credit titlenyaa.. keburu kebelet pipis T.T
ReplyDeletefilmnya keren banget!!! ketawa ngakak mulu sepanjang film... udah gitu ceritanya juga ga mudah ditebak... seru deh pokoknya!
ReplyDelete