"Memilih cita-cita yang terpenting adalah apa yang mau kita capai di hari esok dengan cita-cita itu."
Mungkin, mayoritas penonton yang bersedia menyisihkan sedikit uang dan meluangkan sedikit waktu untuk menyaksikan film dengan salah satu desain poster tercantik tahun ini tidak benar-benar mengetahui siapa sosok Likas Tarigan dijadikan sebagai bahan pergunjingan di sini. Namanya begitu asing di telinga. Bahkan ketika kamu mengubek-ngubek buku sejarah untuk mencari latar belakangnya, kemungkinan akan dihadapkan pada jalan buntu saking minimnya (atau bahkan tidak ada!) informasi yang tersedia. Hal ini tentu membuat banyak orang bertanya-tanya terlebih film biopik di Indonesia selama ini umumnya memfokuskan diri terbatas pada tokoh-tokoh besar yang namanya telah dikenal seantero nusantara. “Siapa sesungguhnya Likas Tarigan? Apa yang membuatnya begitu istimewa sehingga dirasa perlu mengangkat kisah hidupnya ke layar lebar?” adalah pertanyaan umum yang menyertai penonton kebanyakan sebelum melangkahkan kaki ke dalam gedung bioskop. Jika kamu benar-benar tidak tahu, biarkan ketidaktahuan itu menyertaimu hingga selesai menyaksikan 3 Nafas Likas untuk memberi daya tarik lebih pada guliran kisah.
3 Nafas Likas membawa kita pada tiga fase terpenting dari kehidupan seorang Likas Tarigan. Dinarasikan oleh Likas di usia senja (Tutie Kirana) yang tengah diwawancara oleh Hilda (Marissa Anita) untuk kebutuhan pembuatan buku biografi, film lalu melompat ke puluhan tahun silam tatkala Likas masih duduk di bangku sekolah (Tissa Biani Azzahra). Berbeda dengan kebanyakan bocah seusianya, Likas bertekad kuat dan telah mempunyai gambaran mengenai kehidupan yang akan dijalaninya selepas mengenyam dunia pendidikan. Dia ingin membagi ilmu yang dimilikinya dengan menjadi seorang guru. Hanya saja, mimpinya ini tidak memperoleh restu dari sang ibu, Tembun (Jajang C Noer), yang beranggapan bahwa keinginan putrinya ini bertentangan dengan adat Karo. Semangat Likas sempat mengendur namun ayah, Ngantari (Arswendi Nasution), dan kakak laki-lakinya, Njohre (Ernest Samudra), terus mendorongnya hingga Likas (Atiqah Hasiholan) berhasil mewujudkan cita-citanya.
Tentu, Rako Prijanto (Sang Kiai, Ungu Violet) tidak menghentikan langkah penceritaan sampai di sini saja. Penonton lalu dibawa kepada babak yang menunjukkan bahwa Likas bukanlah seorang perempuan dengan kehidupan ‘biasa-biasa saja’ seperti yang disangkakan di awal film terutama setelah dipersunting oleh seorang tentara bernama Djamin Gintings (Vino G Bastian). Sedari mendiami perkampungan terpencil di Karo, berlanjut ke pengungsian di Aceh hingga rumah mewah di Ottawa, Kanada, ada banyak cerita menarik, menggugah hati, dan inspiratif mengikuti perjalanan hidupnya. Kita melihat sesosok perempuan yang mempunyai pandangan yang jelas mengenai masa depan, berani mengemukakan pendapat, dan bertekad kuat untuk menepati janji yang telah diikrarkannya kepada tiga orang terpenting dalam hidupnya. Jelas ini adalah karakter yang mustahil akan kamu jumpai di sinetron. Tidak mengherankan jika kemudian Hilda tertarik untuk menuangkan pengalaman Likas lewat buku ‘Perempuan Tegar dari Sibolangit’ dan akhirnya kita mengerti mengapa tokoh ini penting.
Likas menjadi penting bukan karena memberi sumbangsih masif terhadap bangsa dan negara, tetapi karena dia adalah potret dari seorang perempuan ‘biasa-biasa saja’ – dengan kehidupan yang sejatinya tidak bisa pula dikategorikan biasa – yang ingin berubah ke arah lebih baik untuk memberi kebahagiaan bagi orang-orang yang dikasihinya. Ya, Likas mungkin tidak kamu anggap penting, tetapi dia jelas penting bagi Tembun, Ngantari, Njohre, Djamin, sampai perempuan manapun yang ingin membebaskan diri dari kungkungan budaya patriarki. Dan, sosok perempuan tangguh ini berhasil dimainkan secara menawan oleh Atiqah Hasiholan melalui performa terbaik yang pernah dipertontonkannya selama ini yang membuatnya semakin patut diperhitungkan selepas ini. Dia mampu menimbulkan simpati penonton terhadap karakter yang dimainkannya serta berduet secara manis bersama Vino G Bastian. Selain mereka berdua, barisan pemain pendukung pun berlakon secara istimewa khususnya Tutie Kirana, Tissa Biani Azzahra, Jajang C Noer (upayanya menghadang Likas untuk merantau sulit dilupakan), dan Arswendi Nasution.
Tiada akan menarik jika perjuangan hidup Likas ini hanya sebatas menyoroti sepak terjangnya dalam membangun karir – menunjukkan upayanya mencapai posisi strata sosial yang melambung tinggi. Maka Titien Wattimena selaku penulis skrip pun menyediakan ruang cukup luas bagi tumbuh berkembangnya kisah percintaan Likas dengan Djamin yang sedikit banyak mengingatkan kita kepada Habibie & Ainun. Dari awalnya jual mahal enggan memberi sinyal positif kepada Djamin, perlahan tapi pasti Likas menunjukkan ketertarikannya terutama setelah membaca surat-surat dari Djamin yang terangkai puitis. Suasana manis romantis, jenaka, sekaligus mengharu biru pun berhasil dihadirkan oleh Rako Prijanto yang sekali ini memperlihatkan peningkatan memuaskan setelah Sang Kiai yang mengecewakan itu. Dan omong-omong, apakah saya sudah menyebut bahwa 3 Nafas Likas memiliki cita rasa megah dan mahal? Karena harus diakui, inilah salah satu letak keunggulan dari film. Gambaran adegan perangnya tampak bombastis untuk ukuran film Indonesia, visualisasi dari Hani Pradigya terlihat cantik, dan tata artistiknya pun mengagumkan. Bolehlah kiranya kita menyebut 3 Nafas Likas sebagai salah satu film nasional terbaik tahun ini; indah, bersahaja, sekaligus menyentuh.
Exceeds Expectations
No comments:
Post a Comment