February 22, 2016

REVIEW : SPOTLIGHT


“I know there’s things you cannot tell people. But I also know there’s a story here people will hear about it.” 

Apakah kamu pernah membaca (atau setidaknya mendengar) rangkaian artikel tentang pelecehan seksual anak-anak oleh ratusan pastur Katolik Roma yang dipublikasikan di The Boston Globe pada tahun 2002? Jika ya, maka film terbaru dari Tom McCarthy bertajuk Spotlight ini akan mengajakmu melongok proses di belakang layar dari pembuatan artikel yang membuahkan Pulitzer Prize bagi tim investigasinya. Tapi jika belum mengetahuinya sedikit pun, maka bisa lebih baik lagi karena kamu akan mendapati temuan fakta-fakta mencengangkan yang mengguncang emosi selama berjalannya investigasi. Bahkan meski kamu telah mengenal cukup baik pemberitaan yang menghebohkan Boston dan berbagai penjuru dunia ini – kemana film ini akan bermuara pun sejatinya telah terterka sejak awal – sama sekali tidak mengurangi kenikmatan dalam menyantap Spotlight karena selama kurun durasi dua jam, McCarthy akan terus menerus mencengkram erat perhatianmu lewat pemaparan yang begitu padat, rapi, namun tetap memiliki cita rasa renyah untuk dikunyah. Dan pada saat itulah kamu menyadari bahwa Spotlight memang sebuah film yang hebat. 

February 20, 2016

REVIEW : ZOOTOPIA


“Life’s a little bit messy. We all make mistakes. No matter what type of animal you are, change starts with you.” 

Setelah berturut-turut menghidangkan produk berkualitas premium semenjak Tangled, sulit untuk tidak menaruh kepenasaran tinggi terhadap langkah berikutnya dari Walt Disney Animation Studio. Dengan Pixar kembali menggeliat tahun lalu, maka tentu semakin menarik untuk mengetahui bagaimana studio bermaskot Mickey Mouse ini mengantisipasi ‘serangan’ dari ‘saingan’. Begitu mendengar kabar produksi ke-55 mereka adalah sebuah fabel – salah satu kesukaan Disney selain dongeng putri-putrian – ada dua reaksi muncul: bersemangat karena lagi-lagi kembali ke ‘rumah’ seperti halnya Frozen, dan ragu-ragu karena, well, apa lagi sih yang bisa dieksplorasi dari cerita mengenai sekumpulan hewan-hewan berbicara? Tapi nyatanya, kamu tidak bisa meremehkan karena keajaiban Disney masih tersedia dalam film bertajuk Zootopia ini yang trailer versi kukangnya seketika melambungkan harapan. Memang sih tingkat kesenangan Zootopia tidaklah setinggi rilisan Disney akhir-akhir ini (setidaknya bagi penonton cilik), namun berbicara soal penceritaan, whoaaa... kamu mungkin akan sedikit terkejut mendapati keberanian Disney disini. 

February 13, 2016

REVIEW : A COPY OF MY MIND


"Aku sukanya film yang makhluk-makhluk gitu. Kayak buaya sama ikan jadi bukan." 

Buang jauh-jauh ekspektasimu terkait berpetualang ke dunia antah berantah misterius, penuh teror dari berbagai penjuru, dan menyimpan berlapis-lapis misteri, untuk film terbaru Joko Anwar. Dalam A Copy of My Mind, Joko Anwar memutuskan membawa penonton kembali ke satu wilayah di semesta yang benar-benar telah diakrabi: Indonesia. Lebih spesifiknya lagi, Indonesia ini merujuk kepada Jakarta. Bagi yang mengikuti jejak rekam sang sutradara tentu mengetahui bahwa film di permulaan karirnya, Janji Joni, mengambil latar tempat serupa. Hanya saja, tak seperti Janji Joni yang dipenuhi absurditas guna menghidupkan elemen komediknya, A Copy of My Mind cenderung lebih membumi dalam berceloteh. Lebih realistis. Disini, Joko mencoba memotret sisi ‘biasa’ dari sebuah kota yang memungkinkan mimpinya mengarungi dunia perfilman tercapai. A Copy of My Mind adalah semacam bentuk penghormatannya terhadap Jakarta. Segenap unek-uneknya mengenai ibukota tanah air – entah itu rasa cinta, gemas, prihatin, sampai jengkel – dilontarkannya melalui kisah percintaan dua wong cilik yang terhidang begitu manis, intim, sekaligus getir. 

February 11, 2016

REVIEW : DEADPOOL


You're probably thinking "This is a superhero movie, but that guy in the suit just turned that other guy into a fucking kebab." Surprise, this is a different kind of superhero story.” 

Deadpool adalah harapan. Setidaknya, begitulah maknanya bagi Ryan Reynolds yang karir keaktorannya terombang ambing paska memerankan superhero berkostum animasi dengan warna hijau, Green Lantern, dan bagi 20th Century Fox yang baru saja dicerca habis-habisan oleh, well, hampir seluruh penduduk dunia berkat luar biasa amburadulnya Fantastic Four. Terdapat potensi besar pada superhero bermulut kurang ajar ini untuk dikembangkan menjadi suatu franchise, lalu dikawinkan dengan Marvel Universe kepunyaan Fox (oh ya, bukan Marvel Cinematic Universe tentu saja, melainkan X-Men Universe). Terdengar sedikit terlalu ambisius memang jika menengok jejak rekam siapa-siapa di balik proyek ini, namun harapan itu akan dengan sendirinya muncul usai menyaksikan kegilaan semacam apa yang bisa ditawarkan oleh Deadpool. Ya, menyasar pasar penonton dewasa, Deadpool memang tanpa tedeng aling-aling mengobral sederet kebrutalan dan kesintingan namun tetap banyak menyimpan gelak tawa plus sisi manis yang mungkin sebelumnya tidak pernah kamu bayangkan bisa muncul dari sebuah film superhero dengan materi dasar komik Marvel. 

February 6, 2016

REVIEW : AACH... AKU JATUH CINTA


“Walau 100 gunung di negeri ini meletus tapi ingatan tentang kamu tidak akan hilang.” 

Aach... Aku Jatuh Cinta seringkali dideskripsikan sebagai film Garin Nugroho yang paling ringan, santai, dan suka-suka gue. Mengingat dalam rentang waktu tiga dekade di karir penyutradaraannya Garin lebih banyak berkutat pada karya-karya berhembuskan isu sosial pekat dengan penyampaian tidak juga mudah dicerna – walau ya, tentu ada pengecualian – maka pendeskripsian tersebut terdengar menggugah selera apalagi selepas Cinta dalam Sepotong Roti, sutradara pencetak Guru Bangsa Tjokroaminoto ini tidak pernah lagi bermain-main di area percintaan muda mudi dan belakangan lebih asyik dengan panggung biopik plus politik. Proyek bersuka cita dari Garin Nugroho bertajuk Aach... Aku Jatuh Cinta (judul internasional, Chaotic Love Poems) ini semakin terdengar menggiurkan buat dijajal lantaran keberadaan duo pemain utamanya – hey, Pevita Pearce dan Chicco Jerikho, bro! – beserta guliran pengisahannya yang mengambil latar waktu dalam tiga dekade dengan penandanya berasal dari budaya populer. Benar benar... meng-gi-ur-kan. 

February 3, 2016

REVIEW : TALAK 3


“Kalau kamu sayang sama aku, jangan pernah berkorban buat aku.” 

Andaikata keabsahan trailer dalam merepresentasikan keseluruhan isi suatu film mendekati level sempurna, maka sejujurnya trailer Talak 3 kurang mengundang selera saya untuk mencicipi versi lengkapnya. Seolah-olah, tidak lebih dari sekadar pepesan kosong belaka (guaring!). Yang kemudian menggerakkan hati untuk tetap mempercayai bahwa mustahil Talak 3 akan berakhir sebagai another Indonesian romantic comedy movie adalah jajaran pemainnya yang menggamit aktor aktris terbaik Indonesia saat ini; Vino G. Bastian, Laudya Cynthia Bella, serta Reza Rahadian, dan duo sutradara yang masing-masing melepas karya jempolan tahun lalu; Hanung Bramantyo dengan Hijab, sementara Ismail Basbeth memberikan Mencari Hilal. Lagipula, kita sempat dikejutkan oleh betapa menghiburnya Kawan Kawin? (yang sama-sama dibintangi Reza Rahadian) pada Februari silam, jadi mengapa tidak Talak 3 yang nyata-nyata mempunyai dream team? Dan memang, saat saya telah menetapkan ekspektasi bahwa film ini tidak akan berbeda jauh dengan trailer-nya, betapa terkejutnya diri ini begitu mendapati ternyata Talak 3 lebih kocak, lebih mengasyikkan dan lebih mengharu biru dibanding perkiraan. 

February 1, 2016

REVIEW : SURAT DARI PRAHA


“Tidak ada tempat untuk disesali. Kalaupun ada, saya menyesal sudah mengecewakan ibumu.” 

Ketidakelokan kualitas sederet film Indonesia berlatar negeri orang memang berpotensi menyebabkan khalayak ramai jera terhadap film sejenis. Kekhawatiran bahwa Surat Dari Praha akan berakhir seperti yang sudah-sudah – dalam artian, sekadar menjual panorama untuk memanjakan mata – pun sempat membayangi diri ini. Satu hal yang membuat saya percaya film ini tidak akan bernasib serupa adalah keberadaan Angga Dwimas Sasongko di balik kemudi. Bisa dibilang sebagai salah satu sutradara terbaik di Indonesia saat ini, Angga telah mencetuskan tiga karya hebat dari Hari Untuk Amanda, berlanjut ke Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (membawa pulang Piala Citra untuk Film Terbaik), serta paling anyar adalah Filosofi Kopi. Dengan hanya tinggal menunggu waktu untuk berkata, “In Angga, we trust”, apa yang mungkin salah dari Surat Dari Praha? Dan kenyataannya, kelahiran Surat Dari Praha bisa dikata merupakan momen paling tepat untuk akhirnya berseru keras “yes, Angga did it again!” karena ini adalah sebuah surat cinta yang terajut begitu indah, romantis, sekaligus menyimpan kepiluan mendalam. 
Mobile Edition
By Blogger Touch