“I know there’s things you cannot tell people. But I also know there’s a story here people will hear about it.”
Apakah kamu pernah membaca (atau setidaknya mendengar) rangkaian artikel tentang pelecehan seksual anak-anak oleh ratusan pastur Katolik Roma yang dipublikasikan di The Boston Globe pada tahun 2002? Jika ya, maka film terbaru dari Tom McCarthy bertajuk Spotlight ini akan mengajakmu melongok proses di belakang layar dari pembuatan artikel yang membuahkan Pulitzer Prize bagi tim investigasinya. Tapi jika belum mengetahuinya sedikit pun, maka bisa lebih baik lagi karena kamu akan mendapati temuan fakta-fakta mencengangkan yang mengguncang emosi selama berjalannya investigasi. Bahkan meski kamu telah mengenal cukup baik pemberitaan yang menghebohkan Boston dan berbagai penjuru dunia ini – kemana film ini akan bermuara pun sejatinya telah terterka sejak awal – sama sekali tidak mengurangi kenikmatan dalam menyantap Spotlight karena selama kurun durasi dua jam, McCarthy akan terus menerus mencengkram erat perhatianmu lewat pemaparan yang begitu padat, rapi, namun tetap memiliki cita rasa renyah untuk dikunyah. Dan pada saat itulah kamu menyadari bahwa Spotlight memang sebuah film yang hebat.
Mengambil latar pertengahan tahun 2001 hingga awal 2002, Spotlight memfokuskan penceritaan pada upaya sekelompok jurnalis di tim Spotlight – sebuah grup kecil di The Boston Globe yang bertugas menulis tentang artikel-artikel investigasi dengan riset mendalam – dalam mengungkap skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang pastur bernama John Geoghan. Gagasan penulisan artikel kontroversial ini dicetuskan editor baru Globe, Marty Baron (Liev Schreiber), setelah membaca mengenai kasus tersebut di suatu kolom. Mengingat mayoritas penduduk Boston memeluk agama Katolik, begitu pula dengan para jurnalis di tim Spotlight, maka mengkreasi artikel yang membongkar aib dari seorang petinggi agama Katolik terdengar seperti ide buruk. Walau sempat ada keragu-raguan, toh akhirnya tim kecil yang terdiri dari Walter Robinson (Michael Keaton), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Matt Carroll (Brian d’Arcy James), serta Ben Bradlee Jr. (John Slattery) akhirnya terjun juga ke lapangan untuk memulai investigasi. Selama proses menghimpun bukti-bukti, tim Spotlight terpapar fakta mengejutkan yang menunjukkan banyaknya jumlah pastur-pastur nakal maupun korban-korban bungkam dan bagaimana Gereja Katolik seolah tutup mata terhadap kasus ini.
Perlu diketahui, McCarthy tidak mempresentasikan Spotlight selayaknya thriller yang alunan pengisahannya bergerak sangat cepat dan dipenuhi dentuman pada sisi emosi. Tidak. Momentum dalam Spotlight dibangun perlahan-lahan, namun bergerak menanjak secara pasti, sehingga setidaknya di 15 menit pertama – sebelum anggota tim maupun penonton benar-benar mengetahui apa yang akan mereka hadapi – terkesan lambat pula tak tentu arah. “Apa sih yang ingin disampaikan oleh film ini?,” begitulah kira-kira gerutuan penonton tanpa kesabaran kala mencapai titik ini. Tapi begitu kita melewati fase “mau apa sih kita”, Spotlight juga tidak lantas langsung mengaum keras. Ini adalah dampak dari keputusan McCarthy untuk sebisa mungkin mempertahankan film di titik realistis. Walter Robinson dan rekan-rekannya tidak digambarkan seperti sosok heroik tanpa cela yang berjasa besar dalam mengungkap kebobrokan sistem Gereja Katolik di Boston. Mereka tetap diperlihatkan seperti jurnalis-jurnalis biasa yang kebetulan tengah mengerjakan sebuah artikel investigasi berat yang berpotensi mengguncang dunia. Ya, kuncinya terletak pada kisah dalam kasus tersebut, bukan dinamika hubungan antar karakternya. Si pembuat film ingin penonton menaruh fokus ke kasus yang tengah dikerjakan oleh tim Spotlight dengan menempatkan mata para jurnalis sebagai mata penonton.
Dalam artian, kita melihat perkembangan kasus pelecehan seksual melalui perspektif Walter Robinson dan rekan-rekannya. Bagi saya, ini adalah sebuah sensasi dalam bersinema yang sungguh mengasyikkan karena seolah-olah kita diajak turut serta oleh tim Spotlight untuk mengikuti mereka dalam menjalani proses investigasi. McCarthy sukses menempatkan kita pada posisi tersebut, sekarang tergantung pada keputusan penonton apakah bersedia melihat film menggunakan sudut pandang ini atau tetap menginginkan metode konvensional dengan setiap sudut film disusupi momen-momen dramatis. Kala kita bisa menerima maksud dari sang sutradara, Spotlight akan membawamu pada tuturan kisah penuh tikungan-tikungan mengejutkan yang sumbernya diperoleh tidak jauh-jauh dari ruang kerja, pengadilan, tempat penyimpanan berkas, kafe, beserta rapat. Ya, metode kerja tim Spotlight diperlihatkan seotentik mungkin. Mula-mulanya tentu agak melelahkan karena investigasi seperti tidak menunjukkan perkembangan signifikan, namun saat mereka mengetahui bahwa Geoghan bukanlah satu-satunya pastur nakal, atau saat Matt Carroll mendapati pastur di lingkungan rumahnya ternyata salah satu diantara pelaku... boom! Spotlight pun akan mulai mengusik perhatianmu sepenuhnya.
Oh, tentu saja kamu perlu memberi perhatian lebih pada Spotlight. Ada banyak pembicaraan-pembicaraan berisi nama-nama yang menuntut konsentrasi menyeluruh penonton agar tidak tersesat atau terlepas dari pegangan saat penyelidikan semakin merumit menyusul munculnya tersangka-tersangka baru. Terdengar melelahkan? Tidak sama sekali karena toh kasus ini berkembang kian menarik, mendebarkan, dan menggugah pikiran. Di sela-sela penyelidikan yang memungkinkan penonton melontarkan reaksi semacam “wow!”, “nggak nyangka ya”, atau murni sumpah serapah, pun McCarthy masih memberi sedikit bubuhan humor dan adegan-adegan cukup emosional saat Sacha dengan aura hangatnya mampu membujuk para korban untuk buka suara, jadi kata sifat seperti membosankan berikut persamaan-persamaannya tidak pernah sekalipun terlampir di Spotlight. Dengan barisan ensemble cast bermain sangat kuat dalam satu kesatuan – meyakinkan kita bahwa mereka memang jurnalis – ada keinginan besar yang secara otomatis muncul untuk memberi dukungan kepada mereka agar pengungkapan kasus serta pembuatan artikel berjalan mulus terlebih saat bermunculan kerikil-kerikil yang berusaha keras menghentikan langkah mereka dengan satu kata kunci, “jadi The Globe ingin menuntut Gereja Katolik?.” Membawa penonton untuk mengikuti investigasi yang seru, penuh penemuan mencengangkan, dan mencengkram erat emosi, Spotlight was so damn good.
Outstanding (4,5/5)
saya sdh menonton film tpi kayak nya ini bukan genre film yg saya sukai atau saya yg agak bodoh sehingga saya mengantuk pas nonton nya..
ReplyDeleteiyaa setuju sangat.. walaupun dibawain dengan cara begini tapi gak buat bosen nontonnya dan setiap komentar "ckckck" itu hadir pun malah makin pingin tau selanjutnya akan ada fakta apa lagi ini.. :)
ReplyDeletekeren
ReplyDeletewah, jadi pengen nonton FILMnya nih
ReplyDeleteanyway REVIEW FILM bagus kak :)