"Well, I'm calling it... pregnancy sucks." - Wendy
Film dengan judul yang cukup panjang dan lumayan ribet dalam mengucapkannya ini beranjak dari sebuah sumber yang sangat tidak biasa untuk dijadikan sebagai pijakan dalam menghasilkan sebuah film adaptasi, buku panduan kehamilan. Buku hasil buah pemikiran dari Heidi Murkoff dan Sharon Mazel yang saat ini memasuki edisi keempat ini terbilang laris manis di pasaran dan dianggap sebagai sebuah ‘bible’ bagi para calon ibu di Amerika Serikat. Nah, ketika Lionsgate berinisiatif mengadaptasi buku ini ke dalam bentuk film layar lebar, apakah Anda tidak merasa aneh? Sebuah buku panduan kehamilan dimana di dalamnya tidak mempunyai jalan cerita, kecuali Anda menganggap proses dalam menyambut kelahiran si buah hati adalah cerita, mendadak harus bercerita panjang lebar selama 110 menit. Agak sedikit mengingatkan pada He’s Just Not That Into You, ya? Hanya saja, versi buku dari film yang saya sebutkan terakhir masih bisa dikatakan memiliki sebuah alur cerita. Melihat latar belakang yang seperti ini, maka ada baiknya Anda tidak berharap banyak terhadap sektor naskah di What to Expect When You’re Expecting. Dan memang, seperti yang sudah saya duga sebelumnya, naskah racikan Shauna Cross dan Heather Hach tidak menawarkan sesuatu yang baru, terasa kering dan kurang bertenaga. Andaikan tidak dibantu oleh akting apik para pemainnya, entah bagaimana jadinya film ini.
Film yang ditangani oleh Kirk Jones, penghasil Nanny McPhee dan Everybody’s Fine, ini menggunakan pendekatan multiplot yang terbagi ke dalam lima cerita yang kesemuanya terikat oleh tema kehamilan. Masing-masing cerita diwakili oleh Jules Baxter (Cameron Diaz), Holly (Jennifer Lopez), Wendy Cooper (Elizabeth Banks), Skyler Cooper (Brooklyn Decker), dan Rosie (Anna Kendrick). Dari sisi Jules Baxter, kita melihat sosok wanita karir gila kerja yang mana kehamilan bukan menjadi suatu alasan bagi dirinya untuk rehat sejenak. Menjadi sosok yang mendominasi dalam hubungan, dimana dia menganggap dirinya adalah si ‘Alpha’, Jules kerap cekcok dengan pasangannya, Evan (Matthew Morrison), lantaran Jules emoh mendengarkan saran dari Evan. Dalam cerita kedua yang menghadirkan Holly sang fotografer, penonton tidak lagi dihadapkan pada permasalahan seputar kehamilan. Holly menjadi satu-satunya tokoh utama wanita dalam film ini yang tidak digambarkan dalam keadaan hamil. Karena tak jua mengandung, Holly dan Alex (Rodrigo Santoro) memutuskan untuk mengadopsi bayi dari Ethiopia. Ketidaksiapan Alex untuk menjadi ayah menjadi sorotan utama disini.
Plot yang lebih menarik muncul saat penonton diajak untuk menilik kehidupan keluarga Cooper dalam menyikapi kehadiran anggota keluarga yang baru. Wendy Cooper akhirnya berhasil mengandung setelah percobaan selama dua tahun yang tidak membuahkan hasil. Di sela-sela kebahagiaan, Wendy kudu ekstra sabar menghadapi persaingan tiada akhir antara sang suami, Gary (Ben Falcone), dengan sang mertua, Ramsey (Dennis Quaid). Istri Ramsey yang masih muda – hingga seringkali dikira sebagai anaknya -, Skyler, juga tengah menantikan momongan. Sementara dalam kisah terakhir, yang memiliki tone lebih tenang dan tak segegap gempita empat kisah lainnya, menghadapkan Rosie kepada kehamilan yang tidak diinginkan setelah berhubungan badan dengan Marco (Chace Crawford). Tidak menduga akan kebobolan, mereka berdua panik. Beruntung Marco siap untuk bertanggung jawab. Hubungan mereka pun naik tingkat. Di saat Rosie dan Marco kian lengket, sebuah peristiwa yang memilukan terjadi. Sayang durasi yang serba terbatas sementara setumpuk permasalahan belum menemui titik temu memaksa Kirk Jones untuk tidak berlama-lama mengasihani Rosie. Padahal, momen yang mengharu biru ini seharusnya mampu berbicara banyak dan lumayan mengangkat film secara keseluruhan.
Setelah peristiwa tersebut, Cross, Hach, serta Jones, ‘mencampakkan’ Rosie begitu saja. Kehadirannya tak lagi penting bagi film lantaran klimaks dari kisah Rosie malah sudah dimunculkan di pertengahan film. Dengan kepergian Rossie, maka beban Jones dan rekan-rekan penulis pun berkurang. Mereka dapat fokus ke keempat tokoh lain. Sekalipun beban telah dikurangi, sayangnya tidak ada perubahan yang signifikan dalam penceritaan. Hanya kisah keluarga Cooper yang menarik untuk disimak. Sisanya, membosankan. Untuk soal berdrama ria, What to Expect When You’re Expecting kurang greget. Dua adegan yang berpotensi untuk membuat penonton berlinang air mata tak digarap secara maksimal. Untungnya, selera humornya tidak terlalu payah. Sesekali terasa garing kriuk kriuk masih bisa ditolerir, terutama jika setelahnya masih mempunyai cukup amunisi untuk memecah keheningan dengan tawa yang menggelegar. Ya, film ini secara tidak terduga ternyata mampu membuat saya tergelak beberapa kali. Setelah melewati paruh awal yang membosankan, Jones membawa penonton ke dalam sebuah perjalanan penuh keriangan di paruh berikutnya. Detik-detik menuju proses persalinan adalah adegan terbaik di film ini. Sangat lucu, seru, dan menghibur. Kredit khusus saya berikan untuk Janice (Rebel Wilson) dan Jordan, putra Vic Mac (Chris Rock) yang hiperaktif, yang sukses mencuri layar setiap kali muncul. Dari geng para calon ibu, saya suka dengan Elizabeth Banks yang sedikit banyak mengingatkan saya pada Julie Bowen di Modern Family. Berkat jajaran pemain yang bermain lepas seakan tanpa beban inilah yang menyelamatkan film dari kantong sampah. Dan apabila niatan Anda menonton film ini adalah untuk mendapatkan panduan kehamilan yang bermanfaat, maka urungkan. Film ini hanya meminjam judul. What to Expect When You’re Expecting akan terasa menarik apabila sejak awal Anda berniat untuk dibuat terhibur tanpa berekspektasi apapun. Just enjoy the movie.
Acceptable
Wah, film untuk para ayah dan ibu nich... Hehe...
ReplyDeleteXD