"Segala sesuatu pasti ada bagian susahnya, tapi harus kita lewati."
Tentu masih segar di ingatan Anda bagaimana ketiga sutradara pria pendatang baru meracik sebuah hidangan dengan tiga cita rasa berbeda di awal tahun ini melalui 3SUM. Sajian yang tidak jauh berbeda kembali hadir di pertengahan tahun dimana untuk sekali ini, giliran para wanita yang unjuk kemampuan. Terdiri atas Ilya Sigma (penulis skrip Catatan Harian Si Boy), Luna Maya (aktris Bangsal 13, Jakarta Undercover), dan Sigi Wimala (aktris Tentang Dia, Rumah Dara), film omnibus dengan tajuk Pintu Harmonika yang idenya lahir dari Ginatri S. Noer dan Clara Ng ini pun mengusung konsep dimana tiga segmen dalam film mengusung genre yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dibuka dengan kisah remaja yang manis nan ceria, film lantas menuju ke arah yang lebih serius dalam drama keluarga yang menguras emosi dan diakhiri melalui sebuah kisah yang penuh misteri. Ketiga jalinan kisah yang tidak berkaitan ini lantas disatukan oleh sebuah bingkai kisah tentang keluarga, cinta, dan kehidupan.
Segmen pertama adalah ‘Otot’ yang digarap oleh Ilya Sigma. Penonton diperkenalkan kepada pasangan ayah dan anak, Firdaus (Donny Damara) dan Rizal (Fauzan Nasrul), dengan hubungan yang lebih menyerupai sahabat ketimbang ayah anak. Melalui sosok Rizal, Ilya Sigma dan sang penulis skrip, Piu Syarif, sedikit banyak menyentil tentang what-so-called ‘selebtweet’ dimana demi menjaga eksistensi maka segala yang ditumpahkan di media jejaring sosial dipenuhi dengan topeng, permakan dan bumbu-bumbu penyedap sehingga realita yang sesungguhnya mengabur. Apakah benar apa yang selama ini kita baca di linimasa atau blog merefleksikan kehidupan ‘selebtweet’ ini yang sesungguhnya? Hmmm... pikir ulang. Dengan Rizal berhasil menggaet Cynthia (Karina Salim), maka dusta pun kian menjadi-jadi. Demi meraih ketenaran yang bersifat sesaat (serta para gadis, tentu saja) inilah, Rizal merelakan hubungannya dengan sang ayah merenggang. Sebagai segmen pembuka, ‘Otot’ sanggup mencuri perhatian dengan segala keriangan dan romantisme manis khas remaja SMA yang menghiasinya – bahkan, ada sisipan adegan tari serta nuansa musikal di dalamnya – namun tetap memiliki sisi serius yang mengandung pesan penting mengenai kejujuran. Segmen ini menjadi kian hidup berkat chemistry padu antara Fauzan Nasrul dengan Donny Damara dan Karina Salim.
Setelah bersenang-senang di segmen pertama, penonton lantas digiring menuju ke arah yang lebih serius dalam ‘Skors’ arahan Luna Maya. Kita diperkenalkan kepada Juni (Nasya Abigail) dan ayahnya, Niko (Barry Prima), yang berada dalam hubungan yang rumit. Juni merasa Niko terlalu sibuk dengan urusannya sehingga tidak mempunyai waktu untuk dirinya. Rasa kecewa yang mendalam dilampiaskan oleh Juni dengan cara melakukan tindakan ‘bully’ di sekolah. Surat skors untuk Juni pun dilayangkan yang membuatnya memiliki waktu ekstra untuk lebih jauh mengenal pribadi sang ayah serta serangkaian permasalahan yang melingkupinya. Mudah sekali untuk jatuh cinta dengan segmen yang skripnya ditulis oleh M. Rino Sarjono ini terlebih problematika yang dihadapi oleh dua tokoh utama di sini dekat dengan realita kehidupan di sekitar; ayah yang kaku dengan anak remaja yang labil secara emosi. Tidak adanya keterbukaan satu sama lain ditambah komunikasi yang kurang intens, malah cenderung adem ayem, menjadi faktor utama hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga. Luna Maya sanggup mengemas isu serius dalam ‘Skors’ ini sebagai sebuah sajian yang emosional, personal, menyentuh, sekaligus luar biasa mengena tanpa pernah jatuh ke dalam dramatisasi yang berlebihan. Pujian pun patut disematkan kepada Barry Prima yang mampu merasuk dengan cemerlang ke dalam karakter Niko yang kaku, begitu pula dengan Nasya Abigail sebagai putri dengan emosi yang labil. Saya dapat terhubung dengan mereka, merasa peduli dengan apa yang mereka alami.
Menginjak segmen ‘Piano’ yang disutradarai oleh Sigi Wimala, hadir suasana yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Apa yang dituturkan di sini adalah seputar hubungan seorang single mother yang membuka usaha toko kue, Imelda (Jenny Zhang), dengan putra semata wayangnya yang tengah berlatih piano, David (Adam Putra Pertama). Tidak ada yang salah dengan hubungan mereka – berlangsung harmonis dan manis – hingga serentetan kejadian aneh yang terjadi dalam rumah mereka memberikan jawaban atas apa yang sesungguhnya terjadi. Yang menjadikan segmen penutup yang skripnya dikreasi oleh Bagus Bramanti ini memikat adalah penampilan ‘powerful’ dari Jenny Zhang sebagai seorang single mother yang rapuh dan kesepian serta bagaimana cara Sigi Wimala secara perlahan-lahan membangun tensi ketegangan. Dengan nuansa ruko yang senantiasa misterius dan muram, perasaan sedikit tak nyaman pun hinggap. Setelah muncul satu dua keanehan, sebenarnya mudah untuk menebak ke arah mana film akan bermuara. Tapi... dalam perjalanannya, sang pembuat film membelokkan kemudi ke arah yang berbeda dan tidak disangka-sangka. Dan inilah yang menjadi ‘twist’ sesungguhnya! Sebuah keputusan yang terbilang berani. Dan, well... bisa jadi akan membagi penonton dalam dua kubu yang berbeda – suka atau benci.
Salah satu yang menarik dari Pintu Harmonika adalah bagaimana setiap sutradara memanfaatkan sosok pintu harmonika dalam ruko tersebut sebagai metafora atas apa yang terjadi dalam segmen masing-masing dimana pintu dibuka secara bersama-sama pada awal dan akhir segmen yang kemudian menuntun penonton kepada beragam interpretasi dan (mungkin) diskusi. Pada intinya, ini adalah kisah yang merangkai cinta, keluarga, dan kehidupan (utamanya tentang menghadapi rasa takut) menjadi satu kesatuan. Tiga sutradara wanita pendatang baru; Ilya Sigma, Luna Maya, dan Sigi Wimala, ini berhasil menghantarkan ide yang sejatinya sederhana ke dalam bahasa gambar yang penuh kepekaan, emosional, mengena, menyentuh, menyenangkan, sekaligus manis. Tatkala konflik utama yang lantas dikedepankan berwujud ‘everybody’s story’, maka film lantas pula menjadi personal – setidaknya bagi sebagian orang. Didukung deretan pemain yang memainkan peran dengan mengagumkan, ditambah pula dengan sinematografi cantik serta musik skoring dan soundtrack yang menyatu dengan film, Pintu Harmonika menjadi sebuah permulaan yang sangat baik untuk karir penyutradaraan ketiga sutradara wanita ini. Film yang bagus!
Exceeds Expectations
belon nontonnnn *mikir
ReplyDeletemasih ada ga ya di bioskop? jadi penasaran sama film ini habis baca reviewnya
ReplyDeletePaling suka bagian David, sedih :'(
ReplyDelete*nangis dipojokan
Yup. Yang David itu sungguh pedih, tak menyangka akan berakhir demikian... Tapi untuk saya pribadi suka dengan segmen 'Skors'. Benar-benar menyentuh dan mengena :)
ReplyDelete