"Alam semesta akan memberikan apa yang kita butuhkan pada saatnya."
Apabila berbicara mengenai ‘road movie’ buatan anak bangsa, hmmm... jumlahnya tak banyak. Yang paling dikenang mungkin adalah Tiga Hari Untuk Selamanya karya Riri Riza, Punk in Love buatan Ody C. Harahap, atau malah Banyu Biru garapan Teddy Soeriaatmadja. Tahun lalu, kebetulan dalam periode rilis yang nyaris berbarengan, hadir Mama Cake dan Rayya Cahaya di Atas Cahaya yang turut menyemarakkan genre film yang kurang diminati untuk diolah oleh sineas Indonesia ini. Keempat film ini, sama-sama memaparkan perjalanan penuh dinamika dari seorang (atau beberapa) tokoh kala menjelajahi negeri tercinta ini. Tidak berjalan terlalu jauh – hanya sekadar lompat ke provinsi lain, masih dalam lingkup mikro. Film panjang pertama dari Dinna Jasanti (Burung-Burung Kertas) mengajak Anda untuk berkelana lebih jauh... jauh sekali... berkelana ke negeri orang... dan bukan hanya satu negara. Empat negara sekaligus! Beranjak dari skrip hasil olahan Titien Wattimena, Laura & Marsha memboyong Anda untuk berpetualang di daratan Eropa, atau dalam hal ini Belanda, Jerman, Austria, dan Italia. Wih... terdengar menyenangkan, bukan? Oh, tentu saja menyenangkan. Lagipula, siapa sih yang menolak diajak keliling Eropa bersama Prisia Nasution dan Adinia Wirasti?
Laura & Marsha menghadirkan dua tokoh utama yang bernama... yah, siapa lagi kalau bukan Laura (Prisia Nasution) dan Marsha (Adinia Wirasti). Marsha, dengan alasan ingin merayakan dua tahun meninggalnya sang ibu, mengajak Laura untuk menjelajahi Eropa. Tapi tawaran itu tak ditanggapi oleh Laura yang ogah-ogahan untuk diajak bepergian, terlebih dia adalah single mother dari seorang putri. Akan tetapi, Laura mendadak berubah pikiran setelah sebuah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya. Tanpa banyak basa-basi, ini itu, kedua sahabat yang telah menjalin tali persahabatan sejak SMA ini pun segera meluncur ke Eropa dengan destinasi pertama... Amsterdam, Belanda. Perjalanan ini sejatinya dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk melepas rasa penat dalam hidup, penuh dengan keceriaan, setidaknya itu yang dipikirkan oleh Marsha. Namun ketika pasangan Anda adalah Laura yang kaku dan penuh perhitungan, maka bermimpi saja bisa mendapat perjalanan yang seru. Keputusan Marsha untuk mengajak serta Finn (Ayal Oost) di tengah perjalanan, memantik konflik. Konflik seupil yang seiring dengan semakin dekatnya mereka ke tujuan akhir, Italia, berkembang menjadi kian melebar dan melebar yang pada akhirnya menguji kelanggengan jalinan persahabatan mereka.
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan utama dari Laura & Marsha terletak kepada panorama alam, gang-gang kecil, serta tempat wisata ternama di daratan Eropa yang dibingkai dengan cantiknya oleh Roy Lolang yang bertindak selaku sinematografer. Sepanjang 103 menit, kedua mata ini benar-benar dimanjakan dan dibuai dengan keindahan gambar yang terhidang dengan manis di layar. Membuat diri ini lantas mengapungkan mimpi dan harapan di dalam gedung bioskop, “kapan saya bisa menginjakkan kaki di Eropa?.” Tidak hanya cantik secara visual semata, film pun memiliki laju penceritaan yang menarik untuk diikuti, hangat, seru, dan penuh dengan kejutan. Sederetan konflik yang dihidangkan berdasar skrip racikan Titien Wattimena mampu menggugah emosi penonton. Dari ribut-ribut tak penting antara Laura dan Marsha yang sumber permasalahannya ada saja, datang dari mana saja, hingga pada sebuah adu mulut yang seru dan meledak-ledak ketika kedua protagonis ini sudah pada titik akhir kelelahan secara fisik maupun emosional. Kesemuanya ini dirangkai dalam dialog-dialog yang meluncur secara natural, tak dibuat-buat, namun masih tersimpan nuansa puitis serta (tentunya) meninggalkan kesan.
Dengan naskah yang padat, sementara tokoh penggerak cerita terbatas, maka dibutuhkan akting menawan dari jajaran pemain agar jalinan kisah yang telah dibangun sedemikian rupa tidak menjelma menjadi pengisahan yang hambar dan bertele-tele. Beruntung, film ini memiliki Prisia Nasution dan Adinia Wirasti. Kemampuan berolah peran yang mumpuni membuat mereka mudah untuk menyelami karakter yang mereka mainkan sehingga penonton akan memercayai (dan peduli) bahwa keduanya adalah Laura dan Marsha. Keduanya adalah sahabat dekat. Keduanya adalah perempuan biasa dengan setumpuk permasalahan hidup, yang ada kalanya tak bisa semuanya mereka bagi kepada orang lain. Obrolan-obrolan, canda tawa dan sejumlah cekcok kecil-kecilan (hingga sebuah ledakan besar) dari Amsterdam hingga Venice memerlihatkan chemistry yang padu dan kompak. Anda akan merasa kenal dengan mereka, meski yah... tidak terlalu dekat. Alur yang tergesa-gesa di awal film dimana Dinna Jasanti ingin segera memboyong dua tokoh utama ini ke Amsterdam membuat beberapa bagian terasa tak utuh dan janggal (dimana segalanya menjadi serba mendadak) yang mana seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai ajang perkenalan penonton kepada Laura dan Marsha. Sungguh sayang.
Pun demikian, ini tidak lantas menghalangi Laura & Marsha menjadi sebuah sajian lezat yang penuh kesenangan kala disantap. Dinna Jasanti beruntung mendapat dukungan dari jajaran pemain yang bermain cemerlang dengan chemistry yang meyakinkan, naskah yang diramu secara tepat, sinematografi yang cantik tiada tara, dan soundtrack dari Diar dengan tembang-tembang apik semacam ‘Summertime’, ‘Ey Kawan’, atau ‘The Chicken’ yang menyuntikkan nyawa kepada beberapa adegan sehingga ‘feel’ lebih terasa. Serta... jangan lupakan pula pemandangan daratan Eropa yang menjadi keunggulan utama dari film. Laura dan Marsha boleh saja tidak mendapat perjalanan yang menyenangkan sesuai dengan yang direncakan, akan tetapi saya memperoleh seperti apa yang saya harapkan setelah menyimak trailer-nya yang menarik.
Exceeds Expectations
Review yang detail sekali, bisa jadi referensi buat yang dari kemarin sekilas cuma denger-denger dari judulnya...
ReplyDeleteKeren!
good review
ReplyDeleteTerima kasih sudah bersedia mampir dan membaca review saya :)
ReplyDeleteGan, klaw bisa di kasi link download@, biar lebih mantap. , hehe
ReplyDelete