August 19, 2013

REVIEW : THE CALL


‘911, what’s your emergency?’, 
‘Help me, please’,
‘Ma’am, calm down and tell what’s wrong.’ 

Anda tentu sudah tidak lagi asing dengan rangkaian dialog ini. Seorang pria/wanita terjebak dalam situasi genting, panik, lalu memutuskan untuk menghubungi 911, dan suara lembut (biasanya seorang wanita) dari operator gawat darurat menyambut dengan ramah. Yang kerap kita simak adalah bagaimana si korban memberi laporan mengenai kondisi yang menimpanya, lalu beberapa saat kemudian bantuan datang dalam wujud polisi atau pemadam kebakaran. Sementara si operator yang mencatat segala macam keluh kesah (dan bisa jadi berjasa menyeret si pelapor keluar dari masalah), tetap menjadi misteri. Rasa-rasanya, kita tidak pernah melihat bagaimana sosok, kinerja, hingga rupa tempat kerja mereka dalam film Hollywood. Apakah benar si penerima telepon adalah benar-benar berwujud manusia atau jangan-jangan...? Baiklah, sebelum Anda berfantasi terlampau tinggi dan menciptakan berbagai macam teori tentang konspirasi, sineas Brad Anderson melalui film teranyarnya, The Call, berbaik hati untuk mengajak penonton mengintip sepak terjang dan suka duka dari operator 911 di dalam The Hive (sebutan untuk ruang kerja mereka yang berisik). 

Jika Anda menganggap bahwa pekerjaan yang saat ini Anda lakoni adalah ‘pekerjaan terberat di seluruh dunia!’, itu artinya Anda belum melihat apa yang kudu dijabani oleh para operator ini setiap hari. Tidak ada ruang bagi mereka untuk menciptakan kesalahan, karena satu kesalahan kecil... bisa berdampak sangat fatal (kecuali yah... jika laporan itu hanya perkara sepele). Tapi tentunya, setiap orang pernah melakukan setidaknya satu kesalahan dalam pekerjaannya, bukan? Bahkan bagi anggota LAPD yang bekerja sebagai operator 911 dengan pengalaman menahun, Jordan Turner (Halle Berry). Keputusan yang dia buat, membuat nyawa seorang gadis muda melayang sia-sia. Trauma dan perasaan bersalah pun menghinggapinya selama berbulan-bulan lamanya, hingga... Jordan terpaksa mengambil alih sebuah panggilan darurat dari Casey Welson (Abigail Breslin) yang tidak dapat ditangani oleh seorang rookie. Meski masih dibayang-bayangi oleh peristiwa traumatis tersebut, Jordan lantas memanfaatkan panggilan ini sebagai upaya untuk menebus kecerobohan yang telah dia perbuat. 

Ditilik dari sisi premis, The Call telah menggugah selera, terlebih sebelumnya sama sekali buta mengenai bagaimana operator gawat darurat ini bekerja. Apakah mereka memang manusia? (Oh ya, saya juga bertanya-tanya mengenai hal ini), apakah mereka bekerja di sebuah tempat serba tertutup dan luar biasa rahasia? Bagaimana sistem kerja mereka? dan yang terpenting... bagaimana reaksi atas setiap laporan yang diterima? Melalui pembuka yang cepat, Anderson yang sebelumnya telah menghasilkan film-film apik macam Session 9, The Machinist, dan Transsiberian, langsung menjawab setiap pertanyaan yang (bisa jadi) mengemuka di benak setiap penonton. Telepon-telepon yang senantiasa berdering dengan beragam laporan – dari permasalahan yang biasa saja hingga memasuki tahapan gawat darurat, suasana yang tercipta telah sedemikian intens di menit-menit awal dan mencapai puncaknya saat Jordan menerima telepon dari Leah Templeton (Evie Thompson). Seorang pria mendobrak masuk rumahnya, Leah meminta saran Jordan, apa yang seharusnya dia lakukan? Melalui prolog ini, Richard D’Ovidio selaku penulis skrip membangun pondasi cerita sekaligus motif yang melatarbelakangi tindakan yang diperbuat oleh Jordan di 80 menit berikutnya. 

Menyaksikan The Call bagai tengah menyimak perpaduan antara Phone Booth dan Cellular. Ketegangan digeber nyaris tiada henti. Setelah sebuah pembuka yang menegangkan sekaligus mengejutkan, Anderson mengizinkan penonton untuk berkenalan sejenak dengan Jordan dalam fase mengatasi trauma (berjuang untuk move on) serta Casey yang akan menjadi korban selanjutnya. Si pembuat film mencoba untuk memastikan, ikatan antara penonton dengan para karakter di film ini terjalin lebih dahulu. Usai misinya dalam perkenalan dipastikan berjalan mulus, Anderson lantas menaikkan tensi perlahan demi perlahan dan menjaganya untuk tetap konstan hingga credit title mulai menampakkan batang hidungnya. Dengan dua karakter yang mudah untuk mengundang simpati penonton, maka (sekalipun alur cenderung mudah untuk ditebak kemana arahnya), kita tetap duduk manis, menanti dengan harap-harap cemas seraya menerka-nerka apa yang akan terjadi berikutnya. Di beberapa kesempatan – terima kasih kepada editing, sinematografi, musik pengiring, pengarahan dari Anderson dan akting duo Halle Berry-Abigail Breslin yang menawan – kita pun sempat dibuat menahan nafas dan gemas. 

Hanya saja, misi penyelamatan yang dilakukan oleh Jordan ini tidak sepenuhnya berjalan mulus. Setelah setidaknya 1 jam penuh ketegangan yang menyenangkan, Anderson dan D’Ovidio mendadak membanting setir. Niatnya, menghadirkan kejutan bagi penonton serta memberi ruang bagi Jordan untuk berkontribusi lebih terhadap hasil akhir. Tapi yang hadir, justru luar biasa menggelikan. Terkesan dipaksakan dan luar biasa klise. Mengandaikan bahwa layar yang saya tatap adalah si pembuat film, dengan raut muka penuh kekecewaan saya berkata, “mengapa? Mengapa harus menjadi seperti ini?.” Andaikan mereka tak mencoba keluar jalur, The Call mungkin saja akan menjelma sebagai sajian yang lebih mengesankan dan banyak diperbincangkan oleh para penikmat film. Lihat saja, sekalipun dengan kelemahan yang menodai paruh akhir film, The Call tetaplah sebuah tontonan yang seru, menegangkan, dan mengikat. Bayangkan hasilnya saat si pembuat film tidak macam-macam.

Acceptable

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch