Menemukan sebuah film Indonesia yang menyasar pangsa pasar anak-anak (atau katakanlah, keluarga) dengan kualitas penggarapan di atas rata-rata itu tidak lebih mudah daripada mengobrak-abrik jerami demi menemukan sebuah jarum. Menengok kembali ke tahun 2013, adakah film anak yang mampu dengan mudahnya merebut hati Anda? Jika pertanyaan itu diajukan kepada saya, maka jawabannya sudah teramat sangat jelas: tidak ada. Menyadari betapa anak-anak di Indonesia terlalu dimanjakan dengan produk asing lantaran perfilman negeri ini kelewat menganaktirikan target pasar yang satu ini, empat sahabat lama yang terdiri atas Upi, Rizal Mantovani, Eko Kristianto, dan Alfani Wiryawan memutuskan untuk berkolaborasi menciptakan sebuah film omnibus untuk anak-anak. Dilabeli dengan judul Princess, Bajak Laut & Alien, film memertemukan empat cita rasa berbeda yang diolah sesuai dengan gaya khas dari masing-masing koki.
Terbagi ke dalam empat segmen, Princess, Bajak Laut & Alien dibuka oleh Eko Kristianto yang mencoba untuk membaluri segmen miliknya, Misteri Rumah Nenek, dengan nuansa mencekam melalui petualangan yang dihadapi oleh dua kakak beradik, Iqbal (Risjad Aden) dan Salsa (Kayla Kristianto), kala melewatkan liburan di rumah sang Nenek (Ade Irawan). Meski didasarkan dari premis klise yang telah beberapa kali melewati proses daur ulang untuk ditampilkan dalam kemasan anyar di sejumlah film anak, segmen pembuka ini masih memiliki kandungan hiburan yang mencukupi berkat perpaduan yang tepat antara humor dengan ketegangan. Hanya saja, setelah paruh awal yang menimbulkan rasa semangat untuk mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya, film dihadapkan pada permasalahan klasik yang kerap terjadi di sinema Indonesia: penggampangan masalah sebagai solusi untuk mengakhiri kisah. Sungguh sayang beribu sayang.
Terbagi ke dalam empat segmen, Princess, Bajak Laut & Alien dibuka oleh Eko Kristianto yang mencoba untuk membaluri segmen miliknya, Misteri Rumah Nenek, dengan nuansa mencekam melalui petualangan yang dihadapi oleh dua kakak beradik, Iqbal (Risjad Aden) dan Salsa (Kayla Kristianto), kala melewatkan liburan di rumah sang Nenek (Ade Irawan). Meski didasarkan dari premis klise yang telah beberapa kali melewati proses daur ulang untuk ditampilkan dalam kemasan anyar di sejumlah film anak, segmen pembuka ini masih memiliki kandungan hiburan yang mencukupi berkat perpaduan yang tepat antara humor dengan ketegangan. Hanya saja, setelah paruh awal yang menimbulkan rasa semangat untuk mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya, film dihadapkan pada permasalahan klasik yang kerap terjadi di sinema Indonesia: penggampangan masalah sebagai solusi untuk mengakhiri kisah. Sungguh sayang beribu sayang.
Meluncur ke segmen kedua, Alfani Wiryawan membawa kita ke dalam suasana yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Melalui Babeh Oh Babeh, penonton diajak untuk menelusuri gang-gang sempit ibukota, memasuki area pemukiman warga kelas menengah ke bawah dan menjumpai Jupri (Raza Super 7) dan ayahnya, Rojali (Tora Sudiro). Hubungan diantara ayah-anak ini tengah mengalami krisis lantaran Jupri enggan menerima kenyataan bahwa pekerjaan yang dilakoni sang ayah untuk menyambung hidup adalah penyanyi dangdut kampung. Dengan materi seperti ini – mengupas hubungan ayah dan anak – segmen milik Alfani dengan mudahnya membetot perhatian saya sejak awal. Kehangatan, kelembutan dan hati di dalam penceritaan begitu terasa yang didukung oleh performa menawan jajaran pemainnya sehingga saat melihat kebohongan Rojali demi membahagiakan putra semata wayangnya terbongkar, emosi pun berhasil dilibatkan. Inilah segmen favorit saya secara personal di film ini.
Lalu, setelah emosi sedikit banyak dikuras, Rizal Mantovani mencoba untuk menyeimbangkannya melalui Kamu Bully, Aku B-Boy. Yang dikupas di sini adalah upaya dari seorang bocah SD korban perundungan, Mikal (Viriya Rici), untuk bangkit dan ‘membalas dendam’ kepada si perundung dengan cara mempelajari tarian breakdance. Meski membawa isu bullying ke dalam pengisahan, si pembuat film tak menuturkan film dengan cara yang suram melainkan penuh kegembiraan. Ada banyak tari, musik hip hop yang membuat Anda menghentak-hentakkan kaki, humor, dan (yah) pemain cilik yang imut. Segmen ini begitu memikat saat Rizal membawanya ke atas ‘panggung’ dimana sorak sorai penuh semangat mengiringi Viriya Rici yang unjuk kebolehan dengan meliuk-liukan tubuhnya yang lentur, namun kekuatannya cukup banyak berkurang saat Mikal turun dari panggung dan menjalani kehidupannya sebagai siswa SD biasa.
Ditempatkan sebagai segmen penutup adalah Princess, Bajak Laut & Alien garapan Upi. Segmen ini memosisikan Troy (Bima Azriel), bocah kutu buku yang kesulitan dalam bersosialisasi, sebagai tokoh utama. Dalam perayaan ulang tahun ke-9 yang serba canggung lantaran dihadiri oleh sejumlah tamu yang sebetulnya berharap berada di tempat lain, Troy berkenalan dengan Gwen (Lauren Zetira) yang menjembataninya untuk membuka diri dengan dunia luar. Bisa dipahami mengapa Princess, Bajak Laut & Alien memeroleh kehormatan untuk mengakhiri film (sekaligus dipilih sebagai judul film). Ada sentuhan quirky dalam balutan gaya retro yang dipilih oleh Upi, menjadikan segmen ini pun tampak berbeda, unik, dan menonjol dibanding ketiga segmen pendahulunya. Namun ini tidak lantas berakhir sebagai sebuah segmen yang ‘style over substance’ karena jalinan pengisahan beserta penampilan dari departemen akting pun sama mengesankannya. Sebuah karya yang cantik dari Upi.
Kesimpulan: Meski bukan sebuah tontonan yang akan membuat Anda memberi tepukan tangan keras-keras atau menyebabkan candu sehingga kita rela mengunjunginya kembali berulang kali, Princess, Bajak Laut & Alien tetaplah sebuah film anak-anak dengan kualitas presentasi di atas rata-rata yang semakin jarang ditemukan di perfilman Indonesia. Menawarkan hiburan yang menyenangkan dengan banyak canda tawa di dalamnya, namun tidak melupakan hati, kehangatan, dan (tentunya) pesan moral.
Exceeds Expectations
Wah... baru tahu ada filmnya.
ReplyDeleteKok kurang booming ya? :(