Dragon Blade mempunyai semua yang dibutuhkan untuk menjelma sebagai film epik blockbuster yang kamu harapkan muncul di tengah-tengah gegap gempitanya perayaan Chinese New Year; premis mengundang selera, gelontoran dana besar-besaran dari funding program yang dikelola oleh pemerintah Cina, serta diramaikan oleh sejumlah bintang tenar lintas negara dari Jackie Chan, John Cusack, Adrien Brody, sampai Choi Siwon (anggota boyband Super Junior). Apa lagi yang lebih baik dari ini? Di atas kertas, kombinasi maut semacam ini mengindikasikan Dragon Blade akan terhidang sebagai sebuah gelaran fantastis yang layak dikenang – atau jika ini terdengar berlebihan, minimal menjadi film kolosal menghibur bertaburkan adegan perang seru – namun kenyataan seringkali tak berbanding lurus dengan pengharapan dan sayangnya, itu juga menimpa film arahan Daniel Lee (14 Blades, White Vengeance) ini. Dragon Blade hanyalah menambah daftar panjang film-film berwajah rupawan namun berhati buruk.
Dibuka oleh adegan penemuan reruntuhan kota kuno yang hilang bernama Regum oleh dua arkeologis (Vannes Wu dan Karena Lam), Dragon Blade lantas melempar latar penceritaan jauh ke belakang di masa Dinasti Han dengan menempatkan Huo An (Jackie Chan), pimpinan dari Satuan Pengaman Jalur Sutra, sebagai fokus utama. Dengan bergejolaknya perseteruan dari puluhan suku yang memiliki kepentingannya masing-masing kala itu, Huo An berjanji untuk menegakkan perdamaian di seluruh wilayahnya bersama satuannya. Hanya saja, niat mulia Huo An ini lantas mendapat respon negatif dari pihak tertentu berwujud fitnah yang berdampak pada diasingkannya Huo An dan pasukan ke wilayah perbatasan, Wild Geese Gate. Di tengah-tengah upayanya membantu pemimpin setempat membangun kota, serombongan pasukan Romawi di bawah komando Lucius (John Cusack) ‘bertamu’. Walau awalnya agak enggan menerima kedatangan mereka, Huo An justru secara cepat menjalin tali persahabatan dengan Lucius saat dia mengetahui bahwa Lucius sedang dalam pelarian menyelamatkan seorang putra mahkota dari kejaran sang kakak yang berniat membunuhnya, Tiberius (Adrian Brody).
Entah harus memulainya dari mana, yang jelas sejak awal Daniel Lee telah memunculkan nada sumbang bagi Dragon Blade sehingga belum apa-apa dahi ini telah mengernyit. Usai prolog yang sama sekali tidak penting – seperti halnya pemakaian judul, prolog (dan juga epilog) membuatku bertanya-tanya soal keterikatannya dengan garis penceritaan – penonton digiring pada ekspektasi keliru saat gaya khas Jackie Chan di film-film klasiknya mencuat tatkala dia unjuk kebolehan dalam bertarung melawan seorang perempuan, Cold Moon (Lin Peng). Menggabungkan aksi bersama elemen komikal, seketika kita berpikir bahwa Jackie Chan kembali ke akarnya di Dragon Blade. Mengingatkan pada CZ12. Tapi lalu, naskah menjajaki sisi drama beralur serius yang menggerus segala bayangan bahwa akan ada banyak kelakar di sini dan Daniel Lee sibuk mengobarkan pesan moral soal ‘perdamaian’ yang diselipkan di nyaris setiap dialog hingga menjadikannya terdengar begitu melelahkan, menjemukan... dan menjengkelkan! Seolah-olah setiap celah dimanfaatkannya untuk memberondong penonton dengan khotbah yang disampaikan lewat adegan yang (sialnya) juga berkesan repetitif. Entah berapa kali kita melihat slow-motion sequences berwujud serupa di film ini. Geez.
Ya, Dragon Blade terperosok dalam kubangan skrip yang memuat penceritaan ceriwis pula bertele-tele sekaligus barisan dialog super cheesy yang akan membuatmu menyengir hebat (kalau beruntung, bisa tertawa terbahak-bahak). Premis bagus yang ditawarkannya menguap begitu saja entah kemana digantikan oleh kekonyolan-kekonyolan ini ditambah parade akting buruk dari jajaran pemainnya. Well, Jackie Chan, John Cusack, dan Adrien Brody memang tidak sepenuhnya memprihatinkan, tapi jika mengetahui jejak rekam ketiganya maka apa yang dilakoni oleh mereka di sini terbilang memalukan. Chemistry Chan-Cusack tak berfungsi malah terkesan sangat dipaksakan, Brody dengan karakter yang (maunya sih) kompleks tersia-sia begitu saja, sedangkan Choi Siwon... dia bahkan hanya tampil kurang dari 10 menit! Satu-satunya yang bekerja di Dragon Blade adalah desain produksinya yang, syukurlah, terlihat mahal. Tangkapan gambar memperlihatkan kesan grande dari bangunan set beserta heavy costumes yang terancang rapi dengan beberapa adegan peperangan – termasuk puncaknya yang seperti fotokopi dari The Hobbit – yang masih tergelar cukup seru mengesampingkan (lagi-lagi) kekonyolannya. Paling tidak, pengalaman menonton Dragon Blade tidak melulu diisi oleh dengusan kecewa.
Poor
No comments:
Post a Comment