"Saya punya harapan, keyakinan, niat baik, kejujuran dan cinta. Itu yang menjadi modal utama saya."
Bagi masyarakat kebanyakan, nama Kwee Tjie Hoei tidak berarti apa-apa. Bahkan ketika nama Indonesia dari bersangkutan, Karmaka Surjaudaja, disebut pun belum juga terbersit sedikit gambaran mengenai sosok ini hingga melahirkan pertanyaan klasik, “siapa dia?”. Dengan mayoritas kontribusi dicurahkan pada era peralihan Orde Lama ke Orde Baru di bidang perbankan, terasa wajar saat khalayak ramai masa kini tak banyak mengetahui soal profilnya... kecuali saat dibubuhi embel-embel bahwa beliau adalah salah satu motor dibalik suksesnya bank beraset Rp 100 Triliun, Bank NISP (atau kini dikenal sebagai OCBC NISP). Menilik garis sejarah bahwa Karmaka dibesarkan di lingkungan dengan kondisi finansial serba terbatas, maka pencapaian yang telah ditorehkannya ini boleh dibilang menakjubkan terlebih pendakiannya terus menerus diwarnai oleh hantaman-hantaman keras dari para petinggi korup yang tidak segan-segan meminta imbalan nyawa.
Seluruh sepak terjang Karmaka (Rio Dewanto) bersama sang istri tercinta, Lim Kwee Ing (Laura Basuki), dalam menyelamatkan sebuah bank peninggalan ayahanda Ing dari ambang kehancuran ini diabadikan oleh Dahlan Iskan melalui novel besutannya berjudul Tidak Ada Yang Tidak Bisa yang lantas diterjemahkan ke dalam bahasa gambar oleh Benni Setiawan di Love & Faith. Perjuangan Karmaka guna meraih kehidupan yang layak telah dimulai sejak belia saat dirinya mengorbankan cita-citanya untuk bekerja dan membiayai kuliah kedokteran sang adik, Kwee Tjie Ong (Dion Wiyoko). Pekerjaannya sebagai guru olahraga di sebuah sekolah Tionghoa mempertemukannya dengan Lim Kwee Ing yang kala itu masih berstatus sebagai muridnya. Memperoleh restu dari orang tua Ing yang merupakan pemegang saham terbesar di sebuah bank, keduanya menikah di tahun 1959. Kantong Karmaka yang perlahan tapi pasti mulai stabil dengan karirnya di pabrik kian melesat sekali lagi memperoleh cobaan saat sang mertua memercayakannya untuk menangani bank yang tengah digerogoti masalah bertubi-tubi.
Sejatinya, Love & Faith telah dipersenjatai oleh segepok ramuan yang dipercaya ampuh dalam menyukseskan sebuah film biopik; rentetan konflik menggigit yang menjegal perjuangan sang tokoh, kisah asmara mengharu biru yang mendongkrak semangat sang tokoh, dan pelakon utama yang mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya untuk menghidupkan karakter. Sepertinya semua kebutuhan sudah terpenuhi, tetapi mengapa guliran naratifnya tak benar-benar menghujam emosi penonton? Apakah masih ada yang terlewatkan? Well, di atas kertas, Love & Faith memang memenuhi standar sebagai tontonan biopik yang mengobarkan semangat, harapan sekaligus mengharu biru, tetapi di lapangan... tunggu dulu. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa adegan yang akan membuatmu terenyuh – atau malah menyeka sedikit buliran air mata – namun efeknya relatif kecil. Sesaat setelah melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop mungkin kamu tak sepenuhnya mengenangnya. Penyebab utamanya, skrip olahan Benni Setiawan dan Bagus Bramanti.
Selain berjalan datar di beberapa titik, skrip juga terlalu berusaha memasukkan banyak persoalan di tengah-tengah terbatasnya durasi. Memang efektif dalam membangkitkan semangat penonton untuk mengikuti kembali perjuangan hidup Karmaka bersama sang istri, akan tetapi di sisi lain Benni Setiawan terlihat kebingungan dalam menawarkan konklusi sehingga ‘jalan pintas’ yang mengecewakan pun ditempuhnya. Meredam seketika perasaan yang terlanjur berkecamuk sedemikian rupa. Emosi penonton yang telah diterbangkan cukup tinggi mendadak dijatuhkan... begitu saja. Jika diperkenankan meminjam istilah beken saat ini, “sakitnya tuh disini, Pak Benni!.” Beruntung Love & Faith masih memperoleh sentuhan cantik dari desain produksi yang memberi gambaran latar waktu meyakinkan dan performa dua jempol dari duo Rio Dewanto-Laura Basuki yang mempertontonkan chemistry hebat. Ibarat moda transportasi kereta api, Rio Dewanto dan Laura Basuki adalah gerbong lokomotif yang berjasa dalam menggerakkan laju keseluruhan film dengan beberapa pemain pendukung seperti Verdi Solaiman, Iszur Muchtar, Epy Kusnandar dan Dion Wiyoko turut membantu memberi dorongan. Ya, performa kuat Rio Dewanto dan Laura Basuki adalah kunci. Berkat mereka, naskah yang keteteran termaafkan. Berkat mereka, muncul hentakan-hentakan emosi di sejumlah adegan. Berkat mereka, kita dibuat memahami (pula bersimpati) terhadap jatuh bangunnya Pak Kwee Tjie Hoei dan Bu Lim Kwee Ing. Dan berkat mereka, Love & Faith memiliki nyawa sehingga gelaran menyentuh dan menginspirasi masih dapat tersaji. Syukurlah.
Acceptable
Kualitas visual yang bagus dan emosi yang didapat saat konflik mencuat, harus tertutupi oleh kekecewaan di ending yang nanggung =(
ReplyDeleteAku juga buat review film ini di RizaPahleviTTM.blogspot.com
Iya, sayang banget konklusinya hanya begitu saja dan berkesan curang. Setelah konflik berderet-deret, solusi yang diberikan kepada penonton hanya berupa satu baris kata! Damn! Padahal jika berlanjut akan lebih mengena. Menantikan banget winning moment dari si tokoh.
ReplyDeleteWah sayang sekali saya blm menyempatkan nonton film ini. Baru bisa nonton weekend ini, smoga msh tayang ya di cibubur. Laura skg aktingnya smkn bagus. Dulu padahal kurang suka sama aktingnya apalagi di 3hati2dunia... Eh tapi malah menang Citra. Tp skg aktingnya semakin terasah. Btw, review nya bagus mas! 👍
ReplyDeleteTerima kasih banyak! :)
ReplyDeleteIyah, sebetulnya juga kurang setuju sih dengan kemenangannya waktu itu tapi harus diakui Laura Basuki ini emang aktingnya kian membaik dari film ke film. IMO, Love & Faith ini akting terkuatnya.
Sangat jarang aktris Indonesia dengan aura seperti Laura Basuki ini. Entahlah, she's just so lovable.