“Man, I told you not to go in that house.”
Berkunjung ke rumah calon mertua untuk pertama kali agaknya kerap meninggalkan cerita menarik buat dikulik. Tatkala berkumpul bersama kerabat, pengalaman ini cukup sering diajukan sebagai topik pembicaraan. Ada yang mengaku biasa-biasa saja, ada pula yang mengaku memperoleh sensasi menegangkan terlebih jika terpampang perbedaan antara kedua belah pihak entah itu status sosial, pandangan politik, agama, budaya atau suku. Perbedaan umumnya mendasari mencuatnya konflik atau setidaknya begitulah yang terjadi dalam film mengenai kunjungan ke rumah calon mertua seperti dimunculkan di Guess Who’s Coming to Dinner (1967), Meet the Parents (2000), sampai The Journey (2014). Mengedepankan perbedaan sebagai sumbu konflik, ada satu kesamaan yang menjembatani ketiga film ini: kesemuanya digulirkan secara komedik. Versi terbaru untuk pengalaman berkunjung yang dikreasi oleh Jordan Peele – seorang komedian dari duo Key & Peele – berjudul Get Out (2017) pun mulanya mengisyaratkan akan mengambil jalur serupa mengingat latar belakang si pembuat film. Memang elemen komedinya masih pekat, hanya saja genre horor lah yang dikedepankan Peele untuk melantunkan penceritaan dalam Get Out. Sebuah pendekatan menarik yang rasa-rasanya akan membuat kunjungan ke rumah calon mertua serasa kian menegangkan.
Pasangan yang bersiap-siap menunaikan kunjungan di Get Out adalah Chris Washington (Daniel Kaluuya) dan Rose Armitage (Allison Williams). Berbeda ras; Chris berkulit hitam, sementara Rose berkulit putih, membuat Chris sempat was-was ketika diundang untuk mengunjungi keluarga sang kekasih. Dalam upayanya menenangkan Chris, Rose sendiri menegaskan bahwa kedua orang tuanya tidaklah rasis yang dibuktikan salah satunya dengan pernyataan akan memilih Obama sebagai Presiden untuk ketiga kalinya. Tentu Chris tidak semudah itu diyakinkan. Masih diliputi kekhawatiran, dia mencoba mengontrolnya demi menghindarkan Rose dari kekecewaan. Sesampainya mereka di rumah orang tua Rose yang lokasinya terbilang terisolasi, kecemasan Chris sempat mereda begitu mendapati calon mertuanya, Dean (Bradley Whitford) dan Missy (Catherine Keener), menyambutnya dengan tangan terbuka. Seperti halnya Rose, keduanya pun berupaya meyakinkan Chris bahwa mereka tidak mempunyai kecenderungan rasis dan bersedia memilih Obama sekali lagi. Tidak menemukan sesuatu yang salah dari Dean maupun Missy kecuali ada kalanya mereka tampak terlalu ramah, Chris justru menjumpai kejanggalan dari dua pelayan kulit hitam di rumah itu. Dari mereka, ketidakberesan keluarga Armitage bisa diendusnya dengan jelas. Kekhawatiran Chris kembali mengemuka dan akhirnya terkonfirmasi pada satu malam tatkala dia berjalan ke pekarangan rumah untuk menyalakan sebatang rokok.
Dalam mempermainkan rasa takut penonton, Jordan Peele enggan untuk menerapkan konsep “geber saja jump scares sebanyak mungkin.” Meski bukannya tidak tersedia, keberadaan trik usang tersebut di Get Out bisa dihitung menggunakan jemari tangan. Ketimbang membuat kita terlonjak dari kursi bioskop untuk sesuatu yang tidak perlu, Peele lebih suka membangun kengerian melalui emosi yang tumbuh bersama sang protagonis serta nuansa mengusik ketidaknyamanan yang intensitasnya terbangun setapak demi setapak. Resep dalam membangun kengerian yang dijumput si pembuat film sebetulnya bukan juga sesuatu baru yakni “kamu bisa mencium adanya sesuatu yang tidak benar di sekelilingmu, tetapi kamu tidak bisa melihatnya”. Yang memberikannya kesegaran, ada taburan isu rasisme diatasnya. Tengok saja pada satu momen di titik lontar film sebelum judul menyelinap masuk: seseorang berjalan sendirian dalam kegelisahan di perumahan pinggir kota yang sunyi pada suatu malam, lalu sebuah mobil membuntutinya. Sepintas tampak klise karena teror semacam ini kerap dipergunakan di genre horor. Pembedanya, sekali ini korban bukanlah seorang perempuan melainkan laki-laki muda berkulit hitam. Dimulai semenjak menit pembuka, Peele telah mempergunakan Get Out sebagai medium untuk melontarkan komentar sosial. Bukan sebentuk keluhan melainkan lebih ke cerminan atas realita di Amerika Serikat yang kian tak bersahabat bagi warga kulit berwarna. Ini pun seringkali disempalkan dalam wujud satir menggelitik atau malah subteks sehingga atensi penonton tidak terpecah dan tidak pula mendistraksi bangunan terornya.
Selepas adegan pembuka yang terbingkai mencekam, Get Out mengalun santai. Kita berbasa basi bersama Chris dan Rose, serta diperkenalkan pula dengan kawan baik Chris, Rod (Lil Rel Howery), yang nantinya bukan saja memegang peranan dalam melemaskan urat-urat tegang penonton dengan banyolan-banyolan segarnya tetapi juga berkontribusi ke pergerakan kisah. Begitu kendaraan yang ditumpangi Chris dengan Rose dalam perjalanan menuju rumah orang tua Rose menabrak seekor rusa lalu mendatangkan seorang polisi yang gigih meminta kartu identitas Chris, eskalasi ketegangan mulai terpampang nyata. Pertambahannya terus terdeteksi seiring Chris menjejakkan kakinya di rumah sang calon mertua. Keramahan Dean beserta Missy kadang tampak terlalu dibuat-buat, sementara kedua pelayan berkulit hitam di rumah tersebut; Georgina (Betty Gabriel) dan Walter (Marcus Henderson) memperlihatkan emosi bak robot – kelewat terkontrol secara laku dan tutur. Berada dalam situasi ganjil semacam ini, siapa tak merasa was-was? Belum lagi ketika rombongan tamu yang memeriahkan pesta keluarga Armitage yang kesemuanya berkulit putih berdatangan. Chris terjebak di kerumunan tamu dengan warna kulit sama sekali berbeda dan rentang usia terpaut cukup jauh yang mengaguminya secara tidak wajar termasuk menyinggung soal kehebatannya di atas ranjang. Bukankah ini amat sangat mengganggu? Seperti ketika kita terjebak bersama kerabat yang tidak dikenal akrab lalu mereka memberondong kita dengan serentetan pertanyaan bersifat personal. Sebuah kisah horor yang sesungguhnya.
Selepas adegan pembuka yang terbingkai mencekam, Get Out mengalun santai. Kita berbasa basi bersama Chris dan Rose, serta diperkenalkan pula dengan kawan baik Chris, Rod (Lil Rel Howery), yang nantinya bukan saja memegang peranan dalam melemaskan urat-urat tegang penonton dengan banyolan-banyolan segarnya tetapi juga berkontribusi ke pergerakan kisah. Begitu kendaraan yang ditumpangi Chris dengan Rose dalam perjalanan menuju rumah orang tua Rose menabrak seekor rusa lalu mendatangkan seorang polisi yang gigih meminta kartu identitas Chris, eskalasi ketegangan mulai terpampang nyata. Pertambahannya terus terdeteksi seiring Chris menjejakkan kakinya di rumah sang calon mertua. Keramahan Dean beserta Missy kadang tampak terlalu dibuat-buat, sementara kedua pelayan berkulit hitam di rumah tersebut; Georgina (Betty Gabriel) dan Walter (Marcus Henderson) memperlihatkan emosi bak robot – kelewat terkontrol secara laku dan tutur. Berada dalam situasi ganjil semacam ini, siapa tak merasa was-was? Belum lagi ketika rombongan tamu yang memeriahkan pesta keluarga Armitage yang kesemuanya berkulit putih berdatangan. Chris terjebak di kerumunan tamu dengan warna kulit sama sekali berbeda dan rentang usia terpaut cukup jauh yang mengaguminya secara tidak wajar termasuk menyinggung soal kehebatannya di atas ranjang. Bukankah ini amat sangat mengganggu? Seperti ketika kita terjebak bersama kerabat yang tidak dikenal akrab lalu mereka memberondong kita dengan serentetan pertanyaan bersifat personal. Sebuah kisah horor yang sesungguhnya.
Chris sangat bisa merasakan ada sesuatu yang salah disini tetapi tidak sanggup menyebutkan dimana letak kesalahannya. Dimainkan amat baik oleh Daniel Kaluuya, sosoknya mudah menjerat simpati dari penonton. Ketika seorang kulit hitam lain secara misterius tiba-tiba memintanya untuk meninggalkan kediaman keluarga Armitage, kita pun berharap Chris bersedia menurutinya sekalipun mustahil bakal dikehendaki si pembuat film karena si protagonis utama baru sekadar mengalami teror secara psikis – dan film baru separuh jalan. Saya tidak akan memberi paparan lebih lanjut terkait keanehan apalagi yang menyergap Chris demi menjaga kenikmatanmu dalam menonton. Satu hal yang jelas: ada rahasia mengerikan tersembunyi dibalik topeng-topeng cantik yang dikenakan oleh keluarga Armitage. Benarkah mereka tidak rasis? Bukankah ada kalanya mereka yang mengaku demikian justru lebih patut diwaspadai ketimbang mereka yang secara terang-terangan bertindak rasis? Performa mengesankan dari Bradley Whitford, Catherine Keener, Caleb Landry Jones (memerankan saudara Rose), Betty Gabriel, serta Allison Williams membuat kita yakin sepenuhnya bahwa mereka bukanlah keluarga kelas menengah biasa. Ditunjang iringan musik ngehe gubahan Michael Abels, Get Out kian membangkitkan sensasi merinding terutama sedari satu fakta dibongkar oleh Rod. Kegelisahan yang terus menerus mengusik akhirnya mencapai puncaknya di babak penutup yang menghadirkan pertunjukkan berdarah nan memuaskan. Memiliki muatan teror mencekam, kunjungan ke rumah calon mertua bersama Jordan Peele di Get Out pun meninggalkan pengalaman mengasyikkan bagi para penikmat film horor.
Wanita yang licik, tapi luar biasa sekali penyamaranya. nice movie lah pokoknya
ReplyDelete