March 7, 2018

REVIEW : LADY BIRD


“Different things can be sad. It’s not all war!” 

Lady Bird adalah film kecil yang sederhana. Tidak ada sesuatu yang bombastis, meletup-letup, atau mencengangkan dalam guliran pengisahan yang diusung oleh Greta Gerwig (Frances Ha, Mistress America) di Lady Bird yang menandai untuk pertama kalinya dia menempati posisi penyutradaraan. Greta Gerwig sebatas mengajak penonton untuk menapak tilas ke masa remajanya sebagai seorang siswi SMA Katolik yang tumbuh berkembang di suatu kota kecil membosankan bersama sebuah keluarga dengan kondisi finansial seadanya. Untuk sesaat, selepas mengetahui bahwa ternyata Lady Bird merupakan film semi biopik dari si pembuat film yang belum juga menjadi nama besar di perfilman dunia dengan pencapaian pantas diagung-agungkan, diri ini mengajukan satu pertanyaan bodoh: apa ada hal menarik dari kisah hidup seorang Greta Gerwig yang patut untuk diceritakan? Bukankah jika membaca premisnya, dia memiliki kehidupan yang biasa-biasa saja dan cenderung monoton di kampung halamannya? Memang betul tidak ada kisah menginspirasi penuh glorifikasi di sini dan film lebih banyak menyoroti kemarahan-kemarahan seorang remaja yang baru saja menapaki usia dewasa terhadap lingkungan di sekitarnya. Akan tetapi, letak kekuatan yang dimiliki oleh Lady Bird justru berada pada ceritanya yang amat familiar serta dekat dengan realita ini sehingga penonton mudah untuk merasa terhubung dan terwakili. Alih-alih berujar “kehidupanku lebih seru daripada kalian semua!” si pembuat film lebih memilih untuk berkata “kehidupanku sama saja dengan kalian semua, jadi aku bisa memahami kalian.” 

Karakter utama yang menggulirkan penceritaan Lady Bird adalah seorang siswi SMA Katolik di pinggiran kota Sacramento, California, bernama Christine McPherson (Saoirse Ronan) yang kekeuh meminta orang lain memanggilnya “lady bird” karena dianggapnya lebih keren ketimbang nama aslinya. Menapaki bangku SMA tingkat akhir, Christine semakin vokal dalam menyuarakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke universitas di area pesisir timur Amerika Serikat (baca: New York) hanya semata-mata agar bisa meninggalkan kehidupan di kampung halaman yang dianggapnya menjemukan. Menilik prestasi akademik Christine yang hanya berada pada level ‘cukup’, emosinya yang masih sangat labil, serta tentunya biaya kuliah yang tidak murah, sang ibu, Marion (Laurie Metcalf), menentang keras rencana sang putri dan memintanya untuk berpikir realistis. Marion mempersilahkan Christine untuk kuliah asalkan universitasnya tidak jauh dari rumah. 

Kekhawatiran Marion terhadap masa depan putri bungsunya ini ternyata diinterpretasikan berbeda oleh Christine sehingga perang dingin diantara keduanya pun tak terelakkan. Disamping peperangan dengan sang ibu, beberapa kejadian lain turut datang silih berganti dalam kehidupan Christine usai dirinya memutuskan terlibat dalam produksi drama sekolah seperti jatuh cinta kepada orang yang salah, melepaskan keperawanan dengan laki-laki yang tidak tepat, menjalin persahabatan dengan teman yang keliru demi menaikkan strata sosial di sekolah, hingga dipecatnya sang ayah dari pekerjaannya yang seketika mengancam mimpi besar Christine untuk kuliah. 



Bagi para penonton yang telah melewati masa remaja, menyaksikan Lady Bird itu ibarat tengah diajak bernostalgia ke masa-masa usia belasan. Mengenang suatu fase pencarian jati diri yang dipenuhi kekonyolan akibat kepenasaran, kemarahan, serta kengeyelan yang sulit dikontrol. Keterkejutan dalam memasuki tahapan baru dalam hidup membuat stabilitas emosi goyah (baca: labil) sehingga memunculkan pemikiran bahwa diri ini lebih baik dari orang lain, lebih unik dari orang lain, dan lebih penting dari orang lain. Christine McPherson pun seperti itu; dengan menggunakan nama “lady bird” lalu mewarnai rambutnya membuat dia berpikir bahwa dia berbeda dari rekan-rekannya (baca: unik), dengan bergaul lalu menyetubuhi anak populer membuat dia memiliki derajat sosial lebih tinggi, dan dengan meninggalkan kampung halamannya (perlu dicatat, motif utama Christine untuk kuliah tidak benar-benar karena ingin menimba ilmu) demi menjalani hidup di kota besar membuat dia menjadi seseorang yang keren. 

Padahal, entah disadari atau tidak, Christine justru menunjukkan bahwa dirinya tidak lebih dari seorang remaja haus pengakuan dengan pemikiran yang dangkal. Sekalipun kadangkala terasa menjengkelkan, apa yang diperbuat oleh Christine sejatinya masih terbilang manusiawi. Siapa sih yang tidak ingin menjadi bagian dari genk populer di sekolah? Siapa sih yang tidak ingin dirinya terlihat menonjol dibandingkan orang lain? Siapa sih yang tidak gerah mendiami satu tempat yang sama sepanjang hidup? Penonton dewasa, entah mengakui atau tidak, rasa-rasanya pernah berada di fase Christine. Setidaknya ada minimal satu dua adegan yang akan membuatmu berkata “ya, aku dulu seperti ini!” selama menonton Lady Bird

Kedekatan kita pada guliran penceritaan yang disampaikan oleh Lady Bird adalah faktor utama yang menyebabkan film terasa begitu hidup. Ini semacam kaca yang merefleksikan kekonyolan hidup kita semasa masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kedekatan ini akan semakin terasa saat dirimu akhirnya memutuskan untuk merantau dan memiliki hubungan kompleks (entah sangat benci, renggang, atau sangat cinta yang memunculkan ikatan benci-cinta) dengan ibu. Maka jangan heran jika kemudian mendapati dirimu berkaca-kaca atau malah bersimbah air mata saat film mencapai adegan dengan kata kunci “menerima surat”, “mencuci piring” dan “mengantar ke bandara”. Kapabilitas si pembuat film membangun emosi setapak demi setapak dengan penuh perhatian kepada detil dalam dialog, karakter, maupun konflik adalah faktor kedua yang menyebabkan film mampu menghujam emosimu sedemikian rupa. Sosok Christine dan Marion sebagai inti cerita tidaklah hampa melainkan dideskripsikan sebagai karakter bulat yang merangkul dua sisi, hitam dan putih. Terkadang kita bersimpati penuh pada mereka sampai-sampai ingin memberi pelukan hangat, terkadang pula kita jengkel luar biasa sampai-sampai ingin berteriak keras “sakarepmu!” (suka-suka kau saja lah) ke muka mereka. 


Ini kemudian mengantarkan kita kepada faktor ketiga yang menyebabkan keinginan Greta Gerwig dalam membuat penonton berkenan mendengarkan ceritanya dapat terpenuhi, performa para pemain yang luar biasa. Tidak ada titik lemah di departemen akting, baik Lucas Hedges, Timothee Chalamet, Beanie Feldstein, serta Tracy Letts di jajaran pendukung menyumbang akting bagus. Namun jika berbicara siapa yang punya kontribusi paling besar, maka itu jelas adalah duo Saoirse Ronan dengan Laurie Metcalf. Berkat mereka, sosok Christine dan Marion lebih dari sebatas “karakter dalam film” karena keduanya tampak begitu hidup dan nyata. Kita bisa memahami obsesi berlebih “lady bird”, kita bisa merasakan kegundahan hati seorang ibu, kita bisa meyakini adanya cinta dibalik hubungan penuh kebencian antara Christine dengan Marion, dan akhirnya kita pun bisa jatuh hati tidak saja kepada mereka berdua tetapi juga kepada Lady Bird sebagai sebuah karya. Bagus sekali!

Outstanding (4,5/5)

1 comment:

  1. Ditunggu review lainnya dari Nominasi Best Picture Oscar ke 90.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch