November 19, 2018

REVIEW : FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD


“Do you know why I admire you, Newt? You do not seek power. You simply ask, "Is a thing... right?" 

Bagi Potterheads, keputusan Warner Bros. dalam memfilmkan buku Fantastic Beasts and Where to Find Them jelas patut dirayakan dengan penuh sukacita. Betapa tidak, mereka mengekspansi Wizarding World – sebutan untuk semesta film yang bersentuhan dengan franchise Harry Potter – sehingga para penggemar berkesempatan untuk melongok lebih jauh world building rekaan J.K. Rowling di luar tembok Hogwarts. Kita disuguhi narasi seputar kehidupan penyihir di masa lampau secara umum, sementara secara spesifik kita bisa melihat kehidupan penyihir dewasa yang telah memasuki dunia kerja (atau dalam hal ini, Kementrian Sihir). Saya akui, ini terdengar menggiurkan. Jilid pembuka Fantastic Beasts pun mengindikasikan bahwa franchise ini berada di jalur yang tepat dengan perkenalannya terhadap dunia pra-Harry Potter yang tetap menguarkan nuansa magis. Membangkitkan segala kenangan indah terhadap tujuh seri petualangan si bocah penyihir. Tapi keputusan para petinggi untuk mengkreasi lima seri, dari rencana awal hanya tiga, mau tidak mau memunculkan kekhawatiran bahwa film akan memiliki guliran pengisahan berlarut-larut. Pengalaman kurang menyenangkan dari trilogi The Hobbit masih terpatri kuat di ingatan dan sosok Newt Scamander (Eddie Redmayne) sebagai karakter utama pun tak semenggigit Harry – bagi saya dia agak lempeng. Itulah kenapa wajar jika ada yang kemudian bertanya, “apa konflik besar yang bisa melingkungi Newt sehingga pihak studio dan Bu Rowling merasa layak untuk menceritakannya ke dalam lima instalmen?” 

Dalam jilid kedua Fantastic Beasts yang mengaplikasikan subjudul The Crimes of Grindelwald, J.K. Rowling yang kembali ditugasi menulis naskah – David Yates pun kembali sebagai sutradara (duh!) – menghadirkan setumpuk konflik sebagai upayanya untuk menjawab pertanyaan penuh keraguan tersebut. Dia seolah berkata, “ada banyak yang bisa aku ceritakan untuk kalian.” Berlatar tiga bulan selepas adegan pamungkas film pertama yang menyisakan kekacauan besar di New York, Newt Scamander mendapat larangan keras untuk bepergian ke luar negeri. Mengingat dia adalah seorang magizoologist yang salah satu tugasnya adalah meneliti fauna ajaib di berbagai penjuru dunia, larangan ini jelas menyulitkan pekerjaannya. Dia pun mengajukan banding kepada Kementrian Sihir yang hanya bersedia memenuhi permintaannya apabila Newt bersedia bekerja untuk mereka mendampingi sang kakak, Theseus (Callum Turner), dalam memburu Credence Barebone (Ezra Miller) yang ternyata masih hidup. Newt menampik tawaran tersebut – yang secara otomatis menggugurkan permintaannya – tapi dia tak bisa mengelak dari tawaran Albus Dumbledore (Jude Law) yang turut menitahkannya untuk menemukan Credence di Paris. Salah satu alasannya karena dia berharap bisa berekonsiliasi dengan perempuan yang ditaksirnya, Tina Goldstein (Katherine Waterston), yang ternyata sedang berada di Paris guna menjalani misi yang sama. Ditemani oleh seorang No-Maj/muggle yang kini menjadi teman baiknya, Jacob Kowalski (Dan Fogler), Newt pun mesti berpacu dengan waktu dalam perburuan ini lantaran seorang penyihir aliran gelap, Gellert Grindelwald (Johnny Depp), tengah menyiapkan rencana besar nan keji untuk Credence beserta para penyihir ‘tersesat’ lainnya di waktu bersamaan.


Jika instalmen pendahulu bisa ditonton oleh penonton awam tanpa dibekali pengetahuan komprehensif soal dunia ciptaannya Bu Rowling, The Crimes of Grindelwald terasa lebih eksklusif. Jangankan mereka yang belum pernah mengunjungi Wizarding World, mereka yang sudah ‘lulus’ dari Hogwarts dengan nilai setara Ron atau Harry pun akan cukup dibuat pusing oleh guliran pengisahan yang ditawarkan. Film seolah menuntutmu untuk memiliki daya ingat setajam Hermione lantaran serentetan peristiwa dan karakter yang bersliweran di sini memiliki keterkaitan erat dengan jilid-jilid lain (termasuk versi novel). Itulah mengapa, The Crimes of Grindelwald bukanlah sebuah film yang bisa berdiri sendiri karena dia difungsikan sebagai penjembatan antara seri pertama dengan seri-seri berikutnya. Kamu perlu menonton setidaknya Fantastic Beasts and Where to Find Them guna mengetahui akar permasalahan, kamu pun perlu menonton seri selanjutnya untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan menggantung di sini. Apakah ini berarti membuatnya terlihat sebagai film yang buruk? Bagi saya sih, tidak. Kesalahan terbesar jilid ini bukan disebabkan oleh narasinya yang menganakemaskan Potterheads sejati, melainkan karena Bu Rowling memperlakukan naskah film selaiknya naskah novel dengan mempergunakan banyak sekali subplot guna menggulirkan roda penceritaan. Ini mungkin masih akan berhasil di atas kertas, tapi saat divisualisasikan ke dalam bahasa gambar… tunggu dulu. Sejujurnya, saya mengalami kebingungan dan kebosanan dalam menonton The Crimes of Grindelwald karena ada banyak sekali cabang cerita untuk diikuti – belum lagi lajunya pun lambat di pertengahan film. 

Bukan sebatas perburuan Credence dan rencana keji Grindelwald, film turut menyodorkan beberapa subplot lain meliputi upaya Credence dalam menguak masa lalunya yang mempertemukan dia dengan Nagini (Claudia Kim), pertengkaran Jacob dengan Queenie Goldstein (Alison Sudol) dipicu oleh keraguan Jacob untuk menikahinya karena ketakutannya dalam melanggar hukum “menikah beda kaum”, hingga kisah cinta segirumit antara Newt, Tina, serta Leta Lestrange (Zoe Kravitz) yang memunculkan dialog khas opera sabun alias sinetron seperti “dengerin dulu penjelasanku” saat si cewek pujaan hati ngambek-ngambek manjya. Meriah sekali, ya? Saking meriahnya, film sampai terlihat kebingungan dalam meletakkan fokus sehingga satu pertanyaan pun tak terelakkan: apa sih sebenarnya yang ingin diceritakan di sini? Meski menggunakan embel-embel Fantastic Beasts, kenyataannya fauna ajaib hanya muncul sebagai penghibur ketika film membutuhkan aksi atau komedi. Meski menempatkan Newt Scamander sebagai karakter utama, dia nyaris tak melakukan suatu tindakan yang signifikan di sini (bahkan jatah tampilnya pun mangalami pengurangan cukup banyak). Meski nama Grindelwald muncul pada judul, dia pun tak banyak diberi kesempatan untuk menjabarkan motivasi berikut pemikiran-pemikirannya secara jelas – apalagi menunjukkan kejahatan seperti diutarakan oleh judul. Kita hanya mengetahuinya dari dialog yang tak cukup kuat dalam memperlihatkan bahwa dia adalah sosok penyihir bengis yang semestinya ditakuti. Tak ada kompleksitas dalam karakterisasinya, Grindelwald tak ubahnya penjahat satu dimensi di banyak film yang tujuan utamanya semata-mata “ingin menguasai dunia”. 



Yang kemudian membantu menyelamatkan The Crimes of Grindelwald dari keterpurukan akibat naskah yang Ya-Tuhan-gini-amat-ceritanya (dan saya masih belum membahas soal twist ajaib yang menunjukkan obsesi terselubung Bu Rowling terhadap soap opera melibatkan cerita “saudara yang tertukar”) adalah performa pemain. Ditengah keterbatas penulisan karakter, para pelakon masih sanggup menunjukkan akting yang tidak mengecewakan khususnya Eddie Redmayne dengan segala kecanggungannya, Johnny Depp (akhirnya!) dapat melepaskan bayang-bayang Jack Sparrow dalam peran antagonis cukup menarik, Zoe Kravitz menunjukkan guratan penyesalan dibalik air muka muramnya, beserta Dan Fogler yang memberi banyak asupan tawa dalam setiap celetukannya sekalipun karakternya tak berkontribusi banyak pada penceritaan kecuali dipergunakan sebagai comic relief. Yang juga layak diapresiasi adalah tampilan visualnya yang masih sanggup menguarkan nuansa magis lebih-lebih saat musik tema Harry Potter turut berkumandang mengiringi beberapa adegan. Secara personal, saya menyukai penggambaran adegan pembukanya yang memiliki excitement tinggi, kunjungan Newt ke “ruang kerjanya”, kunjungan ke Kementrian Sihir, dan tentu saja ketika para karakter mengunjungi Hogwarts untuk menemui Dumbledore yang membuat saya bernostalgia. Visual yang ditonjolkan dalam rangkaian adegan ini memberikan setitik alasan sederhana mengapa franchise dunia sihir ini bisa banyak dicintai dan dikagumi oleh banyak orang. Visual yang mewarnai The Crimes of Grindelwald ini pula yang membuat saya mampu bertahan menyaksikan sinetron versi Bu Rowling. Saat film berakhir, saya hanya berdoa semoga Bu Rowling segera kembali ke jalan yang benar sehingga seri-seri Fantastic Beasts berikutnya mampu membuktikan bahwa seri ini memang layak diceritakan dalam lima instalmen. Jika seri berikutnya tidak ada bedanya dengan The Crimes of Grindelwald, mungkin sudah saatnya saya memutuskan untuk murtad dari Potterhead.

Acceptable (2,5/5)


18 comments:

  1. aku nonton pas premiere sih happy (terlalu cinta sama wizarding world kali). pas nonton kedua kali, baru kerasa kalo filmnya jadi separo romance. Sedih akutu...
    Trus juga kebanyakan plot gini jadi malah ga terpuaskan (yang ada malah dibikin tambah penasaran2 ga jelas).
    Rowling perlu nulis versi novelnya emang, seenggaknya buat nyelametin "para pemuja kisah2 dunia sihir"nya dari rasa kecewa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau cinta banget sih emang bakal seneng sama film ini. Padahal kalau diperhatiin, bah... Kacau banget narasinya. Emang mestinya ditulis dalam novel dulu baru diterjemahin ke film. Ada alasannya kenapa film adaptasi nggak setia sepenuhnya dengan materi sumbernya. Jadinya ntar kayak gini. Terlalu penuh plot yang sebenarnya bisa diilangin.

      Delete
  2. *sori oot*
    Duh. Padahal syaa penggemar berat the hobbit. Kenapa gitu om the hobbit mengecewakan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenernya sih nggak jelek. Tapi kalau dibandingin sama The Lord of the Rings sih jauh. Lebih ke nggak cocok dijadiin tiga film, satu atau dua saja sudah cukup.

      Delete
  3. Setuju ak zal sama review ya, ini plotnya nyabang2 ga jelas. Tapi kmrn nontonnya d 4dx jadi lumayan terobati lah dg efek2nya. Plot ceritanya bisa dikesampingkan sejenak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih, banyak yang bilang format 4DX nya oke. Sayang kemarin pas lagi nggak di Jogja dan sekarang males banget buat nonton lagi. Hahaha.

      Delete
  4. Banyak yg bilang ini film cuma filler aja. Trus banyak plot hole macam kenapa Prif McGonagall sudah ngajar di Hogwarts (kalau dr hitungan tahun kelahiran, saat setting CoG itu umurnya msh 10 tahun). Trus endingnya bikin byk yg ngarep semoga itu cuma akal2an Grindelwald aja buat manfaatin Credende.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah. Filler itu kata yang tepat buat gambarin film ini. Kehadiran McGonagall itu juga aneh sekali sih dan sebenernya nggak penting juga kenapa mesti ada.

      Delete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Lebih suka yang pertama, waktu adegan frank aka thunderbird dilepas dilanjut reparo sekota memorable banget, 3d nya keren, yang ini kok bikin kepala pening y... tapi mendingan lah daripada harry potter the cursed child dibikin film, Baru ada Aurelius Dumbledore? Nani?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya yang pertama jauh lebih mendingan. Kalau ini terlalu banyak plot dan macam fanfiction. Sepertinya nggak akan jauh beda dengan The Cursed Child kalau difilmkan. Hahaha.

      Delete
    2. Setujuuu, aku ga sreg banget ada the cursed child. Berasa AAC 2 gitu deh. Ga penting ada kelanjutannya, filler, side story -_-

      Delete
    3. Wadaw. AAC2 itu sudah berada di liga yang berbeda dan levelnya sudah advanced soal imajinasi dalam bercerita lho. Bu Rowling masih harus belajar buat bisa bikin cerita sefantastis itu.

      Delete
  7. Kayaknya aku terlalu khatam sama harry potter dan wizarding world ya smpe tetep seneng bgt sama film ini. Tp partner nnton yg cuma sekedar ngikutin Harry Potter tp gk paham bner emg klihatan mukanya agak bingung sih. Smpe2 pas slese nnton aku jelasin dia mksud dari bagian2 yg bikin dia bingung. Beda bgt sama aku yg lgsg ngeh sama puzzle2nya. Klo bukan potterhead emg bakal bingung sama film ini sih. Dan aku setuju bgt klo ini film yg dibilang memanjakan potterhead. Misal adegan kilatan ijo trs ada suara teriak. Klo potterhead pasti tau itu mksudnya ada pembunuhan pke mantra paling mematikan itu. Tp yg bukan potterhead kyknya gk tau itu apaan soalnya gk dilihatin. But I try to positive thinking sih. Mgkn msh blm dipuncak krna bakal ada bbrp seri lagi. Kyk harry potter yg awal2 jg msh perkenalan, seri yg agak akhir mulai nunjukin konfliknya. Tp as a potterhead, emg paling suka tuh pas adegan di hogwarts trs theme song nya harry potter diputer. Ngobatin kangen bgt sama harry potter. Bner2 bikin flashback.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup. Buat Potterhead sih bakal tetep enjoy dengan film ini apalagi kalau masih sangat ingat dengan detil di semestanya. Salah satu bagian terbaiknya emang pas kita diajak balil kr Hogwarts dan musik tema itu berkumandang. Ahhh... Nostalgia. Ya semoga saja di seri berikutnya nggak terlalu berambisi buat bercerita banyak dan lebih fokus. Perjalanan masih panjang, kita nanti saja seperti apa seri seri berikutnya 😀

      Delete
  8. Saya yakin, JK Rowling emang nulis cerita sangat panjang buat series ini.. Tapi pihak PH-nya bukannya bantuin ngecut dan ambil cerita penting biar fokus, malah ngeextend dari tiga film jadi lima.. Huyuh..

    Tapi untungnya saya masih suka Ama film kedua ini. Meskipun emang sempet bosenin karena subplotnya kebanyakan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. JK Rowling emang lebih cocok nulis novel saja daripada skenario. Treatment dia di sini seperti nulis novel, padahal nggak semuanya bisa diceritain. Semestinya dia bertugas sebagai supervisor naskah, daripada terjun langsung.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch