November 2, 2018

REVIEW : THE RETURNING


“Mama ngerasa ada yang aneh ga sejak Papa balik?” 

Ada dua hal yang menggelitik rasa penasaran dalam diri terhadap The Returning garapan Witra Asliga (sebelumnya, dia menyumbang segmen Insomnights untuk film omnibus 3Sum). Pertama, pilihan makhluk penerornya yang tak lazim bagi film horor Indonesia masa kini. Ketimbang menggaet pocong, genderuwo, kuntilanak, beserta kerabat-kerabat mereka yang sudah tak canggung berlakon di depan kamera, Witra justru mendaulat makhluk misterius yang melalui materi trailer sedikit banyak mengingatkan pada creature keji dari trilogi Jeepers Creepers. Kedua, The Returning menempatkan Laura Basuki yang belum pernah mengambil peran di film horor sebagai pemeran utama. Mengingat aktris penggenggam Piala Citra ini tergolong selektif dalam menerima job, saya pun bertanya-tanya: apa keistimewaan dari naskah gubahan si pembuat film sampai-sampai Laura Basuki tergiur untuk ikut bermain? Ditambah keberadaan Ario Bayu yang belakangan sedang laris manis, Tissa Biani yang mencuri perhatian berkat aktingnya di 3 Nafas Likas (2014), serta Muzakki Ramdhan yang baru-baru ini membuat saya kagum melalui Folklore: A Mother’s Love, antisipasi saya kepada The Returning yang sudah dipersiapkan sedari tahun 2014 ini pun cukup tinggi. Lebih-lebih, film ini tampak menawarkan sajian berbeda dibanding film horor Indonesia kebanyakan. 

Dalam The Returning, kita dipertemukan dengan satu keluarga yang konfigurasinya terdiri dari Colin (Ario Bayu), Natalie (Laura Basuki), Maggie (Tissa Biani), serta Dom (Muzakki Ramdhan). Kebahagiaan keluarga kecil ini lantas terusik ketika Colin terjatuh dalam sebuah pendakian tebing dan tubuhnya tak pernah ditemukan. Selama tiga bulan, Natalie masih enggan menerima kenyataan bahwa Colin mungkin telah berpulang, sementara Maggie dan ibunda Colin (Dayu Wijanto) merasa sudah saatnya untuk melanjutkan hidup dengan merelakan kepergian Colin. Pertikaian demi pertikaian pun menghiasi hubungan ketiga manusia ini yang dipicu oleh kengeyelan Natalie mengenai status sang suami, sampai kemudian para karakter yang sedang berusaha berdamai dengan duka tersebut dikejutkan oleh satu ketukan pintu. Tak ada yang menyangka, tak ada pula yang menduga, Colin akan datang kembali di suatu malam. Wujudnya masih seperti ketika dia meninggalkan rumah, bahkan dokter pun menyatakan dia baik-baik saja. Kalau begitu, apa yang sebenarnya terjadi sampai dia menghilang tanpa jejak selama tiga bulan lamanya? Colin sendiri tidak mampu mengingatnya dengan jelas. Hanya saja semenjak kedatangannya, serangkaian keganjilan turut menghantui keluarga ini. Meski Natalie lagi-lagi menganggap segalanya baik-baik saja, Maggie merasa ada sesuatu yang salah dengan ayahnya. 



Selaiknya Kafir Bersekutu dengan Setan dan Jaga Pocong tempo hari, The Returning pun mengaplikasikan laju pengisahan yang lambat memanas alias slowburn. Tujuannya, guna mengenal lebih dekat keluarga kecil yang menjadi sentral cerita, memahami kondisi psikologis mereka terkait bagaimana masing-masing personil berdamai dengan kehilangan, hingga akhirnya kita pun sanggup menyematkan simpati. Beruntung bagi Witra, barisan pemainnya menunjukkan kapabilitas dalam menangani momen dramatik yang menghiasi separuh durasi awal ini. Laura Basuki tampak rapuh disegala luapan kemarahannya yang menunjukkan bahwa dia tidak ingin harapannya dipadamkan, Tissa Biani terlihat tegar (sekaligus galak) dalam upayanya untuk membentengi diri dari kesedihan atas kepergian dan kekecewaan atas sikap sang ibu, lalu Ario Bayu yang tampak kebingungan dengan peristiwa yang baru saja dihadapinya. Sosok Colin tak ubahnya personil lain dalam keluarganya maupun penonton, bertanya-tanya mengenai apa yang sesungguhnya telah terjadi. Keberadaan tiga pelakon utama ini – sayangnya Muzakki Ramdhan tak banyak memperoleh kesempatan, sementara Dayu Wijanto kerap terbentur oleh pengucapan dialog yang janggal – mampu mengompensasi sisi narasi yang tak terlalu nyaman buat diikuti lantaran transisi antar adegan yang kurang mulus plus laju penceritaan yang terlalu lambat di permulaan dan terlalu tergesa di penghujung. 

Ya, si pembuat film menghabiskan banyak waktu untuk menyoroti kegundahan Natalie beserta anak-anaknya termasuk melibatkan beberapa karakter yang sejatinya tidak memiliki kontribusi apapun terhadap penceritaan dan bisa saja dihempaskan guna menghemat durasi (misal: sahabat Natalie, saudara Natalie, serta teman Maggie yang cemburu). Mulanya sih tidak ada keluhan berarti, lalu ini berlangsung kelewat panjang yang seketika menggelisahkan saya. Bukan disebabkan oleh atmosfer mengusik kenyamanan yang terbangun dari rumah Colin, melainkan karena film serasa jalan di tempat. Teror tak kunjung mengalami eskalasi sementara The Returning telah menapaki satu jam pertama. Dimanakah si makhluk peneror itu? Seperti apa wujudnya? Kenapa dia meneror keluarga Colin? Apa kepentingannya? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkelebat hingga si dia akhirnya nongol yang mempersembahkan kita satu dua momen yang bikin terlonjak dari kursi bioskop. Usai menampakkan wujudnya kepada penonton – konon, inspirasi pembuatannya dari sesosok makhluk yang ‘dilihat’ Witra saat berkunjung ke Bali – sayangnya ketegangan tak lantas meruncing. The Returning masih mencoba untuk mengajak penonton bermain ‘petak umpet’ dengan si makhluk tanpa menyadari bahwa kuota durasi telah menipis. Alhasil, saat menginjak babak pengungkapan, tempo film mendadak melesat tak terkendali. Beberapa momen yang memungkinkan kita untuk terlibat secara emosi pun lewat begitu saja saking minimnya kesempatan untuk mencerna apa yang sesungguhnya terjadi. Kita tidak dibuat terkejut, takut, maupun terenyuh padahal hamparan adegan di layar mengarahkan penonton untuk merangkul sensasi rasa tersebut. Sungguh disayangkan.

Acceptable (2,5/5)



No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch