December 17, 2018

REVIEW : SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE

 

“One thing I know for sure. Don’t do it like me, do it like you.” 

Hanya dalam kurun waktu satu dekade, publik telah mendapatkan setengah lusin film (!) mengenai karakter superhero milik Marvel Comics, Spider-Man, yang terbagi ke dalam tiga semesta penceritaan. Yang pertama tergabung dalam trilogi gubahan Sam Raimi dengan Tobey Maguire sebagai bintang utamanya, lalu yang kedua adalah reboot pertama yang memosisikan Andrew Garfield di garda terdepan, dan yang terakhir adalah reboot kedua yang diniatkan sebagai bagian dari Marvel Cinematic Universe. Ketiga-tiganya memiliki karakter sentral serupa yakni Peter Parker dan jilid pertama dari ketiga franchise ini pun mempunyai origin story kurang lebih senada (perbedaan paling mencolok ada pada usia) sehingga muncul sekelumit pengharapan: tolong, jangan ada reboot lagi! Di saat saya – dan mungkin jutaan penonton lain – telah puas dengan keberadaan Spider-Man: Homecoming (2017) yang mengenalkan kita pada Tom Holland, Sony Pictures selaku pemilik hak cipta untuk adaptasi superhero ini membuat pengumuman mengejutkan. Kita akan mendapatkan versi layar lebar lain yang menyoroti sepak terjang Spidey dalam memberangus kejahatan. Untuk sesaat diri ini ingin berteriak, “whaaaattt?”, sampai kemudian saya mendapati bahwa versi terbaru ini akan dicelotehkan dalam format animasi dan si tokoh utama bukan lagi Peter Parker melainkan Miles Morales yang notabene merupakan karakter kulit hitam pertama di balik kostum Spidey. Hmmm… interesting

Mengaplikasikan judul Spider-Man: Into the Spider-Verse, film yang digarap oleh tiga sutradara ini; Bob Persichetti, Peter Ramsey, dan Rodney Rothman, mengenalkan penonton pada seorang remaja bernama Miles Morales (disuarakan oleh Shameik Moore) yang tinggal di Brooklyn bersama ayahnya yang seorang polisi, Jefferson Davis (Brian Tyree Henry), dan ibunya yang seorang perawat, Rio Morales (Luna Lauren Velez). Demi masa depan lebih cerah, Jefferson menyekolahkan Miles di sebuah sekolah asrama terpandang dimana siswa-siswinya memiliki jiwa kompetitif tinggi. Miles memang memiliki otak encer, tapi dia merasa kehidupan di sekolah ini mengekang jiwa mudanya yang menyukai kebebasan. Sebagai bentuk pelarian dari tekanan untuk memenuhi ekspektasi besar sang ayah, Miles kerap mengunjungi sang paman, Aaron Davis (Mahershala Ali), dan mencorat-coret dinding dengan grafiti. Kehidupan Miles yang cenderung tak tentu arah menyusul kebimbangannya untuk mengikuti kata hati atau menuruti pengharapan orang tua ini perlahan mulai berubah setelah seekor laba-laba menggigitnya. Miles seketika memiliki kekuatan seperti halnya Peter Parker atau Spider-Man (Chris Pine) yang dielu-elukannya, tapi dibenci oleh Jefferson. Ditengah-tengah upayanya menyesuaikan diri dengan kekuatan barunya, Miles berjumpa dengan sekelompok Spider-person dari semesta berbeda seperti Peter Parker (Jake Johnson), Spider-Woman (Hailee Steinfeld), Spider-Noir (Nicolas Cage), Spider-Ham (John Mulaney), dan Peni Parker (Kimiko Glenn), usai sebuah portal ke dimensi lain terbuka. 


Siapa yang menyangka jika menyaksikan Spidey bergelantungan diantara gedung-gedung pencakar langit di kota New York dalam format animasi ternyata menghadirkan sebuah pengalaman sinematis yang berbeda dan mengasyikkan? Jangan keburu pesimis terlebih dahulu dengan dalih “ini cuma film kartun” karena animasi yang ditawarkan oleh Spider-Man: Into the Spider-Verse bukan seperti film animasi yang kerap ditengok di layar beling atau versi home video-nya. Ada bujet besar yang diinvestasikan oleh Sony Pictures Animation di sini dengan hasil akhir seperti perpaduan antara rekaan komputer (CGI) dengan goresan tangan (2D) yang besar kemungkinan akan membuatmu takjub. Lebih-lebih, jika kamu gemar membaca komik. Memang sih tidak ada detil mencengangkan macam film produksi Pixar – dan memang bukan itu tujuannya – tapi pilihan kreatif untuk menghadirkan Spider-Man: Into the Spider-Verse dalam format animasi memungkinannya tersaji bak “komik hidup”. Ini termasuk adanya balon dialog untuk menampung pikiran-pikiran si protagonis dalam bentuk tulisan serta munculnya tulisan sejenis “Kapoow!” guna memberi efek bombastis pada laga tanpa suara. Unik, bukan? Yang juga unik adalah desain karakternya yang mungkin akan memiliki impak berbeda apabila diterjemahkan ke dalam live action seperti Kingpin (Live Schreiber) si villain utama yang mempunyai tubuh besar cenderung kotak dengan kepala kecil, Spider-Ham yang kartun banget sekaligus mengingatkan pada salah satu tokoh di Looney Tunes, dan Peni Parker yang corak animasinya kentara dipengaruhi oleh anime asal Jepang. 

Si pembuat film turut memperdayakan pilihan kreatifnya ini untuk mengkreasi tata laga yang liar macam momen klimaks besarnya yang melibatkan berbagai dimensi ruang waktu, maupun tata laga dengan sentuhan humor macam momen pertemuan pertama kali antara Miles dengan Peter Parker dari semesta berbeda. Dua hal yang harus diakui sulit dibayangkan bisa muncul dalam format live action tanpa harus menjadi norak dan kacau. Disamping menaruh banyak perhatian terhadap pembuatan animasi sehingga ambisi ‘tidak pernah kamu lihat sebelumnya’ dapat terpenuhi, trio sutradara tak pernah sekalipun abai soal narasi yang naskahnya dikerjakan oleh Rothman bersama Phil Lord (The Lego Movie). Untuk ukuran film yang mengincar pasar keluarga, Spider-Man: Into the Spider-Verse terbilang memiliki penceritaan kompleks. Bukan saja soal keberadaan dimensi lain yang secara cerdas dapat diurai tanpa pernah bikin otak keriting (dan bisa pula dipahami penonton cilik. Bravo!), tetapi juga pergulatan pribadi Miles Morales beserta sang mentor, Peter Parker, dan motivasi Kingpin yang bukan sebatas menguasai dunia. Miles mengalami kebimbangan dalam memilih jalan hidup yang membenturkannya pada konflik dengan sang ayah dan sang paman, sementara Peter Parker yang tidak lagi muda berjaya sedang bertikai dengan istrinya, Mary Jane. Terdengar sangat berat, ya? Di atas tulisan sih memang tampaknya begitu. Tapi percayalah, dalam eksekusinya tidaklah demikian. Sekalipun emosi tetap terasa ditonjok-tonjok (utamanya di adegan berbicara dari balik pintu), ada penyeimbang yang tepat dalam wujud humor segar dan laga seru demi menjaga semangat penonton dalam menyaksikan Spider-Man: Into the Spider-Verse yang merupakan salah satu film terbaik Spidey ini. 

Note : Spider-Man: Into the Spider-Verse memberi penghormatan terakhir pada Stan Lee (yang masih muncul sebagai cameo) dan Steve Ditko di pertengahan end credit. Pada penghujung credit, ada sebuah adegan bonus sangat lucu bagi kamu yang bersedia bertahan selama 14 menit.

Outstanding (4/5)


3 comments:

  1. Awalnya agak bingung, film ini maunya apa (krn taunya, spiderman tu ya peter parker). Trus mulai pertengahan, eh kok seru, keren juga format animasinya.
    sayangnya ga sempet liat post credit scene, krn nonton udah cuma berdua aja satu studio (seriusan dah macam nyewa studio buat pribadi) di jam terakhir pula (kelar jam stgh12 malam), jd pengen buruburu keluar :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yekannnnn? Awalnya juga masih nggak nyaman, apalagi gambarnya agak blur karena konon katanya emang disiapin buat 3D. Tapi makin ke belakang makin asyik. Elemen dramatiknya juga kena banget :(((

      Post credit scene-nya sih dilewatin juga nggak apa sebenernya, tapi misal nggak keburu-buru mending ditonton. Kocak banget. Hahaha.

      Delete
  2. BARU NONTON

    ahhh suka banget sama gaphicnya:''') perpaduan semi 3d dan 2d-nya justru bikin dinamika emosi dari karakternya makin kerasa. dan ya! kelebihan animasi adalah menyuguhkan sesuatu yang mungkin akan kerasa sulit atau cringe kalo dimainkan dalam versi manusia. jadi film ini memuaskan banget! i'm not a fan of marvel or superheroes, but this one is totally awesome! <3

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch