“Mau sampai kapan kita kayak gini? Kamu nggak bisa terus-terusan lari
kayak gini.”
Perjalanan pulang kampung saat
libur Lebaran seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi anak rantau.
Bisa melepas rindu dengan tanah kelahiran, bisa memeluk hangat orang tua, dan
bisa bersenda gurau dengan saudara-saudara kandung. Meski obrolan basa-basi
kala halal bi halal seringkali bikin
capek hati, tapi hidangan khas beserta acara kumpul-kumpulnya dengan keluarga
yang mungkin jarang ditemui itu ngangenin.
Tentu dengan catatan, tidak ada perang dingin yang tengah bergelora. Apabila
ada masalah besar yang titik terangnya belum kunjung terlihat, mudik pun serasa
perjalanan menuju neraka. Menyiksa jiwa dan raga. Tengok saja pasangan suami
istri, Firman (Ibnu Jamil) dan Aida (Putri Ayudya), yang selama perjalanan
menuju ke kampung halaman tak pernah sekalipun terlihat cerah ceria
berseri-seri. Mereka enggan untuk saling berkomunikasi antara satu dengan yang
lain karena mereka sama-sama tahu, membuka mulut sama artinya dengan memulai
medan pertempuran. Alhasil, penonton Mudik
atau Homecoming arahan Adriyanto Dewo
(Tabula Rasa) pun ikut menyusuri rute
Jakarta-Jogja dengan perasaan yang tidak mengenakkan lantaran Firman dan Aida
adalah karakter sentral dalam film ini. Alih-alih menunggangi pesawat terbang
atau kereta api yang bisa memangkas waktu tempuh secara signifikan, keduanya justru
memilih untuk mengendarai mobil pribadi yang menjadikan 8 jam seperti
selamanya.
Penonton tidak dibiarkan tahu
begitu saja mengenai persoalan yang sedang dihadapi oleh pasangan ini. Melalui
tukar dialog yang amat minim dan mimik muka para karakternya, kita hanya mendapati
informasi bahwa ada masalah besar dalam rumah tangga mereka yang besar
kemungkinan dipicu oleh Firman. Karakter ini diperlihatkan tampak menyimpan sesuatu
sedari mula. Bahkan, kita mendapatinya berbohong mengenai dering telepon kepada
sang istri kala dirinya dijemput di bandara. Selagi mengikuti perjalanan
keduanya yang acapkali diisi oleh keheningan, dengan sesekali diselingi oleh
adu mulut, pemirsa dibawa menerka-nerka: ada apa sebetulnya? Oleh si pembuat
film, tanya ini tidak lantas dibentuk sebagai misteri besar guna memberikan
daya pikat tersendiri karena narasi Mudik
lebih menekankan pada proses si karakter utama, dalam hal ini Aida, untuk
berdamai. Baik berdamai dengan diri sendiri, keadaan maupun orang lain. Seperti
esensi dari mudik dan Idul Fitri itu sendiri; perjalanan untuk memulai
kehidupan yang baru dan lebih baik dari sebelumnya. Demi mencapai tujuan
tersebut, Aida dan Firman mendapat ujian besar di tengah jalan usai mobil
mereka tanpa sengaja menabrak motor dan menewaskan pengemudinya. Merasa bersalah,
Aida memilih untuk bertanggung jawab yang kemudian membawanya ke kediaman
korban dimana dia bertemu dengan istrinya, Santi (Asmara Abigail), yang tidak
terima dengan kematian sang suami.
Selama beberapa hari, Aida dan
Firman pun terjebak di sana lantaran penduduk “Kampung Dajjal” menuntut adanya
permintaan maaf dalam wujud materi. Pada titik ini, Mudik yang telah mencuri perhatian sedari adegan kecelakaan yang diramu
intens pun semakin menggeliat dengan melemparkan kritik sosial berkenaan dengan
masyarakat yang oportunis dan seksis. Alih-alih mengupayakan adanya mediasi
antara dua belah keluarga, beberapa pihak justru memanfaatkannya untuk mengeruk
keuntungan pribadi dengan dalih “kasihan
Santi, sekarang dia harus menghidupi ibu dan anaknya,” sementara Santi
tidak pernah dilibatkan dalam diskusi apapun. Dirinya justru mendapatkan
pengekangan demi pengekangan dari masyarakat karena statusnya sebagai seorang
perempuan dan janda. Ini terasa nyelekit, tetapi juga menampar saking
relevannya dengan keadaan di sekeliling kita. Bukankah kerap dijumpai oknum yang
tega memanfaatkan kemalangan seseorang demi mendapatkan keinginannya? Tidak
hanya masyarakat, tetapi juga mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai
penegak hukum. Mudik sempat
menyorotinya melalui menghilangnya sosok polisi yang mulanya berjanji akan
membantu mengurai silang sengkarut ini. Mendadak lenyap tak berbekas yang serta
merta mengundang tanya sekaligus kecurigaan mengenai keterlibatan mereka dalam
upaya memeras pasangan naas tersebut. Kalaupun tidak, bukankah terasa sama
problematiknya lantaran telah melepas tanggung jawab dan menyerahkannya kepada
warga desa yang buta dasar-dasar penegakan hukum?
Penonton dihadapkan pada rasa
cemas, takut, serta putus asa yang disalurkan secara cemerlang oleh Putri
Ayudya melalui ekspresi serta gestur tubuh. Interaksi serba canggungnya dengan
Ibnu Jamil yang tidak lagi dicintainya dan Asmara Abigail yang tampak begitu
nelangsa, memberi kekuatan tersendiri bagi Mudik
yang sayangnya mulai goyah kala misteri dibalik persoalan rumah tangga Aida-Firman
mulai diungkap. Meski problematika ini memang nyata adanya di masyarakat, tapi
bukankah sudah terlampau jamak dikedepankan sebagai akar permasalahan oleh
film-film Indonesia lain? Maksud hamba, masih ada pemantik-pemantik lain yang
tidak kalah ganasnya yang boleh jadi akan memberi greget maupun pertaruhan
lebih besar bagi hubungan dua karakter ini. Terlebih, konflik batin yang
merundung Aida sejatinya sudah cukup untuk memberi pukulan telak kepada
masyarakat yang kerap merecoki kehidupan pribadi seseorang dengan pertanyaan
basa-basi nyelekit. Adanya momen “pertengkaran besar” di penghujung durasi pun
tidak membantu dengan penggambarannya yang kelewat meledak-ledak, cenderung kontradiktif
dengan pembawaan film yang di sepanjang durasi yang meletakkan fokusnya pada permainan
mimik muka dan gestur yang halus. Di kala Mudik
seperti telah kehilangan daya cengkramnya di menit-menit yang semestinya
menjadi gong, Adriyanto Dewo berhasil mengangkatnya kembali dengan memberi
babak pamungkas yang bukan saja indah ditunjang iringan skoring musik megah
gubahan Lie Indra Perkasa, tetapi juga emosional.
Bisa ditonton di Mola TV
Exceeds Expectations (3,5/5)
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletelink slot gacor terpercaya
ReplyDeletelink slot gacor
link slot
main slot
online slot