“You know the jungle, it’s a part of you. But exploring is not a game,
and you don’t look before you leap.”
Bersama dengan Spongebob Squarepants, Dora the Explorer adalah salah satu
serial animasi yang populer di Indonesia pada tahun 2010-an. Tidak hanya
membuat para penontonnya gemar mereka ulang dialog andalannya seperti “Swiper, jangan mencuri!” atau
menyanyikan tembang penutup “berhasil,
berhasil, hore!”, serial ini turut menciptakan tren berupa rambut bergaya
bob ala Dora, tas ransel berwarna ungu, sampai segala pernak-pernik yang
digandrungi perempuan-perempuan cilik. Ya, Dora
the Explorer memang terhitung sebagai serial yang fenomenal dan ini tidak
hanya berlaku di Indonesia tetapi juga negeri asalnya, Amerika Serikat, dimana
serial tersebut tercatat memiliki episode terpanjang sepanjang sejarah kanal
Nick Jr. Menilik pencapaiannya dalam hal menciptakan massa pendukung, tidak
mengherankan jika kemudian petinggi studio di Hollywood tertarik untuk
mengejawantahkannya ke dalam film layar lebar berformat live action meski keputusan ini mengundang tanda tanya besar.
Bagaimana caranya kamu mengadaptasi sebuah serial yang difungsikan sebagai
program edukasi untuk anak-anak (khususnya dalam mempelajari Bahasa Spanyol)
menjadi sebuah film cerita yang bisa dinikmati oleh penonton segala usia? Belum
apa-apa, versi layar lebar dari Dora the
Explorer yang bertajuk Dora and the
Lost City of Gold terdengar seperti misi yang mustahil sampai kemudian saya
menengok sendiri hasil akhirnya yang ternyata oh ternyata… sangat menghibur!
Dalam Dora and the Lost City of Gold, Dora bukan lagi gadis cilik berusia
7 tahun seperti yang kita kenal melainkan telah tumbuh berkembang menjadi seorang
remaja berusia belasan (diperankan oleh Isabela Moner). Pun begitu,
karakteristik beserta tingkah polahnya tidak menunjukkan perubahan signifikan.
Dia masih mempunyai kepribadian yang ceria, optimistis, sekaligus pemberani.
Selama mendiami “gubuk” di pedalaman Peru bersama kedua orang tuanya (Eva
Longoria dan Michael Pena), Dora kerap menghabiskan waktu untuk: 1) melahap
buku-buku milik orang tuanya yang berprofesi sebagai arkeolog, dan 2) menyusuri
hutan bersama monyet peliharaannya, Boots, demi menemukan petualangan baru.
Bisa dibilang, Dora tidak menjalani kehidupannya secara wajar karena dia pun
tidak mempunyai teman sebaya. Kesempatan bagi Dora untuk mengenal kehidupan
lain akhirnya datang saat kedua orang tuanya berencana melakukan ekspedisi untuk
mengungkap sebuah peradaban kuno berupa kota emas Parapata yang hilang.
Alih-alih mengajaknya serta, mereka justru menitipkan Dora pada kerabat mereka
di Los Angeles yang mempunyai putra berusia sama dengan Dora, Diego (Jeff
Wahlberg). Dibimbing oleh Diego yang tumbuh sebagai remaja jaim, Dora pun
menjalani kehidupan SMA yang jauh lebih liar dari bayangannya. Ditengah-tengah
upayanya untuk mendapatkan tempat di rimba baru ini, Dora mendadak memperoleh
suatu panggilan yang mengharuskannya untuk pergi ke Amerika Selatan guna
menemukan kedua orang tuanya yang menghilang tanpa jejak.
Tidak memboyong banyak
pengharapan – kecuali prasangka bahwa film ini akan terlampau kekanak-kanakkan
– saya jelas terkejut begitu mendapati bahwa Dora and the Lost City of Gold adalah definisi dari “film yang
membahagiakan”. Ya, sepanjang durasi mengalun, saya tidak henti-hentinya
tergelak, menyunggingkan senyum, sesekali tersentuh, dan ada kalanya pula
bersemangat mengikuti petualangannya menemukan Parapata. James Bobin (The Muppets,
Alice Through Looking the Glass)
selaku sutradara telah membangkitkan kembali jiwa kanak-kanak dalam diri ini
yang telah lama mendengkur. Penonton skeptis mungkin akan bertanya-tanya
mendengar pernyataan saya: apakah untuk bisa menikmati tontonan ini, kita mesti
berpikir seperti anak-anak? Well, tidak
juga. Si pembuat film telah mengondisikan Dora
and the Lost City of Gold untuk dapat ditonton oleh penonton segala usia
meski tentu saja impak yang diberikan film ini akan lebih berasa apabila kamu
pernah menyaksikan materi sumbernya. Salah satu penyebabnya, Bobin
mendayagunakan sejumlah referensi dari Dora
the Explorer untuk memantik tawa di dalam bioskop. Sebagai contoh,
pernahkah kamu berpikir kenapa Swiper si pencuri yang notabene adalah seekor
rubah harus mengenakan topeng kala beraksi? Atau, pernahkah kamu menyadari
bahwa kebiasaan Dora untuk berinteraksi langsung dengan penonton (dalam bentuk
“merobohkan dinding keempat”) atau bersenandung akan terasa aneh apabila
diaplikasikan pada kehidupan nyata?
Oleh Dora and the Lost City of Gold, segala ciri khas dari Dora yang
kita kenal dimanfaatkan sebagai bahan lelucon yang bagusnya tidak pernah terasa
merendahkan materi sumbernya. Bagi saya sebagai penonton dewasa yang kebetulan
pernah menyaksikan beberapa episode dari versi animasinya, ini lucu sekali dan juga cerdas.
Lebih-lebih, Isabela Moner juga menghadirkan performa yang menyihir sebagai
Dora. Saya menyukai energinya, keceriaannya, serta kepolosannya. Melihat dia
beraksi bersama Boots di dalam hutan, jelas menyenangkan. Tapi bagian terbaik
yang ditunjukkan oleh Moner beserta film adalah saat latar penceritaan membawa
si karakter tituler ke hutan rimba yang belum pernah dijamahnya: SMA. Sikap
optimistis Dora yang meresapi motto hidup “jadilah
diri sendiri” ini tampak ganjil bagi orang-orang di sekitarnya… dan
disitulah letak kesenangan film. Saya berani jamin, sulit untuk tidak jatuh
hati lalu berempati pada Moner yang menguarkan aura “mudah disukai”. Dia bahkan
bisa membuat aktivitas “buang hajat” yang kerap kali menjijikkan kala
dipergunakan sebagai toilet jokes
dalam film menjadi penuh kegembiraan sampai-sampai membuat saya tak kuasa untuk
ikut bersenandung seraya menyunggingkan senyum. Itulah mengapa begitu seorang
siswi ambisius berhati dingin, Sammy (Madeleine Madden), akhirnya luluh di
hadapan Dora, kita pun tidak dibuat heran olehnya. Dora memang semenyenangkan
itu dan Dora and the Lost City of Gold
juga semenyenangkan itu. Sensasi kebahagiaan yang dihadirkannya benar-benar
membuat saya ingin mengulangi kembali pengalaman menonton film ini. FUN! FUN!
FUN!
Makasih reviewnya. Jadi pengen nonton deh. Sering2 ya ngepost, suka bahasanya cinetariz
ReplyDeleteWah jadi tersapu sapu malu nih. Diusahakeun sering posting 🙏
Delete