“Some people believe, if we repeat stories often enough they become
real. They make us who we are. That can be scary.”
Sebelum disadur menjadi sebuah
tontonan seram untuk dikonsumsi di layar lebar, Scary Stories to Tell in the Dark lebih dulu dikenal sebagai buku
kumpulan cerita yang ditujukan bagi pembaca cilik. Bukan buku dongeng biasa,
tentu saja, mengingat buku ini dapat memberikan efek samping kepada kanak-kanak
berupa enggan mematikan lampu saat tidur, berulang kali mengintip dari balik
selimut sebelum memejamkan mata, meminta orang tua untuk mengecek kolong kasur,
sampai paling parah: mimpi buruk. Saking besarnya dampak yang diberikan oleh
buku rekaan Alvin Schwartz ini, tidak mengherankan jika kemudian sempat muncul
gelombang protes dari beberapa pihak yang menilai konten cerita buku ini kurang
layak dikonsumsi oleh bocah dibawah umur. Scary
Stories to Tell in the Dark yang terinspirasi dari cerita rakyat maupun
legenda urban ini memang menawarkan sederet kisah menyeramkan yang memiliki
nada penceritaan lebih “gelap nan kejam” ketimbang (katakanlah) Goosebumps. Bahkan, buku antologi
tersebut didukung pula oleh ilustrasi bernuansa disturbing goresan Stephen Gammell yang konon sering disebut-sebut
sebagai penyumbang teror sesungguhnya melebihi dongeng gubahan Schwartz (!).
Menarik, bukan? Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah versi
adaptasinya yang digarap oleh Andre Ovredal (Trollhunter, The Autopsy of
Jane Doe) mampu memberikan rasa ngeri serupa dengan materi sumbernya yang
fenomenal ini?
Melalui ekranisasinya, penonton dilempar jauh ke tahun 1968 tatkala Amerika Serikat tengah mengirimkan para pria yang memenuhi kualifikasi untuk bertempur di Vietnam seraya menghelat pemilihan presiden. Dari periode tersebut, kita meluncur semakin jauh ke sebuah kota kecil bernama Mill Valley yang terlihat seperti kota menenangkan dimana kita berjumpa dengan tiga sahabat; Stella (Zoe Colletti), Auggie (Gabriel Rush), dan Chuck (Austin Zajur), yang tergabung dalam kasta “pecundang”. Ketiganya berencana untuk melakukan aksi balas dendam kepada senior mereka yang dikenal sebagai penindas di malam Halloween. Rencana yang mulanya tereksekusi secara mulus nyatanya berubah menjadi blunder yang lantas mempertemukan tiga sahabat ini dengan seorang asing bernama Ramon (Michael Garza). Bersama dengan Ramon, Stella beserta konco-konconya menyambangi sebuah rumah tua terbengkalai yang dulunya dihuni keluarga kaya raya. Di sana, Ramon dan penonton menyadari bahwa kota ini menyimpan masa lalu kelam dalam bentuk pembunuhan anak-anak. Tersiar kabar, bocah-bocah malang tersebut meregang nyawa di tangan Sarah Bellows yang kerap memperdengarkan cerita-cerita seram. Cerita-cerita ini didokumentasikan ke sebuah buku yang kemudian diboyong pulang oleh si penggila horor, Stella, tanpa mengetahui bahwa buku yang dipegangnya bukanlah buku biasa dan mampu mendatangkan petaka kepada orang-orang di sekitarnya.
Melalui ekranisasinya, penonton dilempar jauh ke tahun 1968 tatkala Amerika Serikat tengah mengirimkan para pria yang memenuhi kualifikasi untuk bertempur di Vietnam seraya menghelat pemilihan presiden. Dari periode tersebut, kita meluncur semakin jauh ke sebuah kota kecil bernama Mill Valley yang terlihat seperti kota menenangkan dimana kita berjumpa dengan tiga sahabat; Stella (Zoe Colletti), Auggie (Gabriel Rush), dan Chuck (Austin Zajur), yang tergabung dalam kasta “pecundang”. Ketiganya berencana untuk melakukan aksi balas dendam kepada senior mereka yang dikenal sebagai penindas di malam Halloween. Rencana yang mulanya tereksekusi secara mulus nyatanya berubah menjadi blunder yang lantas mempertemukan tiga sahabat ini dengan seorang asing bernama Ramon (Michael Garza). Bersama dengan Ramon, Stella beserta konco-konconya menyambangi sebuah rumah tua terbengkalai yang dulunya dihuni keluarga kaya raya. Di sana, Ramon dan penonton menyadari bahwa kota ini menyimpan masa lalu kelam dalam bentuk pembunuhan anak-anak. Tersiar kabar, bocah-bocah malang tersebut meregang nyawa di tangan Sarah Bellows yang kerap memperdengarkan cerita-cerita seram. Cerita-cerita ini didokumentasikan ke sebuah buku yang kemudian diboyong pulang oleh si penggila horor, Stella, tanpa mengetahui bahwa buku yang dipegangnya bukanlah buku biasa dan mampu mendatangkan petaka kepada orang-orang di sekitarnya.
Hmmm… terdengar seperti Goosebumps
(2015) ya? Dan memang, Scary Stories to
Tell in the Dark mengaplikasikan template
cerita senada yang mengetengahkan pada “buku keramat” sebagai pembawa teror.
Buku tersebut tidak menyimpan monster, melainkan dapat sewaktu-waktu menuliskan
sebuah cerita (yes, tertulis
sendiri!) yang lantas terwujud menjadi kenyataan. Karakter-karakter apes dalam
film ini menemui ajalnya mengikuti cerita yang tertuang dalam buku. Mengingat
film ini adalah adaptasi, maka tentu saja kisah yang digoreskan dengan darah
tersebut dicuplik langsung dari materi sumbernya seperti Harold yang menghadirkan kengerian di ladang sawah, The Big Toe yang memantik keengganan pada
satu jenis makanan, The Red Spot yang
mengingatkan kita terhadap betapa menjengkelkannya jerawat, The Pale Lady yang membawa penonton ke
ruangan berwarna merah (lalu berjumpa dengan monster nggemesin yang bikin
mengucap uwuwuwu), Me Tie Dough-ty
Walker! yang memunculkan monster berwujud The Jangly Man, sampai The Haunted House sebagai pamungkas. Keenam
kisah ini mampu divisualisasikan secara solid
oleh Ovredal yang menempatkan daya cekam dalam level menengah menyesuaikan
dengan pangsa pasarnya yakni keluarga. Secara pribadi, saya menyukai Harold yang memunculkan atmosfer
mengusik kenyamanan sekaligus mempunyai konten teror paling mengganggu untuk
penonton cilik, The Big Toe yang
mendatangkan sensasi berdebar-debar selama menanti datangnya ‘penjemputan’,
serta Me Tie Dough-ty Walker! yang
berwujud body horror.
Disamping tiga segmen yang
memberikan ketegangan terbesar di sepanjang durasi tersebut, Scary Stories to Tell in the Dark mengalun
cenderung kurang stabil. Persoalannya terletak pada naskah bentukan Dan Hageman
beserta Kevin Hageman yang tidak memberikan kesempatan bagi para karakter untuk
tumbuh berkembang. Mereka adalah karakter-karakter tipikal berlabel “si kutu
buku”, “si lucu”, “si cantik”, dan sejenisnya, yang urung diberi karakteristik
maupun latar belakang berisi. Maka saat satu dua teror mendera, ketimbang
benar-benar peduli kepada nasib mereka, saya justru lebih sibuk bertanya-tanya:
apa keterkaitan teror dengan karakter tersebut? Terkadang saya memahaminya,
tapi tidak jarang pula terkesan acak. Ditambah performa kurang luwes dari
jajaran pemain utama, saya pun semakin terdistraksi dalam menyematkan simpati
pada karakter tertentu. Michael Garza terbilang kaku, Austin Zajur terlampau
mengganggu, sementara Zoe Colletti terkadang kelewat bersemangat yang membuat
karakter Stella menjadi menyebalkan (khususnya pada klimaks). Didera sederet
gangguan, untungnya Scary Stories to Tell
in the Dark masih sanggup tersaji sebagai tontonan seram yang mengasyikkan
berkat kecakapan sang sutradara dalam membangun kengerian seperti terbukti pada
tiga segmen favorit saya dan berkat desain para monster peneror yang imajinatif
menyerupai gambar rekaan Gammell. Setidaknya, film ini akan tetap menguarkan
‘mimpi buruk’ bagi penonton cilik meski daya cekamnya tidak sekuat materi
aslinya yang tergolong disturbing.
nyimak
ReplyDeleteNice
ReplyDelete