August 10, 2019

REVIEW : SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK


“Some people believe, if we repeat stories often enough they become real. They make us who we are. That can be scary.”

Sebelum disadur menjadi sebuah tontonan seram untuk dikonsumsi di layar lebar, Scary Stories to Tell in the Dark lebih dulu dikenal sebagai buku kumpulan cerita yang ditujukan bagi pembaca cilik. Bukan buku dongeng biasa, tentu saja, mengingat buku ini dapat memberikan efek samping kepada kanak-kanak berupa enggan mematikan lampu saat tidur, berulang kali mengintip dari balik selimut sebelum memejamkan mata, meminta orang tua untuk mengecek kolong kasur, sampai paling parah: mimpi buruk. Saking besarnya dampak yang diberikan oleh buku rekaan Alvin Schwartz ini, tidak mengherankan jika kemudian sempat muncul gelombang protes dari beberapa pihak yang menilai konten cerita buku ini kurang layak dikonsumsi oleh bocah dibawah umur. Scary Stories to Tell in the Dark yang terinspirasi dari cerita rakyat maupun legenda urban ini memang menawarkan sederet kisah menyeramkan yang memiliki nada penceritaan lebih “gelap nan kejam” ketimbang (katakanlah) Goosebumps. Bahkan, buku antologi tersebut didukung pula oleh ilustrasi bernuansa disturbing goresan Stephen Gammell yang konon sering disebut-sebut sebagai penyumbang teror sesungguhnya melebihi dongeng gubahan Schwartz (!). Menarik, bukan? Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah versi adaptasinya yang digarap oleh Andre Ovredal (Trollhunter, The Autopsy of Jane Doe) mampu memberikan rasa ngeri serupa dengan materi sumbernya yang fenomenal ini? 

Melalui ekranisasinya, penonton dilempar jauh ke tahun 1968 tatkala Amerika Serikat tengah mengirimkan para pria yang memenuhi kualifikasi untuk bertempur di Vietnam seraya menghelat pemilihan presiden. Dari periode tersebut, kita meluncur semakin jauh ke sebuah kota kecil bernama Mill Valley yang terlihat seperti kota menenangkan dimana kita berjumpa dengan tiga sahabat; Stella (Zoe Colletti), Auggie (Gabriel Rush), dan Chuck (Austin Zajur), yang tergabung dalam kasta “pecundang”. Ketiganya berencana untuk melakukan aksi balas dendam kepada senior mereka yang dikenal sebagai penindas di malam Halloween. Rencana yang mulanya tereksekusi secara mulus nyatanya berubah menjadi blunder yang lantas mempertemukan tiga sahabat ini dengan seorang asing bernama Ramon (Michael Garza). Bersama dengan Ramon, Stella beserta konco-konconya menyambangi sebuah rumah tua terbengkalai yang dulunya dihuni keluarga kaya raya. Di sana, Ramon dan penonton menyadari bahwa kota ini menyimpan masa lalu kelam dalam bentuk pembunuhan anak-anak. Tersiar kabar, bocah-bocah malang tersebut meregang nyawa di tangan Sarah Bellows yang kerap memperdengarkan cerita-cerita seram. Cerita-cerita ini didokumentasikan ke sebuah buku yang kemudian diboyong pulang oleh si penggila horor, Stella, tanpa mengetahui bahwa buku yang dipegangnya bukanlah buku biasa dan mampu mendatangkan petaka kepada orang-orang di sekitarnya.


Hmmm… terdengar seperti Goosebumps (2015) ya? Dan memang, Scary Stories to Tell in the Dark mengaplikasikan template cerita senada yang mengetengahkan pada “buku keramat” sebagai pembawa teror. Buku tersebut tidak menyimpan monster, melainkan dapat sewaktu-waktu menuliskan sebuah cerita (yes, tertulis sendiri!) yang lantas terwujud menjadi kenyataan. Karakter-karakter apes dalam film ini menemui ajalnya mengikuti cerita yang tertuang dalam buku. Mengingat film ini adalah adaptasi, maka tentu saja kisah yang digoreskan dengan darah tersebut dicuplik langsung dari materi sumbernya seperti Harold yang menghadirkan kengerian di ladang sawah, The Big Toe yang memantik keengganan pada satu jenis makanan, The Red Spot yang mengingatkan kita terhadap betapa menjengkelkannya jerawat, The Pale Lady yang membawa penonton ke ruangan berwarna merah (lalu berjumpa dengan monster nggemesin yang bikin mengucap uwuwuwu), Me Tie Dough-ty Walker! yang memunculkan monster berwujud The Jangly Man, sampai The Haunted House sebagai pamungkas. Keenam kisah ini mampu divisualisasikan secara solid oleh Ovredal yang menempatkan daya cekam dalam level menengah menyesuaikan dengan pangsa pasarnya yakni keluarga. Secara pribadi, saya menyukai Harold yang memunculkan atmosfer mengusik kenyamanan sekaligus mempunyai konten teror paling mengganggu untuk penonton cilik, The Big Toe yang mendatangkan sensasi berdebar-debar selama menanti datangnya ‘penjemputan’, serta Me Tie Dough-ty Walker! yang berwujud body horror.

Disamping tiga segmen yang memberikan ketegangan terbesar di sepanjang durasi tersebut, Scary Stories to Tell in the Dark mengalun cenderung kurang stabil. Persoalannya terletak pada naskah bentukan Dan Hageman beserta Kevin Hageman yang tidak memberikan kesempatan bagi para karakter untuk tumbuh berkembang. Mereka adalah karakter-karakter tipikal berlabel “si kutu buku”, “si lucu”, “si cantik”, dan sejenisnya, yang urung diberi karakteristik maupun latar belakang berisi. Maka saat satu dua teror mendera, ketimbang benar-benar peduli kepada nasib mereka, saya justru lebih sibuk bertanya-tanya: apa keterkaitan teror dengan karakter tersebut? Terkadang saya memahaminya, tapi tidak jarang pula terkesan acak. Ditambah performa kurang luwes dari jajaran pemain utama, saya pun semakin terdistraksi dalam menyematkan simpati pada karakter tertentu. Michael Garza terbilang kaku, Austin Zajur terlampau mengganggu, sementara Zoe Colletti terkadang kelewat bersemangat yang membuat karakter Stella menjadi menyebalkan (khususnya pada klimaks). Didera sederet gangguan, untungnya Scary Stories to Tell in the Dark masih sanggup tersaji sebagai tontonan seram yang mengasyikkan berkat kecakapan sang sutradara dalam membangun kengerian seperti terbukti pada tiga segmen favorit saya dan berkat desain para monster peneror yang imajinatif menyerupai gambar rekaan Gammell. Setidaknya, film ini akan tetap menguarkan ‘mimpi buruk’ bagi penonton cilik meski daya cekamnya tidak sekuat materi aslinya yang tergolong disturbing.

Acceptable (3/5)


2 comments:

Mobile Edition
By Blogger Touch