“Saya adalah orang Indonesia. Selamanya saya orang Indonesia.”
Siapa sih yang tidak mengenal
Susi Susanti? Menorehkan beragam prestasi di sepanjang karirnya, termasuk
mempersembahkan emas pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade Barcelona 1992,
namanya dicatat oleh sejarah sebagai salah satu figur penting dalam kancah
olahraga bulu tangkis. Tidak hanya dalam lingkup tanah air, tetapi juga dunia.
Dia adalah pahlawan gelanggang yang berjasa menyatukan Indonesia yang
terpecah-pecah jelang reformasi 1998, dan berjasa pula dalam mengobarkan rasa
nasionalisme yang timbul tenggelam akibat pemerintahan Orde Baru yang amat
menekan khususnya bagi keturunan Tionghoa seperti Susi. Sungguh mengagumkan,
bukan? Menilik segala pencapaian yang direngkuh oleh legenda hidup ini semenjak
dirinya memulai karir pada pertengahan era 1980-an sampai akhirnya memutuskan
untuk gantung raket di penghujung era 1990-an, maka tidak mengejutkan jika
kemudian ada sineas tanah air yang berinisiatif untuk mengangkat kisah hidupnya
ke layar lebar. Sim F yang sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara video
musik (karyanya mencakup “Menghapus
Jejakmu” milik Peterpan dan “Cinta
Pertama dan Terakhir” milik Sherina) dipercaya untuk mengejawantahkan sepak
terjang atlet asal Tasikmalaya tersebut melalui film biopik bertajuk Susi Susanti: Love All. Yang menarik,
alih-alih sebatas menyoroti jatuh bangun Susi dalam menapaki tangga karir, film
turut mengapungkan isu rasialisme yang memang mempunyai impak besar terhadap perjalanan
hidup serta karir Susi.
Guna menghantarkan kisah Susi
Susanti secara utuh, si pembuat film pun memulai narasi sedari pertengahan era
80-an tatkala sang protagonis masih berusia 14 tahun (Moira Tabina Zayn).
Tumbuh besar di Tasikmalaya, Susi sejatinya dipersiapkan oleh kedua orang
tuanya (Iszur Muchtar dan Dayu Wijanto) untuk menjadi seorang balerina. Tapi
setelah sang kakak kalah dalam sebuah pertandingan bulu tangkis dan
dipermalukan, Susi pun berang dan menantang balik si pemenang yang lantas
ditaklukkannya secara mudah. Ndilalah,
aksi Susi kala bermain badminton ini terpantau pencari bakat yang seketika
menawarinya beasiswa untuk berlatih di PB Jaya Raya. Berhubung ini adalah klub
besar yang sangat menjanjikan, maka tentu saja pihak keluarga tidak berpikir
ulang. Impian untuk menjadi balerina pun dipupuskan demi memberi kesempatan
bagi berkembangnya karir di dunia olahraga. Ketekunan, kegigihan, serta mental
baja yang dimiliki Susi terbukti ampuh dalam menghantarkannya menggenggam
banyak prestasi secara cepat. Usai memborong gelar juara dari kelas junior,
Susi (Laura Basuki) pun ditarik ke Pelatnas dimana dia mendapatkan tantangan
baru, kawan baru, sekaligus seorang kekasih, Alan Budikusuma (Dion Wiyoko).
Dibawah gemblengan Liang Chiu Sia (Jenny Chang) yang dikenal disiplin, Susi
dipersiapkan oleh negara sebagai ujung tombak bagi dunia bulu tangkis Indonesia
di kancah internasional. Mempunyai mental dan gaya bermain yang mengagumkan,
tidak sulit bagi Susi untuk memenuhi pengharapan orang-orang di belakangnya. Jika
ada satu hal yang menghalanginya untuk berkembang lebih jauh, maka itu adalah
kenyataan bahwa pemerintah masih belum memberi kepastian mengenai status
kewarganegaraannya sekalipun Susi telah mempersembahkan banyak medali bagi
Indonesia.
Sebagai sebuah film yang
menempatkan dirinya di ranah biopik-olahraga, Susi Susanti: Love All terbilang cukup memuaskan. Sedari menit
pembuka, si pembuat film telah merebut atensi penonton melalui sebuah adegan
pembuka yang mengasyikkan dimana kita menyaksikan Susi remaja dalam balutan
busana balerina memutuskan untuk turun ke lapangan guna membungkam mulut
tetangganya yang kelewat besar. Ada setitik ketegangan, ada sejumput humor, dan
ada pula setumpuk informasi yang coba dihaturkan di sini. Dalam kurun waktu
singkat, penonton bisa mengetahui bahwa ibu Susi berdagang bakpao, sang ayah
dulunya seorang atlet yang sempat berlaga di PON, dan Susi yang cenderung
tomboy mempunyai bakat lain dalam seni tari balet yang membantunya untuk
melakukan split di lapangan. Selama beberapa
menit selanjutnya, kita pun turut menyadari bahwa si karakter tituler mempunyai
relasi hangat dengan sang ayah yang merupakan sosok penting dalam membentuk
karakternya. Dari beliau, Susi kerap memperoleh wejangan-wejangan guna
menghadapi beragam emosi yang menghadangnya untuk bertumbuh, dan dari beliau
juga, Susi dapat memahami makna sesungguhnya dari setiap pertandingan yang
dilaluinya. Istilah love all yang
sejatinya merujuk pada skor 0-0 sebelum pertandingan dimulai, dikembangkan
sebagai suatu filosofi untuk menebarkan cinta pada bulu tangkis. Alih-alih
sekadar menerapkan prinsip “berlatih
bertarung menang” yang berpotensi mengubah seorang atlet menjadi sosok
ambisius yang tidak sehat secara mental, love
all mendorong Susi untuk berkembang menjadi sosok yang lebih nerimo sehingga dia dapat menikmati
setiap proses yang dilaluinya yang berguna dalam memperkuat mentalnya.
Berkat momen-momen kebersamaan
antara Susi dengan ayahnya ini, Susi
Susanti: Love All berksempatan untuk memberikan sensasi rasa hangat di hati
para penonton. Kita ikut tersenyum, kita ikut merasakan ketenangan, dan kita pun
ikut menyeka air mata. Saat sosok ayah absen sejenak guna mempersilahkan
figur-figur lain masuk ke dalam kehidupan Susi, penonton bisa mendeteksi
sensasi rasa jenaka serta manis. Jenaka muncul dari interaksi sang protagonis
dengan rekan-rekannya di klub/Pelatnas khususnya Sarwendah (Kelly Tandiono)
yang kerap menggoda sifat polos Susi, sementara manis timbul dari hubungan yang
terbentuk antara Susi dengan Alan. Chemistry
sedap dari Laura Basuki-Dion Wiyoko yang telah teruji sedari Terbang: Menembus Langit (2018) memungkinkan
setiap adegan yang menautkan dua sejoli tersebut membuat penonton merasa gemas
sekaligus ikut merasa salah tingkah. Kita bisa meyakini bahwa mereka saling
kesengsem, kita bisa meyakini bahwa mereka memadu kasih, dan ketika hubungan
keduanya diuji, kita pun terbawa emosi. Tak peduli seberapa tahu kamu mengenai
kehidupan pribadi mereka, tetap saja ada rasa gregetan saat konflik mulai
mengemuka. Persis seperti ketika film turut mengajak penonton turun ke gelanggang.
Rekonstruksi pertandingan bulu tangkis sanggup divisualisasikan oleh Sim F
dengan tingkat kegentingan yang cukup, khususnya Sudirman Cup 1989 yang membuat
diri ini ikutan deg-deg serrr sekalipun telah mengetahui persis seperi apa hasilnya.
Memang betul intensitas dalam setiap match
kian menurun seiring berjalannya durasi terutama pada bagian Olimpiade 1992
yang semestinya menjadi gong bagi film, dan menit-menit penghujung melaju
terlampau bergegas seolah ingin cepat-cepat tutup durasi sampai membuat adegan
penutup urung mencapai klimaks. Namun sulit untuk menyangkal bahwa Susi Susanti: Love All adalah gelaran
yang solid.
Saya menyukai penggunaan color grading beserta kinerja departemen artistik untuk menegaskan latar waktu. Saya juga menyukai pilihan film ini untuk tidak semata-mata menekankan pada aspek perjuangan Susi di arena yang nyaris
tanpa cela, tetapi juga ikut mengupas isu rasialisme yang memang terpampang
nyata di era Orde Baru bahkan juga sekarang (!). Melalui tukar dialog antar
karakter, melalui satu dua adegan yang diwarnai perdebatan, penonton dibuat
menyadari bahwa negara ini pernah (dan masih) enggan memanusiakan etnis lain.
Keluarga Susi kesulitan mendapatkan surat kewarganegaraan yang resmi, begitu
juga dengan para pelatih yang dijanjikan akan memperoleh kejelasan status
sebagai WNI. Nasib mereka terus terombang-ambing meski telah mendatangkan
banyak medali bagi negara. Dari sini, pihak pembuat film turut memberikan
pengingat kepada penonton mengenai nasib atlet Indonesia di masa itu yang
sungguh ironis: mereka dielu-elukan kala bertanding, tapi terlupakan pasca
turun dari podium. Sebuah dialog di meja makan yang membahas topik ini membuat
mata berkaca-kaca seraya mengundang tanya, “sudahkan
pemerintah (dan kita) menghargai perjuangan para pahlawan gelanggang? Atau masih
memperlakukan mereka seenaknya seolah perjuangan mereka tak ada arti?.” Tanya
itu tentu perlu untuk direnungkan seraya diberi solusi. Satu hal yang jelas, Susi Susanti: Love All telah menjalankan
tugasnya dengan baik sebagai film biopik olahraga. Film ini mempermainkan
emosi, informatif, membuka mata, menggugah semangat, sekaligus membuat kita
bersyukur bahwa perfilman Indonesia memiliki seorang aktris berbakat bernama
Laura Basuki. Performanya sebagai sang legenda bulu tangkis adalah akting
terbaik yang pernah dipersembahkannya di sepanjang karir.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Saya berharap adegan Susi menitikkan air mata saat podium olimpiade digarap dengan lebih grande..
ReplyDeleteDi 20 menit akhir itu cukup banyak sih adegan potensial seperti pernikahan dan tutup lemari. Tapi karena ngebut, jadi berasa lewat aja termasuk saat Susi berada di podium olimpiade itu. Sayang banget emang.
Deletebandar judi online
ReplyDeletesitus judi online
situs togel online
togel online terpercaya
bandar togel terpercaya