January 18, 2020

REVIEW : DOLITTLE


“It’s okay to be scared.”

Saat memperbincangkan ihwal dokter bernama Dolittle yang memiliki kapabilitas berbincang dengan hewan, ingatan sebagian besar dari kita mungkin langsung melayang ke film komedi bertajuk Dr. Dolittle (1998) yang dibintangi oleh Eddie Murphy. Maklum, selain cukup sering wara-wiri di televisi, film yang berlanjut sampai seri ketiga ini pun mempunyai kandungan hiburan mencukupi untuk ditonton beramai-ramai bersama keluarga. Tapi jika berkenan buat menelusuri sejarahnya lebih lanjut, dongeng Pak Dolittle ini sejatinya telah mencuat sedari tahun 1920-an berkat serangkaian buku kanak-kanak yang dicetuskan oleh Hugh Lofting. Popularitasnya yang melintasi zaman, membuat dongeng tersebut kerap menjadi incaran para pelaku di industri hiburan sehingga tak mengherankan versi adaptasinya dalam beragam format pun terus dibuat. Upaya terbaru untuk melestarikan cerita ini seraya memperkenalkannya kepada generasi penerus masa kini (…dan tentunya memanfaatkannya guna meraup keuntungan sebesar-besarnya) berasal dari Universal Pictures dengan titel Dolittle. Berbeda dengan interpretasi di tahun 1998 yang cenderung lebih bebas lepas, film berjudul awal The Voyage of Doctor Dolittle ini mencoba untuk lebih patuh kepada materi sumbernya dengan tak saja menghadirkan karakter-karakter yang sudah dikenal baik oleh para pembaca bukunya, tetapi juga melempar penonton jauh ke Era Victoria alih-alih memodifikasinya menggunakan latar pengisahan modern.

Dalam Dolittle, kita dipertemukan dengan Dr. John Dolittle (Robert Downey Jr.) yang tengah dirundung duka selepas sang istri tercinta menghadap ke Yang Maha Satu dalam satu perjalanan maut. Penyesalan yang teramat besar lantaran telah mengizinkan istrinya pergi sendirian dan ketidakmampuan dalam berdamai dengan kehilangan, membuat Dolittle memutuskan untuk mengasingkan diri dari peradaban luar. Dia menanggalkan profesinya dengan menutup tempat prakteknya, dia enggan bersosialisasi, dan dia lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan bercengkrama bersama hewan-hewan asuhannya di rumahnya. Selama bertahun-tahun memutus rantai komunikasi dengan manusia, Dolittle akhirnya terpaksa menampakkan diri lagi di hadapan masyarakat usai dua bocah dengan kepentingan berbeda tiba-tiba menyelinap masuk ke rumahnya. Bocah pertama, Tommy Stubbins (Harry Collett) meminta Dolittle untuk mempersilahkannya magang di tempatnya, sementara bocah kedua, Lady Rose (Carmel Laniado), menyampaikan pesan dari Ratu Victoria (Jessie Buckley) yang sedang sekarat. Pesan tersebut mengharuskan Dolittle untuk memeriksa sang ratu, dan jika dia menolak, kediamannya akan disita. Tak ingin kehilangan rumah, dokter yang sanggup berkomunikasi dengan hewan ini pun mengunjungi Ratu Victoria dimana dia seketika menyadari bahwa hanya ada satu tanaman yang bisa benar-benar menyembuhkan sang ratu. Ditemani Tommy beserta sahabat-sahabat hewannya, Dolittle lantas menempuh perjalanan panjang mengarungi samudra luas guna menemukan tanaman ajaib tersebut.


Diatas kertas, Dolittle tampak seperti produk hiburan untuk seluruh keluarga yang mengasyikkan. Ada petualangan besar untuk mencari benda magis di pulau mistis, ada hewan-hewan yang bisa bersenda gurau menggunakan bahasa manusia, dan ada Robert Downey Jr. memerankan karakter eksentrik yang belakangan menjadi keahliannya semacam Tony Stark maupun Sherlock Holmes. Namun saat mendengar fakta bahwa film ini mendapat respon buruk dari penonton dalam test screening sehingga memaksa pihak studio untuk merekrut sutradara baru demi mengeksekusi pengambilan gambar ulang selama tiga pekan, saya tahu bahwa saya tidak semestinya menaruh ekspektasi tinggi terhadap film ini. Yang kemudian membuat diri luar biasa terkejut, menekan pengharapan serendah-rendahnya untuk Dolittle pun tidak lantas berbuah manis. Saya tetap saja berujar, “kenapa tadi mesti maksain buat nonton film ini sih?”, berulang-ulang kali di sepanjang durasi karena terserang rasa jenuh yang mencapai stadium akhir. Tidak ada kesenangan, tidak ada kebahagiaan, dan tentunya, tidak ada kepuasan. Satu-satunya penghiburan selama menonton Dolittle adalah melihat para penonton cilik menunjukkan reaksi-reaksi heboh nan menggemaskan kala menyaksikan para binatang beraksi. Saking hebohnya, saya sampai iri ingin kembali ke masa kanak-kanak yang penuh dengan kepolosan sehingga perasaan tidak terus menerus sambat dan mumet setiap kali ada yang urung bekerja secara semestinya. Entah itu berasal dari narasi yang menjemukan, akting pemain yang tak bertenaga, maupun efek khusus yang terbilang kurang halus untuk ukuran film berbiaya 175 juta dollar.

Menilik premisnya, maka terasa ironis saat Dolittle yang diorkestrai oleh Stephen Gaghan (Syriana, Gold) ini berjalan secara lempeng-lempeng saja. Tidak ada sedikitpun gairah untuk mengikuti petualangan membingungkan yang dijalani Dolittle sehingga menahan kantuk menjadi suatu perjuangan tersendiri. Tunggu, tunggu, membingungkan? Ya, film ini mempunyai banyak sekali informasi seperti rencana pembunuhan terhadap Ratu Victoria, tanaman ajaib penyembuh segala penyakit, sampai mertua “gangster”, tapi kesemuanya hanya dijelaskan seiprit-seiprit tanpa ada upaya untuk memenuhi 5W1H (what-why-when-who-where-how). Yang penting tampak heboh, yang penting terlihat bombastis, yang penting penonton cilik girang. Penonton dewasa? “Hah, tidak penting. Kalian kan datang cuma untuk menemani krucil-krucil itu,” mungkin begitulah pemikiran si pembuat film. Ditambah adanya penyuntingan yang acapkali melompat-lompat bak tupai kegirangan beserta pengisian suara yang kerap terdengar tidak pada tempatnya, tentu tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Robert Downey Jr. yang tadinya saya harapkan dapat menjadi penyelamat dari kebosanan tak berujung ini pun seperti enggan berada di film ini. Performanya lebih ke “ya udahlah ya, yang penting gue udah akting” ketimbang benar-benar menjelma sebagai si karakter tituler. Terasa begitu malas, terasa begitu lemas, layaknya laju pengisahan yang diaplikasikan oleh Gaghan. Jika ada yang terasa sedikit berenergi, maka itu adalah para dubber kenamaan yang meliputi Emma Thompson, Rami Malek, John Cena, Kumail Nanjiani, Octavia Spencer, Tom Holland, Ralph Fiennes, Selena Gomez, sampai Marion Cotillard. Hanya saja, mereka dibekali naskah tak mumpuni yang urung menguatkan masing-masing karakter dan berisi humor teramat garing sehingga saya bisa meyakini tak akan ada yang mengenali bedanya andaikan mereka diganti oleh bintang-bintang kurang dikenal.

Sungguh hamba ingin menenggak paracetamol sehabis nonton film ini~~~

Poor (2/5)



4 comments:

Mobile Edition
By Blogger Touch