February 11, 2020

REVIEW : BIRDS OF PREY


“Psychologically speaking, vengeance rarely brings the catharsis we hope for.”

Meski dihajar sampai babak belur oleh para kritikus jelang perilisannya, perolehan Suicide Squad (2016) di tangga box office sama sekali tak tergoyahkan. Masih sanggup mencetak angka sebesar $746 juta dari peredaran seluruh dunia yang seketika memosisikannya sebagai salah satu instalmen tersukses dalam DC Extended Universe (DCEU). Impresif, bukan? Dan jika kita memperbincangkan tentang kata “impresif” serta keterkaitannya dengan film tersebut diluar faktor pundi-pundi, maka itu membawa kita pada performa Margot Robbie sebagai Harley Quinn alias kekasih Joker (Jared Leto) yang hiperaktif. Peraih dua nominasi Oscars ini adalah salah satu dari sedikit alasan yang menyelamatkan “komplotan bunuh diri” dari keterpurukan yang lebih dalam. Dia bermain dengan penuh energi, karakternya ndilalah juga menarik, dan pihak Warner Bros. pun seketika punya ide gila: memberinya sebuah film solo. Well, secara teknis bukan “konser tunggal” sih lantaran terdapat pula beberapa karakter lain yang turut memanggul peran krusial seperti halnya Suicide Squad. Hanya saja, melalui sajian bertajuk panjang sekali Birds of Prey (and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn), Mbak Harley mempunyai kuasa lebih untuk mengomandoi narasi tanpa harus mengekor di belakang Joker. Dalam film ini, dia tidak saja mendapat jatah tampil lebih banyak, tetapi juga diposisikan sebagai sentral penceritaan dimana secara tidak langsung dia adalah pemimpin dari sebuah tim berisikan jagoan-jagoan perempuan.

Mengambil latar penceritaan beberapa saat selepas Suicide Squad, Birds of Prey menginformasikan kepada penonton bahwa Harley Quinn telah mengubah status hubungannya dari semula “berpacaran dengan Joker” menjadi “lajang”. Tentu, ini bukan berdasarkan keputusan Harley. Terlebih, dia mengantongi setumpuk keistimewaan selama menjadi kekasih Joker seperti bebas melakukan tindak kriminal tanpa harus khawatir akan menjadi incaran penegak hukum maupun para penjahat gila lain. Yang mengakhiri hubungan mereka berdua adalah Joker yang menganggap mantannya ini tak lagi berguna. Selama kurun waktu tertentu, Harley yang mengalami patah hati pun terpuruk sejadi-jadinya sampai seorang pemilik restoran Cina dan seekor Hyena membantunya pulih. Demi menapaki fase baru seraya mengenyahkan segala memori bersama sang mantan, Harley pun meledakkan sebuah pabrik kimia dimana cintanya dengan Abang Joker bersemi. Dari peledakkan pabrik tersebut, protagonis kita ini secara tersirat turut memberikan pernyataan resmi kepada dunia bahwa dia bukan lagi kekasih Joker. Alhasil, pihak-pihak yang semula meredam kebencian kepadanya seketika menempatkannya sebagai buronan kelas satu termasuk penjahat berbahaya di kota Gotham, Roman Sionis (Ewan McGregor). Guna menyelamatkan diri, Harley pun mesti membuat perjanjian dengan Roman yakni membantunya mengambil alih berlian Bertinelli yang dicuri oleh pencopet remaja bernama Cassandra Cain (Ella Jay Basco). Sekilas lalu, tugas ini tampak mudah saja mengingat Cassandra bukanlah pencopet kelas kakap. Namun ketika Roman mengerahkan para pembunuh bayaran dari berbagai penjuru untuk ikut memburu Cassandra, keadaan lantas berubah menjadi pelik dan runyam.


Selama kurang lebih setengah jam pertama, Birds of Prey menyanggupi untuk terhidang sebagai suatu sajian eskapis yang mengasyikkan. Serentetan humor yang sedikit ditaburi dengan referensi ke budaya populer mengenai sasaran, elemen laganya yang mencakup baku hantam ampuh menggenjot adrenalin, dan tampilan visualnya yang penuh warna pun memanjakan mata. Ditunjang pula oleh lakon hidup dari Margot Robbie yang sekali ini tampak lebih lepas, nyaman, sekaligus menggila dalam memainkan Harley Quinn ketimbang sebelumnya, sukar untuk mengenyahkan kata “menghibur” dari benak. Jujur, untuk sesaat saya sempat mengira tengah menyaksikan salah satu produk terbaik dalam DCEU. Gaya bernarasinya yang non-linear atau cenderung acak mengikuti jalan pemikiran dari si karakter utama yang cenderung semau gue pun mesti diakui cukup mengikat. Menambat atensi untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, lalu menggugah pula keingintahuan dibalik beberapa cerita yang acapkali sengaja dibiarkan “bolong” demi membangun pertanyaan “apa yang sesungguhnya terjadi di sini?”. Faktor lain yang menyebabkan film terasa berbeda adalah adanya gagasan untuk menyelipkan isu pemberdayaan perempuan dengan menghadirkan karakter-karakter perempuan jagoan yang berupaya memberi perlawanan terhadap kaum pria penindas, dan gagasan ini diimplementasikan ke penceritaan yang tidak ceriwis. Ketimbang menyesakinya dengan pesan menguatkan berapi-api yang malah bikin telinga panas, Cathy Yan selaku sutradara justru tetap patuh pada rumus pembentuk tontonan hiburan berbasis superhero.

Dia melantunkan “para burung pemangsa” ini dengan penuh gegap gempita dan kesadaran bahwa film ini memang mengusung konten konyol selaiknya (katakanlah) Deadpool. Apalagi Mbak Harley juga tidak segan-segan untuk menjalankan setiap aksinya dengan tingkah hiperaktif yang terlalu sulit untuk ditanggapi serius. Hingga sosok Dinah Lance alias Black Canary (Jurnee Smollett-Bell) yang mempunyai kemampuan mahadahsyat dari suaranya mulai aktif memasuki arena penceritaan, Birds of Prey sejatinya masih nikmat untuk disantap. Namun saat Helena (Mary Elizabeth Winstead) ikut memeriahkan narasi, ditambah lagi kehadiran detektif perempuan, Renee Montoya (Rosie Perez), yang belakangan semakin getol memburu Harley, film secara perlahan-lahan kehilangan daya gregetnya. Pemicunya, adanya rasa lelah dalam mengikuti pengisahan bercabang-cabang yang dimunculkan demi memberi latar belakang bagi setiap personil. Tidak saja terlalu banyak untuk ukuran satu film, tetapi juga terlalu panjang sampai-sampai mereduksi porsi dua karakter paling menarik di film: Harley si jagoan dadakan beserta Roman yang sempat digadang-gadang sebagai sosok keji yang mengintimidasi. Alhasil, penonton tidak mengikuti transformasi Roman menjadi Black Mask yang bengis secara utuh dan tidak pula melihat Harley membentuk ikatan kimiawi meyakinkan bersama Cassandra. Yang juga turut terseret sebagai korban adalah babak pamungkasnya yang urung klimaks. Menghabiskan banyak porsi penceritaan untuk menjabarkan siapa si anu, siapa si inu, Birds of Prey malah kekurangan kuota durasi untuk menghadirkan konfrontasi puncak antara Black Mask dengan Harley beserta pasukannya. Tidak ada intensitas yang menjulang.


Segalanya berlangsung terlalu cepat sampai-sampai diri ini tak sempat melihat adanya chemistry diantara para jagoan yang semestinya mendorong hamba berseru, “kalian pasti bisa, gals!,” dan diri ini pun dibuat kebingungan oleh kekuatan sesungguhnya yang dipunyai oleh si antagonis utama. Adegan kejar-kejarannya memang berlangsung seru, walau tak cukup untuk mengompensasi apa yang terjadi seusainya yang seketika membuat saya mencapai pada satu kesimpulan bahwa Birds of Prey bukanlah salah satu karya terbaik DCEU – meski tetap saja ini jauh lebih mendingan ketimbang Suicide Squad. Singkatnya sih, menghibur tapi tidak akan mengendap lama di ingatan.  

Acceptable (3/5)

2 comments:

Mobile Edition
By Blogger Touch