February 4, 2020

REVIEW : TEMEN KONDANGAN


“Kamu itu nggak pernah mikirin kata aku atau diri kamu sendiri. Tapi orang lain.”

Sebagai seseorang yang sering kemana-mana sendiri, bagi saya menghadiri sebuah resepsi pernikahan tanpa gandengan bukanlah suatu persoalan yang mesti dikhawatirkan. Entah itu kondangannya teman baik atau mantan sekalipun. Tapi ternyata, “dateng ke nikahannya mantan” bisa menjadi masalah pelik khususnya bagi kaum hawa yang belum dianugerahi pasangan. Saking bermasalahnya, sampai-sampai terbit satu golden rule berbunyi: jangan datang sendirian. Sebuah aturan yang tadinya sempat hamba kira sebagai guyonan belaka untuk menggerakkan narasi film terbaru MNC Pictures, Temen Kondangan, sampai kemudian dua orang kawan dari medium berbeda (maksudnya, dunia maya dan dunia nyata gituuu…) mengungkapkan keresahan yang pernah dialaminya. Keresahan tersebut bermula usai dia mendapatkan undangan kawinan dari sang mantan, sementara pada saat itu dia masih menyandang status jomlo. Meski teman ngobrol saya ini sempat kepikiran untuk mengajak teman lelakinya sebagai gandengan, belakangan dia tak berkeberatan untuk datang sendiri bersama rombongan dari teman-teman sepermainannya dulu. Sungguh sebuah cerita menggelitik yang sedikit banyak menyadarkan saya bahwa pergulatan batin yang dihadapi oleh karakter utama dalam Temen Kondangan memang nyata adanya terutama bagi mereka yang kerap menganggap penting omongan orang.

Dalam Temen Kondangan, karakter yang dirundung keresahan tersebut bernama Putri (Prisia Nasution). Untuk mereka yang hidupnya tak bergantung pada pandangan netizen, mendatangi kondangan mantan seorang diri atau malah memilih untuk tidak mendatanginya tentu bukan menjadi soal. Namun bagi Putri yang terhitung sebagai influencer kenamaan di Instagram dimana warganet punya pengaruh besar terhadap hidupnya, datang ke kondangan sang mantan, Dheni (Samuel Rizal), tanpa gandengan adalah sebuah masalah pelik. Beberapa orang mungkin akan bilang, “yaudah sih ngga usah dateng” atau “halah, nggak perlu diunggah di IG deh kalau kayak gitu,” seperti disarankan oleh asistennya, Sari (Chika Waode). Tapi dua hal yang membuat Putri tidak bisa serta merta mengelak adalah: 1) dia sudah berjanji untuk menerima tantangan teman-teman sepergaulannya dengan hadir di nikahan Dheni bersama pasangan sebagai bukti bahwa dia sudah move-on, dan 2) nikahan Dheni digadang-digadang sebagai salah satu pernikahan terbesar tahun ini karena kedua orang tua mempelai merupakan pengusaha besar yang cukup berpengaruh. Sebagai solusi atas permasalahannya, Putri pun mengajak teman semasa SMA-nya, Yusuf (Reza Nangin), yang tanpa sengaja ditemuinya untuk menemaninya. Untuk sesaat, Yusuf tampak seperti solusi bagi si karakter utama hingga dua pria lain, Galih (Gading Marten) dan Juna (Kevin Julio), mendadak hadir di resepsi pernikahan Dheni dengan mengaku sebagai pendamping Putri. Nah lho!


Pun begitu, identitas dari dua karakter laki-laki ini tidak pernah diniatkan sebagai twist bagi Temen Kondangan karena penonton telah mengetahui siapa mereka sedari awal. Galih adalah atasan Putri yang sempat menggodanya dengan mengatakan bersedia untuk menemaninya ke kondangan, sementara Juna adalah sepupu Sari yang tadinya disewa oleh Putri tapi tak kunjung memberikan respon ketika dihubungi. Dua karakter ini, berikut dengan Yusuf, nyatanya menghadirkan persoalan tambahan bagi sang protagonis karena ternyata mereka memendam agenda sendiri-sendiri. Melalui karakter-karakter inilah, film lantas memanen kelucuannya. Jenis kelucuan yang boleh jadi tidak berlaku untuk semua orang karena Temen Kondangan ternyata berniat mendefinisikan kata “rusuh” di tagline secara harfiah. Guna menciptakan kesan rusuh nan heboh inilah, film arahan Iip S Hanan (sebelumnya menggarap sinetron Tukang Ojek Pengkolan) ini pun tidak malu-malu untuk mengandalkan banyolan-banyolan nyeleneh semacam “tarian Ular Berbisa” guna memantik gelak tawa. Tak jarang diantaranya memang urung mengenai sasarannya, lalu berakhir garing. Tapi saat sanggup mengenai target, saya yang tidak pernah keberatan disuguhi humor receh ini pun dibuat terbahak-bahak olehnya. Entah sumbernya dari interaksi serba canggung antar karakter yang didesain mempunyai perangai luar biasa ajaib, atau situasi-situasi yang tidak berjalan semestinya akibat ulah tak berkesudahan satu dua karakter yang enggan duduk manis seraya menyantap hidangan dari katering.

Berhubung film tampaknya diniatkan untuk semata-mata tampil seheboh dan serusuh mungkin, narasi gubahan duo penulis skenario Rino Sarjono dan Fauzan Adisuko pun memilih untuk tidak menyediakan banyak ruang bagi tumbuh kembangnya karakter dan konflik. Bahkan, bentuk keresahan manusia modern seperti omongan orang yang nyelekit, ketergantungan pada media sosial, sampai ketidaksanggupan untuk mengikhlaskan yang sempat disentil beberapa kali (dan sejatinya menggigit pula!) pun tak diulas lebih mendalam. Sebuah pilihan yang menghadirkan problematika tersendiri bagi Temen Kondangan khususnya begitu film menginjak pertengahan durasi. Mengambil latar penceritaan nyaris sepenuhnya di gedung resepsi dalam kurun waktu beberapa jam saja, maka sudah barang tentu membutuhkan naskah beserta penceritaan yang amat kokoh agar film berlangsung lancar tanpa ada momen “dipertanyakan”. Temen Kondangan sayangnya tak disertai oleh dua komponen tersebut sehingga ada kalanya saya merasa jalinan pengisahan di film ini berputar-putar dan cenderung jalan di tempat hingga sempat memunculkan celetukan, “lalu mau dibawa kemana selepas ini?”. Dalam upaya menuntaskan kendala yang merundung pengisahan, film justru memunculkan cabang-cabang konflik untuk karakter pendukung yang kurang krusial dan justru berdampak pada meredupnya fokus terhadap Putri yang notabene tokoh utama. Kita memang melihat dia berubah ke arah lebih baik, tapi proses perubahannya ini tak dikedepankan secara mendetil padahal saya pribadi (dan mungkin penonton lain) berharap bisa mengikuti transformasinya mengingat sebagai karakter pun dia sejatinya mudah untuk disukai.


Untungnya, sekalipun bermasalah di sektor narasi, Temen Kondangan ditopang pula oleh pemain ansambel yang solid. Kerelaan para pelakon untuk tampil gila-gilaan menjadi satu alasan mengapa film masih mampu terhidang sebagai sebuah sajian yang sangat mengasyikkan dan nikmat buat disantap. Berada di garda terdepan, Prisia Nasution melakukan “penebusan dosa” usai terjebak di film-film kelas B yang meredam potensinya dengan mempertontonkan keahliannya berolah peran sekaligus ngelaba. Di tangannya, karakter Putri yang bisa tampak menyebalkan dalam interpretasi kurang tepat malah terlihat menyenangkan untuk diajak berkawan. Kesan bersahabatnya menguar kuat dengan celetukan-celetukan yang acapkali membuat hamba tergelak berkat comic timing mengagumkan. Istimewanya lagi, Prisia pun bersedia memberikan effort lebih untuk peran sereceh ini dengan menggunakan dialog Bahasa Sunda (yang menurut dia, sama sekali tidak dipahaminya), alih-alih sebatas menjumput dialeknya. Sebuah usaha yang jarang-jarang dilakukan oleh aktris tanah air, khususnya dalam genre yang sejatinya tidak memerlukan akurasi berbahasa. Selain Prisia, Temen Kondangan turut terbantu oleh performa Gading Marten yang memang selalu bisa diandalkan untuk menghidupkan peran komedik, Reza Nangin yang lucu dalam kenelangsaannya sebagai personil band tak dianggap, Kevin Julio yang kegenitannya sebagai playboy bikin geli, Imelda Therinne yang memberi sedikit sentuhan dramatik, sampai Olivia Jensen dalam comeback yang apik sebagai manten yang terbakar api cemburu. Jajaran pemain ini tahu betul bagaimana caranya menciptakan kerusuhan melalui tindak tanduk lebay tanpa harus membuatnya terlihat menjengkelkan dan tetap bisa memantik gelak tawa. 

Acceptable (3/5)          

1 comment:

Mobile Edition
By Blogger Touch