“He’s made a friend.”
Sejujurnya, hamba terkejut saat
mengetahui tontonan seram The Boy
(2016) dibuatin film kelanjutan bertajuk Brahms:
The Boy II. Memang betul bahwa filmnya masih mereguk untung, tapi
rasa-rasanya permintaan publik tak sebesar itu dan jalinan pengisahannya
sendiri tak lagi menyimpan kejutan. Maksud saya, jilid pertamanya menarik
perhatian berkat ambiguitas sosok Brahms si boneka porselen sehingga selama
durasi mengalun penonton pun selalu dirundung tanya, “betulkah dia betul-betul melancarkan aksi jahat itu seorang diri?
Betulkah dia boneka iblis semacam Chucky atau Annabelle?”. Adanya misteri
yang melingkungi pada babak awal membuat film tak saja membetot atensi, tetapi
juga menciptakan intensitas. Tak jarang saya dibuat berdebar-debar tiap kali si
antagonis berulah sehingga secara otomatis mengundang kewaspadaan dan membentuk
kecurigaan. Untuk sesaat, saya tampak sedang disuguhi sajian horor yang unik
nan mengesankan sampai film menghamparkan babak pengungkapan yang mendadak
mengubah warna penceritaan menjadi thriller
alih-alih horor. Tanpa basa-basi lagi, segala daya tariknya langsung ambyar dan
narasi pun menjadi teramat sangat generik. Memupuskan segala pesona yang telah
dipancarkannya sedari awal. Itulah mengapa begitu Brahms: The Boy II dicanangkan, saya dibuat bertanya-tanya. Apa
lagi yang hendak dicelotehkan sementara penonton telah mengetahui bahwa si
boneka porselen ternyata bukanlah makhluk supranatural? Bukankah itu membuatnya
tak lagi unik?
Well, what do I know? William Brent Bell selaku sutradara dan
Stacey Menear selaku penulis (keduanya juga menduduki posisi sama di film
pertama) tampaknya sudah mengetahui akan membawa Brahms: The Boy II ke arah mana. Kali ini, penonton dipertemukan
dengan satu keluarga kecil yang tengah menghabiskan waktu di sebuah pondok tamu
milik keluarga Heelshire – pemilik Brahms di film pertama. Mereka adalah suami
istri, Liza (Katie Holmes) dan Sean (Owain Yeoman), beserta si putra tunggal,
Jude (Christopher Convery). Tujuan kedatangan keluarga ini adalah untuk
memulihkan Liza dan Jude dari trauma berkepanjangan selepas insiden perampokan
yang nyaris menewaskan sang ibu pada suatu malam. Akibat peristiwa ini, Liza
kerap dihantui mimpi-mimpi buruk tiap malam sementara Jude sama sekali enggan
berkomunikasi secara verbal dengan siapapun. Padahal, Jude sebelumnya dikenal
sebagai bocah dengan pembawaan yang ceria. Ingin kesayangan-kesayangannya ini
kembali beraktifitas seperti biasa, Sean pun membawa mereka ke pondok Heelshire
dimana Jude menemukan Brahms yang terkubur di tengah hutan. Pada mulanya,
kehadiran si boneka porselen dianggap sebagai sesuatu yang positif karena Jude
kembali memiliki teman bermain. Namun seiring berjalannya waktu, Liza mulai
mengendus keanehan demi keanehan dari perangai putranya yang seketika membuat
dia mempertanyakan tentang kewarasannya sendiri. Benarkah setiap kejanggalan
ini hanya ada di pikirannya semata? Atau jangan-jangan, memang Brahms si boneka
menyeramkan yang selama ini melakukannya seperti diakui oleh Jude?
Pada dasarnya, Brahms: The Boy II mengusung materi
penceritaan menggugah yang mengetengahkan topik seputar trauma. Selaiknya jilid
pertama, film ini pun menguarkan ambiguitas melalui karakter-karakter yang
sudut pandangnya tidak bisa kita percayai sepenuhnya. Baik Liza maupun Jude
terlibat dalam satu peristiwa hidup-mati, keduanya pun mendapatkan efek jangka
panjang atas peristiwa tersebut. Secara otomatis penonton pun ada kalanya dibuat
bertanya-tanya, “apakah yang mereka lihat
benar-benar terjadi? Atau itu hanya terjadi di kepala mereka mengingat Liza
masih kerap mendapat ‘penglihatan’”? di beberapa titik durasi. Sesekali ada
kecurigaan, sesekali pula ada keraguan yang sayangnya semakin memudar tatkala
film memutuskan untuk tidak lagi membohongi penonton. Alih-alih dibelokkan ke
ranah thriller seperti seri terdahulu, Brahms:
The Boy II tetap setia bertahan di jalur horor. Sekali ini, Brahms
benar-benar diperlihatkan bertindak sekalipun pergerakannya tidak signifikan
semacam Chucky dari rangkaian film Child’s
Play yang menggila dalam mempermainkan korbannya. Pun begitu, keputusan
untuk menghindarkan film dari tipu-tipu ini tak juga membawa dampak baik
lantaran: 1) si pembuat film lantas membiarkan begitu saja persoalan trauma
yang menghinggapi dua karakter inti tanpa berkenan mengeksplorasinya lebih
lanjut termasuk memberi konklusi layak, dan 2) trik menakut-nakuti yang dihamparkan
tidak mengalami peningkatan melainkan sebatas mengulangi apa yang telah
dilakukan di film pembuka ditambah penggunaan jumpscares yang sesuka hati. Atau dengan kata lain, generik.
Ya, menyerupai ‘sang kakak’, Brahms: The Boy II pun berjalan perlahan
di paruh awal guna membangun atmosfer mengusik dari keberadaan Brahms. Memang
pada awalnya berhasil, tapi saat film nyaris tak bergerak kemana-mana dengan
teror repetitif (bahkan ada adegan saling tatap yang berlangsung cukup panjang!), pendekatan ini turut memunculkan rasa jenuh sampai-sampai saya merasa ekspresi Brahms sangat mewakili ekspresi hamba pada titik ini. Dalam upayanya
memecah kebosanan penonton, William Brent Bell menyodorkan satu dua trik
menakut-nakuti yang justru memberi efek sebal ketimbang takut. Pasalnya, dia
memanfaatkan tipuan usang seperti suara gonggongan anjing, suara kelebatan,
atau “serbuan” di alam mimpi yang kesemuanya ditampilkan dalam volume maksimal
tanpa ada esensi dibalik kemunculannya selain untuk membuat penonton
terperanjat dari kursi bioskop. Saya pun seketika mengelus dada seraya
menyabarkan diri. Berhubung film pertamanya tidak semakin membaik di babak
pamungkas, hamba pun enggan mengapungkan harapan saat menit-menit pengungkapan
semakin mendekat. Dan betul saja, Brahms:
The Boy II memang tidak membayar penantian penonton secara pantas. Selain momen
konfrontasi akhirnya berlangsung cukup cepat tanpa dibarengi intensitas
mencukupi, film juga tidak memberi penjelasan mengenai peralihan status si
karakter tituler dari semula boneka porselen biasa menjadi makhluk supranatural
dengan lapisan dalam yang lebih baik tidak pernah lagi saya tengok. Agaknya, si
pembuat film telah merancang babak baru yang akan mengambil latar penceritaan
disela-sela peristiwa di The Boy dan Brahms: The Boy II untuk menjabarkan
mengenai apa-apa saja yang terjadi seusai Brahms asli (manusia, bukan boneka) mengakali
maut. Saat babak tersebut nantinya hadir, saya tidak yakin publik masih
menunjukkan ketertarikan kecuali ada sesuatu baru yang disuguhkan.
Poor (2/5)
bandar slot online
ReplyDeletejudi slot online terbaik
slot online gacor
situs slot online
slot terpercaya