“If you wish to be the king of the jungle, it’s not enough to act like a king. You must be the king. There can be no doubt. Because doubt causes chaos and one’s own demise.”
Usai beberapa tahun terakhir
dipercaya untuk menggarap film-film produksi studio besar semacam Sherlock Holmes (2009), The Man from U.N.C.L.E. (2015), King Arthur: Legend of the Sword (2017),
sampai versi live action dari Aladdin (2019), Guy Ritchie mencoba
untuk kembali ke akarnya yang menapaki ranah komedi-aksi-kriminal dalam film
terbarunya yang bertajuk The Gentlemen.
Bagi yang telah mengikuti jejak rekam sang sutradara sedari awal mula karirnya,
tentu mengetahui bahwa namanya melambung berkat pengarahannya yang penuh gaya
di Lock, Stock and Two Smoking Barrels
(1998). Bersama dengan Snatch (2000),
Ritchie dikenal melalui kegemarannya bermain-main dengan narasi berkenaan dunia
para pelaku kriminal di Inggris, gaya penyuntingan yang rancak, penggunaan
visual gerak lambat, serta struktur penceritaan yang enggan dipaparkan secara
linear. Meski satu dua ciri khasnya tetap dipertahankan kala dirinya membesut
film adaptasi berbujet raksasa, tapi dia baru benar-benar resmi kembali ke
sajian yang membesarkannya lewat The
Gentlemen. Disini, dia sekali lagi mengandalkan pemain ansambel pria untuk
melakoni manusia-manusia serakah yang tak berkeberatan bertindak melewati batas
guna memuaskan ego, merengkuh keuntungan bagi diri sendiri, serta bertahan
hidup. Sebuah potret kelam manusia yang dihantarkan dalam mode komedi laga yang
penuh kesenangan, gelak tawa, dan kesukaan penonton masa kini: plot twist.
Dalam menit-menit awal The Gentlemen, penonton dipertemukan
dengan seorang penyelidik swasta bernama Fletcher (Hugh Grant) yang mendatangi
Raymond (Charlie Hunnam) di suatu malam untuk memerasnya. Ancaman yang diajukan
oleh Fletcher adalah, beri dia imbalan sebesar 20 juta poundsterling atau
seluruh rahasia yang disimpan oleh atasan Raymond, Mickey Pearson (Matthew
McConaughey), akan dibeberkannya ke publik. Dari sini, penonton disodori kilas
balik yang menjabarkan tentang persoalan yang sejatinya melingkungi
karakter-karakter ini dimana semuanya berawal dari Mickey. Pria asal Negeri
Paman Sam tersebut dikisahkan telah berhasil membangun kerajaan bisnis
mariyuana di Inggris, dan berniat untuk pensiun dini demi menikmati hidup
bersama istrinya, Rosalind (Michelle Dockery). Agar bisnis beserta “perkebunan
rahasia” miliknya tidak berakhir sia-sia, dia pun berburu calon pembeli yang
lantas menghantarkannya pada Matthew (Jeremy Strong). Di waktu bersamaan,
Mickey turut didekati oleh gangster Cina, Dry Eye (Henry Golding), yang menginginkan
kerajaan bisnis miliknya ini dan tidak bersedia menerima penolakan. Untuk membuat
persoalan menjadi semakin kompleks, film menghadirkan Coach (Colin Farrell)
yang tanpa sengaja terseret ke drama ini setelah anak didiknya merampok
perkebunan mariyuana milik Mickey dan editor suatu tabloid kenamaan, Big Dave
(Eddie Marsan) yang menyimpan dendam kesumat kepada Mickey. Guna menjatuhkan
Mickey, Big Dave pun merekrut Fletcher untuk menggali sederet informasi rahasia
yang belakangan ternyata justru dimanfaatkan oleh Fletcher demi kepentingannya
sendiri.
Terdengar njelimet ya? Mesti
diakui, The Gentlemen memang meminta
konsentrasi penuh dari penontonnya pada awal mula. Terhitung menantang bagi
mereka yang belum pernah bersentuhan dengan karya-karya perdana Bung Ritchie. Ada
banyak karakter yang diperkenalkan, ada sederet konflik yang dipaparkan, dan
kita diminta untuk menarik benang merah atas relasi konflik dengan
karakter-karakter ini. Berhubung penyampaiannya dicelotehkan menggunakan
dialog-dialog beritme cepat yang meluncur dari mulut Fletcher, memalingkan pandangan
dari layar bioskop atau meninggalkan ruang pemutaran demi ke toilet tentu
sangat tidak disarankan… kecuali kamu bersedia untuk tersesat di menit-menit
selanjutnya. Sepintas lalu, deskripsi hamba mengenai paruh awal The Gentlemen ini memang tampak “menyeramkan”.
Menyiratkan bahwa film bukanlah produk hiburan yang mudah dikonsumsi. Tapi percayalah,
kenyataannya tidaklah demikian. Ketika kamu sudah memahami siapa-siapa saja
yang berpartisipasi dalam drama “perebutan kerajaan bisnis Mickey” – termasuk kepentingan
setiap karakter – maka film akan seketika bertransformasi menjadi sajian yang
sangat mengasyikkan buat dicicipi. Keasyikkan yang ditimbulkan bukan berasal
dari kemunculan momen-momen laganya yang secara mengejutkan kuantitasnya
tergolong rendah, melainkan bersumber dari narasinya yang menggelembungkan
keingintahuan, humor-humornya yang menggelitik, sampai interaksi antar karakter
yang terlihat bernyawa. Utamanya saat kita berbicara mengenai tektokan lucu nan
seru yang berlangsung diantara Fletcher dengan Raymond.
Dua karakter inilah yang paling
mencuri perhatian di sepanjang durasi The
Gentlemen. Mereka mempunyai karakteristik bertolak belakang yang unik,
mereka dimainkan dengan sangat baik oleh Hugh Grant beserta Charlie Hunnam, dan
mereka mempunyai jatah tampil terbesar lantaran narasi dalam film ini merupakan
visualisasi obrolan kedua karakter tersebut. Fletcher menjabarkan apa-apa saja
yang terjadi berdasarkan skenario yang telah disusunnya (ya, ketimbang dijual
ke Big Dave, Fletcher justru berniat menjualnya ke studio film) dimana menurut
kesaksian dia sendiri plus keberatan yang diajukan oleh Raymond, tidak seluruh
peristiwa berbasis fakta. Terdapat beberapa pemelintiran maupun dramatisasi
demi memunculkan greget yang secara otomatis memosisikan Fletcher sebagai unreliable narrator. Alhasil, kita tidak
saja dibuat sulit percaya kepada karakternya, tetapi kita juga dibuat
senantiasa mempertanyakan kebenaran atas ceritanya. Benarkah apa yang telah
diutarakan oleh Fletcher? Atau jangan-jangan, apa yang dipaparkannya kepada
Raymond hanyalah rekaan semata? Semakin dalam kita mendengarkan “dongeng” dari
si penyelidik serakah tersebut, semakin tinggi pula keragu-raguan dan
kepenasaran ini. Apalagi, Raymond si pendengar tidak banyak terlihat memberikan
respon yang tentu saja memantik keingintahuan. Melalui beberapa momen, penonton
telah diberikan informasi bahwa orang kepercayaan Mickey ini bukanlah karakter
naif. Maka saat dia memilih untuk menanggapi seadanya, ada dua kemungkinan yang
muncul: 1) dia mengetahui kebenaran yang lebih valid, dan 2) dia sedang memikirkan
agenda tertentu berdasarkan kata-kata yang disusun oleh Fletcher.
Performa Hugh Grant yang keluar
dari bayang-bayang peran lelaki idaman dengan melakoni karakter yang luar biasa
menjengkelkan (sampai kadang hamba pengen nampol saking gregetannya!), dan
Charlie Hunnam yang tampil tenang-tenang menghanyutkan adalah kunci mengapa “obrolan
di rumah Raymond” bisa terasa menggigit. Tidak hanya dua pemain ini, The Gentlemen memiliki pemain ansambel solid
yang konfigurasinya tersusun atas: Matthew McConaughey yang terlihat penuh wibawa
sebagai pebisnis kelas kakap yang disegani sekaligus ditakuti, Jeremy Strong
yang memberi kesan intimidatif dibalik pembawaan angkuhnya, Colin Farrell yang
lucu dalam peran pelatih baik-baik yang ikut terlibat perkara pelik, Henry
Golding yang menjajal peran berbeda sebagai gangster anyaran, Michelle Dockery
yang tampil badass sekalipun
karakternya agak stereotip, sampai Eddie Marsan yang menyebalkan sebagai editor
tabloid yang tampaknya diniatkan Ritchie untuk menyuarakan kritiknya mengenai
betapa toxic-nya media di Inggris. Apiknya
permainan lakon dari barisan pemain ini tidak saja memperlengkap pesona The Gentlemen yang menguar kuat sedari
mula, tetapi juga memungkinkan bagi film untuk terasa mengasyikkan buat diikuti
hingga babak pamungkas yang dilapisi sejumlah plot twist. Fun!
slot situs
ReplyDeleteslot terpercaya gacor
web slot gacor
agen togel online
bandar togel online