“Ada beberapa sosok iblis tertentu yang mengharuskan adanya pengorbanan. Korban itu adalah salah satu bentuk dari pengabdian.”
Tepat selepas menonton Sebelum Iblis Menjemput di bioskop pada
tahun 2018 silam, saya secara spontan nyeletuk “Aku hambamu, Bung Timo Tjahjanto” seraya menyembah-nyembah layar. Sungguh,
film tersebut berhasil menghadirkan pengalaman menonton sajian seram yang
begitu seru sekaligus menggedor jantung tanpa henti. Menit demi menitnya
senantiasa disusupi intensitas tinggi sampai-sampai tak ada kesempatan bagi
penonton untuk melepas nafas lega. Keji sekali memang Bung Timo ini! Tapi
siapapun yang mengikuti seluk beluk filmografi sang sutradara tentu paham, dia tak
pernah segan-segan dalam menggeber kekerasan. Narasi bukanlah hidangan
andalannya, melainkan bagaimana cara dia mengkreasi “kesenangan” dalam film
yang bersumber dari penyiksaan, brutalitas, serta muncratan darah. Ya,
film-filmnya memang cenderung segmented
dan tidak pula cocok ditonton oleh mereka yang berhati lemah. Sebelum Iblis Menjemput sendiri
tergolong karyanya yang paling “lunak” menyusul keinginannya untuk berdamai
dengan guntingan sensor tanah air yang ganas. Namun selunak-lunaknya Timo, kamu
tetap akan mendapati perempuan-perempuan anggun seperti Chelsea Islan, Pevita
Pearce, dan Karina Suwandi mendadak saling teriak, saling hajar, hingga gelut habis-habisan
di kubangan lumpur. Sebuah pemandangan langka yang tentu tak akan kamu jumpai
di film Indonesia manapun, bukan? Saking bersemangatnya melihat mereka
disiksa eh maksud saya film ini, hamba tentu bahagia begitu mendapati cerita
ternyata tak berakhir sampai disitu saja. Ada sekuel bertajuk Sebelum Iblis Menjemput Ayat Dua dimana
sang sutradara menyiapkan lebih banyak tumbal untuk dikorbankan kepada penguasa
neraka.
Dalam Sebelum Iblis Menjemput Ayat Dua, poros penceritaan tetap berpusat
pada Alfie (Chelsea Islan) yang berhasil melepaskan diri dari cengkraman iblis
di film pertama dengan membasmi habis keluarganya. Satu-satunya personil yang
dibiarkannya hidup – karena dia masih bocah, polos, dan tidak jahat – adalah Nara
(Hadijah Shahab) yang kini diasuhnya. Keduanya mencoba untuk memulai hidup baru
meski tentu saja tidak mudah karena trauma masih merundung hebat dimana Alfie
kerap dihantui rasa bersalah, dan was-was akan kembali dikunjungi oleh sosok
kegelapan. Ditengah upayanya untuk kembali bangkit, peristiwa naas datang mengunjunginya
saat sekumpulan orang tiba-tiba menyantroni tempat tinggalnya lalu menculiknya.
Bersama dengan Nara, Alfie diboyong ke sebuah bekas panti asuhan yang lokasinya
jauh dari peradaban. Di sana, para penculiknya yang terdiri dari Budi (Baskara
Mahendra), Jenar (Shareefa Daanish), Gadis (Widika Sidmore), Kristi (Lutesha),
Leo (Arya Vasco), dan Martha (Karina Salim), menjelaskan alasannya menculik
Alfie. Bukan untuk balas dendam atau mendapatkan tebusan, melainkan untuk meminta
tolong. Rupa-rupanya, keenam muda-mudi ini kerap diteror oleh seseorang dari
masa lalu yang mengabdikan jiwanya kepada iblis. Berhubung Alfie pernah
berurusan dengan makhluk mengerikan tersebut – bahkan berhasil mengalahkannya –
maka kawanan putus asa ini menganggap Alfie adalah seorang pakar dalam hal
penaklukkan iblis. Tapi kita yang telah menonton film pertama jelas tahu,
keberuntungan memiliki andil dalam kemenangan si protagonis. Jadi saat dia kali
ini salah mengambil langkah, teror yang ditakutkannya pun kembali terjadi.
Sebagai sebuah sekuel, Sebelum Iblis Menjemput Ayat Dua sama
sekali bukan sajian yang bisa dikategorikan buruk. Tampak jelas, ada beberapa
peningkatan diupayakan terutama di sektor teknis dimana efek khusus
didayagunakan secara maksimal (salah satunya untuk mewujudkan adegan “lahiran”
yang berlangsung dramatis), begitu pula dengan tata artistik, tata rias, serta
sinematografi yang berperan besar dalam terealisasinya sederet momen genting
nan mencekam. Satu adegan yang terhitung efektif membuat penonton mengalami
kegelisahan di kursi bioskop adalah ketika sesosok pocong meneror salah seorang
karakter di sebuah ruangan. Ketimbang menampakkannya secara jelas – atau menunjukkan
kemahirannya melompat-lompat – Timo justru mengambil pendekatan sedikit berbeda
yang menyebabkan kehadirannya sulit dienyahkan dari benak begitu saja. Sempat
ingin berteriak “hey, ada yang gerak-gerak
di belakangmu!” tapi belakangan mulut urung terbuka lantaran: 1) teringat
diri ini sedang berada di bioskop, dan 2) sulit untuk mengucap apapun. Sungguh bikin
stres, bukan? Tapi jika kamu mengira film akan mempunyai trik menakut-nakuti
senada atau memiliki kecakapan dalam membuat jantung senantiasa berdegup kencang
selaiknya jilid pertama, well,
sayangnya tidaklah demikian. Sebagai seseorang yang menggemari instalmen
terdahulu berkat geberan terornya yang tak berkesudahan, saya cukup kecewa
menyaksikan Timo sedikit bermain aman di sini. Lagi-lagi, bermain aman dalam
level Timo tetap berarti mempersilahkan Lutesha untuk menjedot-jedotkan
kepalanya ke pintu, melepaskan gir untuk melayang-layang lucu di udara seraya
mengincar beberapa kepala, dan membiarkan Chelsea Islan mengeluarkan segala
sumpah serapah.
Hanya saja, sekali ini kegilaan
tersebut tidak berlangsung secara terus menerus. Ada jeda diberlakukan demi
memberi kesempatan bagi karakternya yang seabrek itu untuk berkontribusi pada
penceritaan. Yang kemudian menjadi kendala adalah, narasi masih belum menjadi
kekuatan utama dari si pembuat film. Ketimbang memperkuat ikatan dengan barisan
karakter, jeda justru mengendorkan intensitas yang sejatinya telah satu dua
kali terbangun dengan baik seperti pada prolog yang menguarkan misteri atau
pada ritual yang berlangsung keliru. Terlebih, anak-anak baru ini tidak
dibekali penulisan karakter semenarik Alfie yang tangguh, Maya (Pevita Pearce) yang
manipulatif maupun Laksmi (Karina Suwandi) yang intimidatif. Mereka terlampau
tipikal. Agaknya, perebutan jatah tampil – yang tentu tak bisa dihindari
menilik banyaknya tokoh yang berperan serta – adalah salah satu faktor yang
melandasi ketidakmampuan banyak karakter untuk berkembang dan mencuri
perhatian. Memang benar bahwa para pelakonnya telah bersungguh-sungguh dalam
menghidupkan peran masing-masing, kredit khusus patut disematkan kepada Widika
Sidmore yang menebarkan sisi misterius dan Lutesha yang mengikuti jejak para
pendahulunya untuk menggila, tapi mereka pun tak mampu untuk membuat para
karakter menggoreskan kesan kuat di benak. Malah, cenderung mudah dilupakan. Ketidaksanggupan
diri ini untuk terikat kepada para tokoh penggerak cerita, lantas menghalangi
hamba dalam menginvestasikan emosi ke film ini. Bahkan Alfie pun mendadak sulit didukung
karena meledak-ledaknya nggak ketulungan sampai saya ngeri sendiri lihatnya. Istighfar, Mbak, jangan ngegas terus.
Ini sebetulnya masih bisa ditolerir
apabila Sebelum Iblis Menjemput Ayat Dua menempuh
pendekatan serupa film pertama. Yang menghajar penonton dengan terornya hingga
babak belur. Tapi saat kali ini mencoba untuk memberi perhatian lebih kepada
penceritaan, saya justru sempat berada di titik jenuh. Apalagi jelang munculnya
teror, situasi yang dihadapi oleh para karakter cenderung senada seirama. Repetitif.
Rangkaian trik menakut-nakuti yang ditampilkan pun mengalami problematika
serupa dimana banyak diantaranya berupa pengulangan (contoh: setan merangkak
yang geraknya semakin cepat dalam mendekati kamera) dan tidak seliar apalagi segarang
sebelumnya. Apa karena film pertama sudah menciptakan standar tinggi ya jadi
susah untuk dilampaui? Bisa jadi sih demikian. Saya pribadi memang cukup kecewa
dengan apa yang disajikan oleh film ini dimana kenaikan dan penurunan tensinya
bisa saling bergantian secara cepat. Tapi adalah suatu kebohongan besar jika
saya mengatakan sama sekali tidak dibuat terhibur oleh film ini. Disamping beberapa
momen seram yang efektif, Sebelum Iblis
Menjemput Ayat Dua juga mempunyai momen-momen seru yang tak jarang
mengundang gelak tawa. Tawa yang timbul dari tindak tanduk serta celetukan
konyol karakternya yang kentara memang diniatkan demikian oleh Timo. Paling tidak
masih menyenangkan lah!
Acceptable (3/5)
Acceptable (3/5)
Kirain bakal masalah cuma di karakterisasi. Ternyata 'kehabisan stok teror' 😭
ReplyDeletePadahal setelah SIM dan the night comes for us aku langsung menghamba juga ke doii.. 😭😭
Iya nggak nyangka juga bakal habis stok terornya. Nontonnya berasa capek dan bosen soalnya diulang-ulang 😔
DeleteKebanyakan karakter bisa jadi,, dan jatuh nya gak semua karakter menonjol. Musik nya terlalu berisik di sini, dan kenapa akting chelsea harus se over ini 😁😁
ReplyDeleteSebenernya akting dia emang selalu gitu. Di SIM 1 agak bisa terkontrol, tapi kali ini lepas lagi :(((
DeleteTapi katanya bakal di bikin trilogi,, benar gak ya??
Deletesitus resmi slot
ReplyDeletesitus slot gacor terpercaya
situs slot online
situs slot online terpercaya
situs slot resmi