March 5, 2020

REVIEW : ONWARD


“I was supossed to say goodbye, but I was scared. That’s when I decided I was never going to be scared again.”

Kehilangan figur orang tua bukanlah perkara mudah, terlebih dalam usia relatif muda. Terasa ada yang kosong, terasa ada kurang lengkap, dan tentu saja terasa memilukan saat kamu sempat berbagi momen penuh kegembiraan selama beberapa waktu. Pixar – maupun si induk semang, Disney – kerap mengulik tema kehilangan dalam keluarga berulang kali dalam film-film rilisan mereka, entah sebagai topik pembicaraan utama atau dibubuhkan sebatas untuk memperkuat karakteristik si tokoh utama. Dari Finding Nemo (2003), Up (2009), The Good Dinosaur (2015) sampai Coco (2017), kita kerap mendapati narasi menyoal berdamai dengan duka pasca ditinggal pergi oleh orang terkasih. Obrolan ini memang berpotensi membuat tangis pecah, tapi pihak pembuat film justru tidak berminat menenggelamkan penonton ke dalam kesedihan, dan lebih memilih untuk menghadirkan keriangan beserta optimisme dibalik isu pilu yang disodorkan. Melalui karya terbaru Pixar, Onward, yang menandai karya orisinal pertama bagi studio animasi ini sejak Coco, kematian dan kehilangan kembali dikedepankan sebagai bahan perbincangan. Inspirasinya berasal dari sang sutradara, Dan Scanlon (Monsters University), yang tak memiliki kesempatan untuk bercengkrama dengan ayahnya yang wafat di saat usianya masih amat belia dan hanya mengenalnya lewat rekaman suara yang diberikan oleh sang paman. Dari pengalamannya ini, Scanlon lantas mengkreasi premis berbunyi “bagaimana jadinya kalau kamu memiliki kesempatan selama satu hari untuk bertemu lagi dengan orang tuamu yang telah tiada?” yang kemudian diejawantahkannya ke dalam satu sajian petualangan seru nan lucu yang bertabur unsur magis di dalamnya. 

Lewat Onward, penonton diboyong untuk mengunjungi suatu dunia fantasi dimana makhluk-makhluk mitologi seperti peri, pixie, mantikora, kentaur, sampai naga hidup berdampingan. Tapi berbeda seperti dongeng-dongeng yang sering kita dengar, para karakter di film ini tidak pernah bersentuhan dengan sihir. Memang sih pada zaman dahulu kala setiap persoalan dapat dituntaskan dengan rapalan-rapalan mantera. Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat lebih terbiasa menggunakan temuan-temuan teknologi modern yang dinilai lebih praktis dan tidak membutuhkan penguasaan ilmu sihir terlebih dahulu untuk bisa menggunakannya. Alhasil, listrik, ponsel genggam, serta mobil pun menjadi pilihan utama yang kemudian membawa kita ke era masa kini di sebuah kota bernama New Mushroomton. Kita lalu diperkenalkan pada dua kakak beradik yang memegang peranan inti dalam film, Ian (Tom Holland) dan Barley (Chris Pratt). Hidup bertiga bersama sang ibu, Laurel (Julia Louis-Dreyfus), sekilas penonton melihat bahwa mereka baik-baik saja kecuali kenyataan bahwa Ian mendambakan figur ayah yang tak pernah hadir di sisinya. Sang ayah meninggal karena kanker di saat dirinya masih berada dalam kandungan. Ditengah perasaan gundah gulananya ini, Ian mendapatkan kejutan dalam wujud hadiah ulang tahun ke-16. Bukan sembarang hadiah, melainkan sebuah tongkat sihir beserta mantra yang dapat mempertemukannya dengan sang ayah selama sehari. Tanpa dibarengi ilmu sihir yang mumpuni, proses “mengembalikan ayah” tentu saja urung berlangsung mulus dan malah berakhir kacau. Demi memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat, Ian pun nekat mengembara bersama Barley ke tempat dimana sihir berasal yang lantas menguji ikatan persaudaraan keduanya.


Seperti telah diisyaratkan melalui premis yang diusungnya, Onward ternyata beneran mampu mengaduk-aduk emosi hamba sedemikian rupa. Saya menyeka air mata tatkala Scanlon kembali mengingatkan penonton bahwa tak ada guna meratapi kehilangan orang yang dicintai. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kamu merayakan kehidupan yang penuh dengan tantangan, dan orang-orang yang setia berada di sampingmu. Cintailah mereka sepenuh hati sehingga tak tersisa penyesalan kala perpisahan dalam wujud maut akhirnya datang menyapa. Guna menyampaikan pesan ini, si pembuat film menghadirkan sosok Ian yang merepresentasikan keengganan untuk melepas masa lalu, dan sosok Barley yang menggambarkan keinginan untuk menghempas penyesalan dengan menikmati setiap waktu dalam hidup. Adanya perbedaan pandangan ini secara otomatis memantik gesekan demi gesekan terlebih upaya Barley dalam memproyeksikan perasaan bersalahnya kerap disalahpahami oleh sang adik. Padahal dia hanya tidak ingin lagi memendam ketakutan, dia hanya tak ingin saudaranya beranjak dewasa tanpa bimbingan, dan dia hanya ingin berbuat benar untuk orang-orang di sekitarnya. Disokong sulih suara dari Chris Pratt yang terdengar begitu bersemangat dalam menyongsong hari-hari yang dilaluinya, sukar untuk tak menyematkan afeksi kepada Barley. Dia bukan saja terlihat seru untuk diajak nongkrong bareng, tapi dia pun tampak seperti seseorang yang benar-benar tulus dalam mencintai dibalik tampilannya yang serba urakan. Serentetan nasihat penyemangat yang disampaikan secara jenaka kepada Ian dalam berbagai kesempatan membuktikan bahwa dia memang menyayangi adiknya.

Ian sendiri mempunyai perangai yang sama sekali bertolak belakang dengan Barley. Well, dia memang penuh semangat dan memiliki kesadaran untuk merubah dirinya ke arah lebih baik, tapi dia juga seseorang yang penakut. Dia mengkhawatirkan terlalu banyak hal dalam hidupnya – yang seketika mengingatkan saya pada errr… diri saya sendiri – sampai-sampai kesulitan untuk berteman, mengendarai mobil, serta menikmati hidup. Secara singkat, Ian bahkan lebih memenuhi syarat sebagai seorang pecundang ketimbang Barley yang diam-diam dia anggap demikian. Segala kecanggungan yang melekat erat dalam diri Ian ini sanggup dihidupkan oleh Tom Holland yang akting suaranya turut menebalkan kesan manis untuk karakternya. Ya, sekalipun Ian payah dalam berbagai hal yang menuntut keberanian bertindak, dia tetaplah seorang remaja akil baligh berhati tulus. Yang dibutuhkannya adalah sedikit dorongan dan panduan yang menurut cara berpikirnya, hanya bisa diperoleh dari seorang ayah. Satu sosok yang tak pernah hadir dalam hidupnya. Meski premisnya memberi kesan bahwa film ini semata-mata berceloteh tentang berdamai dengan duka dan luka, Onward kenyataannya bertutur lebih dari itu. Pada intinya, Onward merupakan narasi tentang menyadari pentingnya keluarga dan pendewasaan diri dari seorang remaja dengan perspektif dangkal serta cenderung kekanakan. Melalui petualangan besar yang dilaluinya, Ian secara perlahan tapi pasti mulai menyadari mengenai potensinya, kemampuannya, dan paling penting, kehadiran orang-orang di sampingnya terutama sang kakak. Mendapati narasi semacam ini – apalagi usai babak pamungkas yang merobek hati sekalipun berpotensi memecah belah pendapat – hamba pun ingin buru-buru memberikan pelukan hangat ke ayah, kakak, dan sahabat yang tak pernah lelah menyuarakan dukungan agar saya bisa melewati masa-masa sulit seusai kehilangan ibu. Saya ingin berkata, “terima kasih untuk semuanya.”


Memboyong materi pengisahan yang mengharu biru, kamu mungkin bertanya-tanya, “apakah ini berarti Onward menebar bawang di sepanjang durasi tanpa ada keceriaan?,” seperti ditanyakan oleh seorang kawan pada saya. Selaiknya Coco yang juga berbincang soal “bangkit dari kematian”, Onward tak pernah bermuram durja. Malah, film ini bertutur dengan penuh dengan semangat, kegembiraan, dan optimisme mengikuti energi yang dipunyai oleh Barley. Scanlon tak ingin kita tenggelam dalam kesedihan, karena yang diharapkannya adalah penonton mendapatkan kembali keberanian beserta harapan yang mungkin telah memudar selepas menonton Onward. Guna mewujudkan ekspektasi tersebut, serentetan momen-momen seru dan penuh gelak tawa pun ditampilkan selama kita mengikuti dua karakter utama berkelana menuju tanah keajaiban. Entah saat mereka berhadapan dengan geng motor yang terdiri dari sekumpulan pixie berpenampilan gahar, atau saat keduanya berupaya menutupi bentuk fisik sang ayah yang tidak utuh dimana saya sedikit banyak teringat pada film komedi bertajuk Weekend at Bernie’s (1989), atau saat mereka berupaya meyakinkan Manticore (Octavia Spencer menggila di sini) untuk kembali memenuhi takdirnya, maupun saat Ian melintasi jurang hanya bermodalkan satu tali yang mengingkari pinggang. Tidak pernah benar-benar tampil spektakuler seperti sejumlah produksi terbaiknya Pixar, tapi tetap tersaji memuaskan dan menyenangkan. Saya juga akan berkata sama untuk tampilan animasinya yang cermat memvisualisasikan New Mushroomton berikut dunia sihir di sekelilingnya sekalipun lagi-lagi bukan hamparan gambar paling memukau yang pernah ditampilkan oleh Pixar.  

Masih sebuah film animasi berkualitas di atas rata-rata kok!

Outstanding (4/5)    


2 comments:

Mobile Edition
By Blogger Touch