“There are 3 kinds of people; the ones above, the ones below, and the
ones who fall.”
Saat Covid-19 dinyatakan secara
resmi sebagai wabah oleh WHO (World
Health Organization), masyarakat di berbagai penjuru kota dan negara seketika
tumplek blek ke apotek maupun pasar
swalayan guna memborong kebutuhan sehari-hari yang sifatnya mendesak. Didorong oleh
kepanikan seolah tak ada lagi hari esok, masker pun mendadak menjadi barang
langka begitu juga dengan hand sanitizer
serta tisu toilet. Sulit sekali mendapatkannya dan jikalau ada, harganya bisa
membumbung tinggi melampaui batas kewajaran. Saya pun hanya bisa berpasrah
seraya geleng-geleng kepala menyaksikan betapa keserakahan dan keegoisan telah
menghinggapi manusia-manusia ini. Di kala situasi telah memasuki fase genting,
mereka justru memilih untuk menyelamatkan diri sendiri ketimbang bersikap
solider kepada sesama dan mengulurkan tangan atas nama kemanusiaan. Ya,
beberapa orang memang akan menunjukkan rupa sesungguhnya saat sedang terdesak,
putus asa, serta ketakutan. Mengerikan, bukan? Oleh Galder Gaztelu-Urrutia, sisi
kelam manusia yang mencuat kala kepepet ini ditranslasikan secara ciamik ke
dalam medium audio visual melalui film bertajuk El hoyo atau The Platform dalam
bahasa Inggris. Menginjakkan kaki di genre horor-fiksi ilmiah, film mencoba
untuk memberikan visualisasi atas satu premis yang tak saja menggelitik tetapi
juga menarik perhatian. Premis tersebut berbunyi, “bagaimana jika ada sebuah penjara yang menyediakan makanan-makanan
lezat sesuai dengan jumlah penghuni? Akankah mereka bersedia untuk berbagi agar
kebutuhan yang lain turut tercukupi, atau keserakahan akan mengambil alih
kendali?”
Guna menjalankan narasi dalam The Platform, kita dipertemukan dengan
seorang pria bernama Goreng (Ivan Massague) yang terbangun di sebuah ruangan
berbentuk sel penjara. Tidak ada apapun di sana kecuali ranjang, wastafel,
angka bertuliskan “48” yang menandakan lantai dimana penghuni berada, lubang menganga
di tengah ruangan yang sangat dalam, serta seorang “teman sekamar” bernama Trimagasi
(Zorion Eguileor). Dari beberapa penjabaran singkat Trimagasi, Goreng beserta
penonton mendapatkan sekelumit informasi krusial mengenai cara kerja penjara
berwujud satu menara besar ini seperti: 1) akan ada mimbar yang turun melewati
lubang guna memberikan makanan kepada para penghuni sesuai dengan urutan lantai,
2) tidak boleh menyimpan makanan kecuali bersedia mati kepanasan atau
kedinginan, dan 3) para penghuni akan menempati lantai berbeda setiap bulan
yang ditentukan secara acak. Akibat aturan ketiga inilah, para napi memilih
untuk mengenyahkan rasa kemanusiaan tatkala mereka menempati lantai-lantai
atas. Mereka melahap makanan sebanyak mungkin lantaran tak selamanya memperoleh
keistimewaan ini sehingga penghuni di lantai bawah acapkali hanya memperoleh
piring kosong. Bahkan tulang belulang pun tak pernah tampak (!). Mendengar penjelasan
Trimagasi, Goreng yang memasuki penjara ini secara sukarela alih-alih karena
kedapatan melanggar hukum pun terusik hati nuraninya. Dia ingin mengalakkan
perubahan demi menepis segala penderitaan di tempat mengerikan tersebut. Untuk sesaat,
idealismenya memang berkobar-kobar bak api. Tapi saat protagonis kita ini
terbangun di lantai-lantai yang tak pernah dibayangkannya, dia pun mulai mempertanyakan
kembali idealismenya.
Sedari menit pembuka, The Platform telah mengondisikan dirinya
untuk menambat erat-erat atensi penonton. Entah itu melalui kinerja tim elemen
teknis (mencakup penata artistik, efek khusus, serta sinematografer) dalam
mengkreasi sel bertingkat yang menguarkan kesan klaustrofobia, performa jajaran
pemainnya dengan ikatan benci-rindu yang memunculkan simpati sekaligus
kecurigaan, naskah berisikan dialog-dialog menggelitik yang mengusik pemikiran,
maupun pengarahan Galder Gaztelu-Urrutia yang lihai dalam menjaga ritme
pengisahan sehingga film yang mulanya diniatkan sebagai drama panggung ini tak pernah memiliki momen menjemukan. Seperti halnya Goreng, penonton tiba di tempat terkutuk ini dengan
satu pertanyaan, “apa yang sebenarnya ada
di sini?,” yang secara cepat nan jenaka dijlentrehkan oleh Zorion Eguileor yang bermain ngeri-ngeri sedap.
Melalui karakter yang dimainkannya dan reaksi emosional yang dimunculkan oleh
Ivan Massague, saya seketika menyadari bahwa The Platform tak ubahnya dua film kece rilisan tahun lalu, Parasite dan Knives Out, yang berniat untuk melontarkan komentar terkait
kesenjangan, kekuasaan, sampai kemanusiaan. Hanya saja, pendekatan yang
ditempuh oleh si pembuat film jauh lebih ekstrim yang mana kita disuguhi pertarungan
kelas yang berdarah-darah secara harfiah dan alegori yang dimanfaatkan untuk
menggambarkan “strata sosial” pun terbilang unik. Dalam bentuk sel bertingkat
dimana penghuninya tidak pernah bisa menerka dimana mereka akan berada pada
bulan depan. Jika beruntung, mereka akan menempati sel atas yang memperoleh
jaminan makanan melimpah. Sementara jika mereka sedang apes, mereka akan
berakhir di sel bawah yang tak memperoleh apapun. Persis seperti roda kehidupan
yang digerakkan oleh kapitalisme.
Ditengah jalinan pengisahan yang
membuat kita berdebar-debar, lalu penasaran, kemudian agak memalingkan muka
akibat kebrutalan tak main-main yang ditampakkannya – well, sebaiknya kamu tidak menontonnya sambil ngemil – The Platform tak lupa mempekerjakan otak
kita untuk memikirkan rentetan isu yang dihamparkannya. Tentang bagaimana “kelas
atas” mengeruk keuntungan secara membabi buta, tentang bagaimana “kelas bawah”
saling bertarung untuk memperoleh kenyamanan bagi diri mereka masing-masing, dan tentang bagaimana “kelas atas”
mendayagunakan keistimewaan yang dipunyainya. Selama durasi mengalun, penonton
melihat Goreng terus mempertahankan idealisme beserta integritasnya sekalipun
kita perlahan-lahan mengetahui bahwa perubahan yang diharapkannya tidak akan pernah
bisa terwujud secara spontan. Kelaparan, kemarahan, serta keputusasaan telah
mendorong para napi untuk mengedepankan prinsip survival of the fittest hanya demi bisa melihat hari esok. Tak ayal,
hamba pun bertanya-tanya, apakah perjuangan si protagonis memang selayak itu untuk
diteruskan? Karena saya melihat, tempat dengan nama resmi “Pusat Manajemen
Mandiri Vertikal” ini telah menghempas segala rasa kemanusiaan dan hanya
menyisakan keserakahan beserta keegoisan semata di setiap lantai. Saat kita
mengira para penghuni di strata atas yang semula sempat berada di strata bawah akan
memiliki simpati lantaran pernah merasakan kenelangsaannya, kita kembali
diingatkan pada konsep dari si pemilik sel. Peralihan posisi yang tak pernah
bisa diduga justru menekan sisi bajik manusia dan melahirkan pemikiran, “jika kemewahan ini hanya bisa diperoleh
sekarang, mengapa disia-siakan begitu saja?,” karena pada dasarnya mereka
hanya ingin bertahan hidup. Kejam, tapi bisa dimafhumi mengingat keadaannya. Bahkan, dewasa ini kita jamak pula menjumpainya di lingkungan sekitar dengan istilah bermakna peyorasi, orang kaya baru. Lagipula,
apakah ada jaminan kita benar-benar bersedia untuk bertindak seperti Goreng apabila berada
di posisinya? Lebih jauh lagi, apa kita akan tetap bersikap solider apabila ditempatkan di lantai bawah dimana makanan tak dijumpai?
The Platform memang lebih tertarik untuk mengajak penontonnya
berpikir, merenung, lalu kemudian mendiskusikan tentang kemanusiaan ditengah adanya
strata sosial yang dibentuk oleh kapitalisme ketimbang mengekspansi world building yang dibangunnya. Itulah mengapa,
si pembuat film tak pernah berminat untuk mengulik lebih jauh mengenai beberapa
misteri dan tak pernah tertarik pula untuk menghadirkan jawaban-jawaban pasti
atas sederet pertanyaan yang terus bermunculan. Penonton diminta untuk membentuk
imajinasi, teori maupun interpretasinya sendiri yang saya yakini akan memecah
belah pendapat mengenai The Platform. Saya
pribadi tidak berkeberatan dengan pilihan kontroversial tersebut terlebih topik
pembicaraan yang diajukannya teramat menggugah selera. Tapi bagi penonton yang
semata-mata mendamba ingin memperoleh sajian hiburan menegangkan yang
didalamnya penuh dengan kelokan-kelokan penceritaan yang mengejutkan, maka film
ini jelas menantang dan tidak mudah untuk dikonsumsi. Sekarang pilihannya ada
di tanganmu, apakah kamu siap untuk menerima tantangan yang disodorkan oleh The Platform atau tidak? Jangan bilang
saya tidak pernah memperingatkanmu, ya.
Outstanding (4/5)
sengaja baca review setelah menonton nya untuk menghindari spoler. Dan over all saya suka ceritanya, santir sosial dgn bungkusan thriller horor dgn premis yg menarik. Penuh metafora yg harus penonton pikir sendiri.
ReplyDeleteBukan tipe film yang cocok untuk semua orang sih, tapi kalau demen dengan tontonan berisi kritik sosial dan metafora sih kemungkinan besar akan suka :)
DeleteSemua penyelasan nya tak dijabar kan secara langsung dan itu ku suka karena membuat penonton ikut terlibat pada cerita. Dan beberapa bisa saya tanggap meski ending nya masih kurang paham. 😁
ReplyDeleteyup, endingnya gak paham, hahahaa..
Deletekenapa harus anak kecil itu jadi penanda?
apa karena dia satu2nya yg berada di lantai 333?
apa karena dia anak yg terhilang?
entahlah..
Kalau dari interpretasiku, anak kecil itu dikirim karena dua sebab. Pertama, untuk menunjukkan bahwa sistem yang dibuat oleh pihak Administrator tidaklah sempurna. Ingat kan dengan dialog Goreng dengan Imougiri yang bilang bahwa nggak mungkin ada bocah di tempat ini karena penjagaannya yang sangat ketat? Nah, pesan ini semacam wake-up call agar petinggi meninjau ulang sistem mereka.
DeleteKedua, pesan kemanusiaan. Intinya kurang lebih sama dengan panna cotta, tapi ada penegasan. Dibalik kebuasan dan keputusasaan para penghuni sel, mereka tetap tidak menyentuh seorang bocah yang bisa saja dihabisi karena dia tidak semestinya berada di sini.
ohh begitu ya,, jadi makin paham. Nggak nyakah film nya penuh kritik sosial gini ya 🤗
DeleteTerima kasih untuk informasi nya kak
ReplyDeleteReviewnya keren bro..
ReplyDeleteAwalnya nggak berfikir sejauh itu.. Tp interpretasi reviewer bikin kita lebih membuka mata dr ceritanya..
Mantap.. Semangat buay review film lain bro..
Terima kasih udah baca yaa 😁
Deletesitus online terpercaya
ReplyDeletesitus slot
situs slot bonus new member
situs slot terpercaya
situs terpercaya