June 1, 2011

REVIEW : SCREAM 4

"You forgot the first rule of remakes; don't fuck with the original!" - Sidney Prescott

Butuh 11 tahun untuk kembali melanjutkan Scream. Wes Craven emoh menggarap Scream 4 jika tidak memiliki naskah yang kuat. Maka proyek yang telah menjadi bahan gossip para pecinta film sejak setahun setelah Scream 3 rilis ini pun terkatung-katung. Bisa dimengerti, Craven dan Bob Weinstein tidak ingin menodai franchise Scream. Apalagi Scream menjadikan film horror sebagai bahan olok-olokkan. Tentu akan sangat ironis jika kemudian kondisi berbalik. Sebagai pionir munculnya film horror remaja; dwilogi I Know What You Did Last Summer, Urban Legend, dan lain sebagainya. memang kurang sepantasnya jika Scream 4 tampil buruk. Minimal, masih sanggup menghibur penonton. Dan apakah keinginan Craven dan jutaan fans franchise ini terpenuhi? Selera tiap orang memang berbeda-beda, namun bagi saya, Scream 4 adalah sebuah hiburan yang menyenangkan. Tidak masalah jika kalian belum pernah menonton prekuelnya karena plot terbilang sederhana. Kalau saya pribadi sih menyarankan kalian untuk menonton Scream 1, 2 dan 3 terlebih dahulu agar feel lebih terasa dan tentunya tahu apa yang dimau Craven dan antek-anteknya.

Woodsboro, 10 tahun setelah ending Scream 3. Sidney Prescott (Neve Campbell) telah menjadi penulis buku yang sukses dan kembali ke kampung halamannya untuk mempromosikan buku barunya. Gale Weather (Courtney Cox) meninggalkan profesinya sebagai reporter demi menikahi Dewey Riley (David Arquette) yang sekarang menjabat sebagai sheriff. Belum sempat ketiganya untuk bereuni atau hanya bertemu sekadar minum teh, tragedi kembali terjadi. Dua gadis SMA ditemukan tewas terbunuh secara mengenaskan. Pelakunya diketahui memakai topeng Ghostface. Sidney dan sepupunya, Jill (Emma Roberts), segera diamankan. Dewey yakin sang pelaku mengincar Sidney. Korban mulai berjatuhan sejak saat itu. Jill dan Kirby (Hayden Panettiere) menyaksikan sahabat mereka dibantai dengan brutal di depan mata kepala mereka sendiri. Masyarakat Woodsboro menyalahkan Sidney atas segala insiden ini. Jill sendiri mencurigai mantan pacarnya, Trevor (Nico Tortorella), yang tak pernah berhenti untuk mengganggunya. Sementara itu, Gale yang kecewa lantaran Dewey menolak untuk diajak kerja sama memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri. Berbagai bukti menuntunnya ke sebuah gudang tempat diadakannya pesta tahunan penggemar film 'Stab'. Sebelum identitas asli Ghostface berhasil terkuak, Gale diserang.

Naskah buatan Kevin Williamson tergodok dengan sempurna. Setelah Scream 3 berubah menjadi sebuah lawakan, ada kekhawatiran sekuelnya akan bernasib seperti Urban Legends: Final Cut yang lebih konyol daripada ketoprak. Untunglah itu tidak terjadi. Penantian panjang para fans terbayarkan. Tidak mampu melebihi apa yang dihadirkan oleh Scream pertama, Scream 4 tetap tampil lebih baik dari Scream 2 dan 3. Craven mampu menampilkan sejumlah adegan penggedor jantung yang diselingi dengan dialog-dialog jenaka nan menggelitik sebagai pencair ketegangan. Kelucuan berhasil dimunculkan dengan takaran yang pas. Perpaduan yang manis diantara keduanya menghadirkan sebuah tontonan yang tidak hanya seru tetapi juga menyenangkan. Pemakaian sejumlah bintang muda lumayan menyegarkan mata. Ada yang bening-bening diantara tumpahan bergalon-galon darah. Syukurlah, akting mereka tak melempem. Emma Roberts dan Hayden Panettiere justru tampil lebih kuat dibanding Campbell, Cox dan Arquette.

Melihat bagaimana cara Scream 4 mengolok-olok film horror sungguh mengasyikkan. Bagi yang belum mengenal franchise Scream, memang inilah semangat yang diusung oleh Scream. Tidak membanyol seperti Scary Movie, ejekannya lebih bersifat sarkatis. Coba simak dialog yang dilontarkan oleh Kirby yang pecandu film horror atau obrolan iseng antara Perkins (Anthony Anderson) dan Hoss (Adam Brody) mengenai kematian deputi di setiap film horror saat mereka tengah menjaga rumah keluarga Prescott. Adegan yang cerdas. Bagi para penggemar film horror dijamin dibuat terkekeh dengan berbagai adegan yang sengaja dibuat untuk menyentil film horror masa kini yang hampir nol kreativitas. Untuk kali ini, Williamson juga sedikit banyak menyinggung mengenai perilaku remaja masa kini. Inilah mengapa saya begitu mencintai franchise Scream. Meskipun dibangun dengan plot yang klise, namun sindirannya hampir tak pernah meleset. Belum lagi opening dan ending-nya tak pernah mengecewakan. Teori mengenai pelaku pembunuhan di Scream 4 yang saya bangun sejak pertengahan film nyatanya hanya 50 % akurat. Lagi-lagi saya tertipu! Oh iya, sangat disarankan untuk menyaksikan Scream 4 di layar bioskop. Sound yang mengejutkan, adegan pembunuhan yang tergambar dengan detail serta pekikan-pekikan para penonton cewek dijamin membuatnya terasa lebih seru. Usahakan pula jangan datang terlambat. Kalian akan sangat menyesal jika telah melewatkan 15 menit pertama film ini. Sangat jenius. Salah satu opening scene terbaik dalam satu dekade terakhir!

Trailer :


No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch