"Memang, kalau cinta butuh alasan, Bang?" - Edgar
Cinta memang tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas sampai kapanpun. Selalu saja ada sisi yang menarik untuk dikulik meski sejatinya apa yang dibicarakan tidak terlampau jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Raditya Dika – serta ribuan penulis lainnya di luar sana – melihat potensi yang besar apabila menggarap kisah yang berkaitan dengan percintaan. Lebih mengasyikkan lagi... jika itu berdasarkan pengalaman pribadi. Di era ketika ‘menggalau’ – terutama dalam urusan asmara – seolah telah menjadi makanan pokok sehari-hari, maka tidak ada yang lebih tepat lagi dari menyajikan sebuah hidangan dimana di dalamnya terkandung elemen-elemen seperti jatuh cinta, penolakan, patah hati, dan memenangkan hati pasangan, kepada publik (atau dalam hal ini, penonton muda). Segala hal yang berkaitan dengan suka duka dan pahit manis kehidupan percintaan ini Dika coba tuangkan dalam film teranyarnya, Cinta Brontosaurus.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, akankah Cinta Brontosaurus mampu menebus kesalahan Dika sebelumnya di Kambing Jantan? Well... jika Anda masih ingat, film perdana dari Dika tersebut menerima resepsi yang beragam dari penikmat film, meski ditilik dari perolehan angka penonton tergolong sesuai harapan. Saya pribadi pun tak mendapatkan pengalaman yang menyenangkan kala menyaksikannya, cenderung hambar dan kelewat bertele-tele. Maka ketika Cinta Brontosaurus hadir, dan belakangan laris manis di pasaran, saya tidak terlampau tergugah untuk mencicipinya sekalipun ada nama Fajar Nugros – yang sebelumnya membuat saya terkesima dengan gaya tuturnya yang unik melalui Cinta di Saku Celana – di belakang kemudi. Seolah tidak ada lagi kepercayaan kepada Dika. Akan tetapi, setelah mencicipinya langsung, ternyata Cinta Brontosaurus tidaklah seburuk seperti yang saya duga. Sama sekali tidak buruk malah. Memang ini bukan sebuah lompatan yang jauh dari film sebelumnya, namun yang jelas... ini lompatan yang sangat baik. It’s just simply a lot of fun.
Dengan durasi yang membentang hingga mencapai sekitar 100 menit, ada banyak kesenangan yang bisa didapat. Dika tidak memancing ‘hiruk pikuk’ berupa ledakan tawa dengan memanfaatkan lelucon slapstick yang kerap kali digunakan oleh film lawak kebanyakan. Bangunan komedi dibentuk oleh situasi yang terjadi di sekitar serta celetukan-celetukan yang dilontarkan oleh para tokoh. Jelas, yang menjadi obyek ‘ledekan’ di sini adalah sang tokoh utama (pria) yang kerap kali dirundung kesialan kala merajut cinta. Ini akan menjadi sesuatu yang lucu dan mengena bagi mereka yang (a). menggemari guyonan khas Dika, (b). remaja usia belasan atau awal 20-an, dan (c). senantiasa menggalau tentang cinta (atau dalam hal ini, mengalami peristiwa serupa). Selain ketiga tipe itu, bisa jadi tuturan film hanya berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan. Pun demikian, film tidak melulu menggunjing perihal cinta semata, citra film horor nasional yang telah benar-benar ternoda pun turut disinggung. Anda yang mengikuti perkembangan film nasional tentu tahu kan betapa para dedemit di Indonesia ini telah dieksploitasi sedemikian rupa hingga melewati batas kededemitan? Menjadi kian tak wajar dan mulai menjurus ke arah ‘absurdisme’.
Dan berbicara mengenai absurd... maka film yang untuk urusan naskah digarap langsung oleh Raditya Dika ini pun bisa dibilang menggagas persoalan cinta yang ‘aneh’ – dan bisa jadi, absurd – atau memang sengaja dibuat demikian demi memberi daya tarik terhadap guliran kisah. Setelah serangkaian patah hati yang diterima, dimulai sejak masih duduk di bangku SD, Dika pun menciptakan konsep bahwasanya cinta dapat kadaluarsa. Demi mengembalikan kepercayaan Dika kepada cinta, sang agen, Kosasih (Soleh Solihun), pun memperkenalkan Dika kepada sejumlah perempuan. Dan dari sinilah berbagai hal yang unik, aneh, dan tidak masuk akal itu mulai menyeruak. Lihat saja teman kencan Dika; tante girang, perempuan yang gemar mengawetkan apapun yang dicintainya, hingga perempuan yang hendak melahirkan. Tidak ada satu pun dari mereka yang cocok, hingga sang tokoh utama berkenalan dengan Jessica (Eriska Rein) melalui sebuah percakapan yang menggelikan (dan tentunya, aneh) di restoran Jepang. Kala mereka melakukan kencan pun, lokasi yang dipilih juga sama tidak biasanya; atap pom bensin. Mungkin ada sejumlah penonton yang melancarkan kritik atau protes, akan tetapi... mau tak mau kudu diakui, adegan ini sanggup membekas di ingatan. Sebuah adegan ikonik yang bisa jadi akan masih tetap diingat di tahun-tahun mendatang.
Ditilik dari segi penceritaan, Cinta Brontosaurus memang sejatinya tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar segar. Yang menjadikan film menjadi menarik untuk disimak adalah guyonan dari Raditya Dika yang berkarakter (hingga terkadang menjadikannya ‘segmented’), upaya Fajar Nugros dalam menerjemahkan tulisan dari Dika hingga menghasilkan bahasa gambar yang menggoda, tembang-tembang dari HiVi! yang menyatu dengan sempurna bersama roh film, serta penampilan dari jajaran pemainnya; sebut saja Soleh Solihun, Ronny P. Tjandra, Pamela Bowie, dan Meriam Bellina, yang senantiasa mencuri perhatian. Adalah sebuah keputusan yang tepat bagi Dika untuk tidak sepenuhnya patuh dengan versi novel serta tak memberikan porsi berlebih untuk drama (yang mana justru berakhir fatal di Kambing Jantan). Memang pada akhirnya tidak setiap orang bisa menerima gaya bercanda Dika, namun yang jelas, Cinta Brontosaurus adalah sebuah peningkatan yang memuaskan dari film sebelumnya. Sajian yang menghibur, menyenangkan, serta (sedikit banyak) romantis berhasil dihidangkan.
Acceptable
bentar lagi tayang di tv jadi pengen tau lebi banyak reviewnya (udah jadi emak2, dah gak pernah nonton bioskop lagi).
ReplyDeletewaktu awal2 tayang, kebetulan baca reviewnya yg bagus2 mulu, ternyata banyak juga yg nganggep film ini 'biasa'. thx reviewnya