Tatkala tali asmara yang telah dirajut dengan keringat bercucuran bersama kekasih tercinta akhirnya memudar, bagaimana sikap Anda terhadap... errr... barang peninggalan (atau hadiah terpenting) dari si dia? Dibuang jauh-jauh, diberangus habis, dialihfungsikan, atau malah justru... disimpan dalam sebuah wadah khusus? Bagi mereka yang menjunjung tinggi prinsip ‘move on sesudah tercerai berai’ atau mendamba bumi yang lebih bersih, mungkin tiada untungnya menyimpan barang-barang dari masa lalu yang (bisa saja) tidak lagi bermanfaat dan hanya membawa derita. Akan tetapi, jika Anda adalah seseorang yang kreatif, tentu saja ini akan menjadi sesuatu yang menguntungkan! Lihat saja bagaimana Salman Aristo beserta Raditya Dika sanggup menyulap sebuah kardus dengan berbagai jenis barang peninggalan yang berserakan bak sampah di dalamnya menjadi sejenis ‘produk kreatif’ yang mempunyai jalinan kisah yang penuh warna dan mengikat. Anda tentu tidak pernah menyangkanya, bukan? Bisa-bisanya dalam satu kardus sederhana dan seperti tak berharga terdapat banyak cerita cinta penuh makna. Ckck.
Seseorang yang mempunyai ide untuk menyimpan benda peninggalan sang kekasih dalam sebuah kardus adalah Miko (Raditya Dika) – tokoh fiktif yang angkat nama melalui serial populer, Malam Minggu Miko. Dalam kardus tersebut, tercatat ada puluhan barang hasil dari kandasnya hubungan percintaannya dengan 21 perempuan. Dia sudah siap untuk menyesaki kardus tersebut dengan satu barang lagi usai, dalam suatu malam Minggu, kekecewaannya terhadap sang kekasih, Putri (Anizabella Lesmana), tak lagi terbendung. Miko mempertimbangkan untuk putus. Dalam usahanya untuk menyegarkan hati dan pikiran, Miko mencoba melakukan stand-up comedy untuk pertama kalinya di kafe langganannya. Nah... kardus berisi nostalgia masa lalu yang sedianya akan dibuang tersebut, malah justru terbawa ke kafe. Mau tak mau Miko kudu memboyong si kardus ke atas panggung. Dari yang awalnya dianggap tak lebih dari sekadar rongsokan, kardus beserta ‘penghuninya’ ini justru menjadi penyelamat Miko dari timpukan para penonton yang menganggap humornya luar biasa garing dan teorinya perihal hubungan asmara ngaco.
Emmm... bolehkah saya menyebut Cinta Dalam Kardus sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun ini? Salman Aristo berhasil menghidangkan sebuah sajian yang tidak hanya unik secara konsep dan kemasan, namun juga mengandung humor segar, menghibur, manis, serta mengharu biru. Dari sisi penceritaan, Dika jelas terlihat lebih matang di sini. Menyenangkan sekali melihat bagaimana Dika dengan santainya melalui tokoh Miko sentil sana sini, bermain-main, khususnya (tentu saja) mengenai ‘relationship’. Perspektifnya terhadap hubungan asmara memang terkadang nyeleneh, tapi seringkali jika direnungkan lebih mendalam, ada benarnya. Yang menjadikan skrip terasa kian renyah untuk disantap, tokoh-tokoh pendukung dimunculkan demi memperkokoh pondasi cerita, bukan hanya sekadar memeriahkan suasana atau numpang lewat semata. Fungsi kehadirannya jelas. Ketika Miko cenderung memandang sinis saat mengenang problematikanya terdahulu, tokoh-tokoh ini memutarbalikkannya dan meluncurkan pertanyaan, ‘benarkah semua kesalahan terpusat pada si gadis?’. ‘Kamu yakin, Miko?’.
Dengan adanya interaksi antara si tokoh utama dengan para pengunjung kafe, penonton dipersilahkan oleh pembuat film melihat sisi yang berbeda dari kisah percintaan Miko dengan para mantannya menurut kaca mata pasangan suami istri, seorang pria yang tengah nongkrong, pakar spiritual, ayah Miko (Lukman Sardi – dalam sebuah flashback) bahkan Caca (Dahlia Poland) dan Kipli (Fauzan Nasrul) – astaga... dua tokoh ini luar biasa menjengkelkan – yang hadir untuk mempresentasikan ABG masa kini dengan gaya berpacaran yang apa-yang-sering-disebut-alay serta menganggap terlampau serius segala yang remeh temeh. Mereka meniliknya dari sudut pandang lain yang secara tidak langsung, turut meminta penonton untuk merenung sekaligus mengintrospeksi diri terhadap permasalahan percintaan masing-masing. Ini disampaikan secara halus, santai, ringan, penuh canda tawa, tak menguliahi, namun tergolong efektif. Jika meminjam istilah anak muda zaman sekarang, maka segala sentilan dan pelajaran hidup dalam Cinta Dalam Kardus itu... mak jleb!
Harus diakui, apa yang membuat Cinta Dalam Kardus terasa lebih segar, berbeda, dan unik adalah konsep yang diusung. Mengaku banyak terinspirasi dari film-filmnya Spalding Gray, Woody Allen, dan The Telephone milik Whoopi Goldberg, Salman Aristo mengkreasi film panjang ketiganya ini sebagai ‘hybrid movie’. Awalnya dimaksudkan menjadi film monolog, namun seiring berjalannya waktu berubah menjadi film panggung. 85% mengambil latar di atas panggung. Pengalaman yang didapat, penonton seolah-olah tengah menonton stand-up comedy ‘betulan’. Ini jelas menarik, kreatif, dan berani. Dari sisi visual, film pun teramat cantik. Ketimbang menyuguhkan rangkaian flashback dalam bentuk konvensional, perjalanan kilas balik diterjemahkan dalam bentuk reka ulang di panggung lain yang hanya bisa dilihat oleh penonton film. Dekorasi panggung berasal dari kardus, diikuti pula oleh properti yang terbuat dari bahan yang sama. Unik, bukan?
Setelah senda gurau dan keriangan yang tiada henti di paruh awal, pembuat film pun turut menghadirkan momen haru menjelang penutup yang tiada dinyana ternyata ampuh membuat mata berkaca-kaca, membekas, sekaligus layak dikenang. Ini dituturkan secukupnya, tanpa pernah terjerembab menjadi kelewat sentimentil. Apakah Anda termasuk dalam deretan yang terkesima dengan adegan ‘terungkapnya identitas pemilik batu’ dan ‘hujan di bandara’? Karena bagi saya, keduanya menjadi salah dua yang menguatkan cita rasa dari film. Ini membuat jalinan penceritaan yang sejatinya telah dijabarkan dengan apik menjadi kian menarik dan mengikat. Cinta Dalam Kardus, pada akhirnya, tidak hanya menjadi sebuah film komedi pelepas penat semata. Dengan dibubuhkannya hati dan kehangatan – disertai pula akting menawan dan soundtrack memikat – yang mampu tercampur dengan sempurna, film pun mampu menjadi sebuah paket komplit yang memuaskan. Salah satu karya terbaik dari anak bangsa tahun ini? Tentu saja.
ah, sepertinya keputusan untuk pergi ke bioskop sendiri malam ini untuk nonton ini ngga akan mengecewakan klo melihat review ini :)
ReplyDeletewajib ditonton nih kayaknya!
ReplyDeletekok kebanyakan review film indonesianya akhir2 ini,tp okelah..sekali2 review film lama yg bagus,buat referensi..
ReplyDeleteHanya ingin lebih fokus kepada review film Indonesia yang patut diapresiasi - terlebih saat ini saya bekerja sebagai kontributor film Indonesia. Untuk ke depannya, akan coba diseimbangkan.
ReplyDeleteMengenai review film lama, pernah beberapa kali. Nanti saya coba lebih perbanyak :)
Wow! Baca review ini jadi makin penasaran pengen nonton filmnya.
ReplyDelete--nitha--
Seharusnya kemaren baca ini dulu dan nyesel kemaren ga milih nonton ini.
ReplyDeleteTolong review film Refrain dong. Makasih :)