Seorang kawan membagi pendapatnya perihal Rush kepada saya melalui sebuah pesan singkat, sekalipun dia belum menontonnya, “saya yakin ini tidak lebih dari film balap mobil biasa dimana adrenalin dipermainkan saat sejumlah pembalap F1 adu kecepatan di arena balap. Klise.” Nyatanya, apa yang diutarakan oleh kawan saya ini... melenceng dari perkiraan. Rush bukan hanya sekadar sajian ringan yang menggelar kisah dimana nyawa film bergantung sepenuhnya kepada arena balap yang ramai, berisik, dan penuh gejolak, namun melampaui itu semua. Sang sutradara, Ron Howard, turut mengajak penonton untuk menyelami lebih dalam bagaimana kehidupan dua legenda F1 yang berseteru di lapangan, James Hunt dan Niki Lauda. Apa mimpi besar mereka, bagaimana kerasnya perjuangan untuk mencapainya, hingga sederetan konflik yang menguji keteguhan hati demi mencapai posisi yang diimpikan. Di bawah penanganan Howard yang telah terbiasa dalam meracik sebuah film biografi dari tokoh-tokoh ternama, Rush hadir sebagai sebuah suguhan yang tidak hanya mampu membuat adrenalin terpacu, tetapi juga sanggup mempermainkan emosi penonton habis-habisan. Jelas, ini adalah salah satu film terbaik tahun ini.
Jauh sebelum Ayrton Senna memulai rivalitas dengan Alain Prost yang kisahnya telah dituturkan dengan begitu memesona oleh Asif Kapadia melalui film Senna, persaingan sengit diantara pembalap legendaris Formula One telah mengemuka sejak tahun 1970-an. Yang menjadi pelaku adalah James Hunt (Chris Hemsworth) dan Niki Lauda (Daniel Bruhl), dua pembalap jagoan yang telah merintis benih-benih persaingan semenjak keduanya masih berada di Formula Three. Rivalitas yang mengaitkan James dan Niki menjadi kian membara tatkala keduanya memasuki Formula One dengan James mewakili McLaren sedangkan Niki berada di pihak Ferrari. Yang lantas dijadikan sorotan utama oleh si pembuat film adalah upaya keduanya dalam menggapai gelar Juara Dunia yang bergengsi pada musim perlombaan di tahun 1976 dengan bubuhan serentetan permasalahan hidup yang melingkupi James dan Niki dimana dua perempuan, Suzy Miller (Olivia Wilde) dan Marlene Knaus (Alexandra Maria Lara), turut mengambil peran.
Sekali lagi, Ron Howard membuktikan betapa piawainya dia dalam mengkreasi ulang sebuah peristiwa bersejarah menjadi bahasa gambar yang begitu mengikat, menakjubkan, dan memesona. Si pembuat film mencoba untuk berbicara kepada setiap penonton tanpa terkecuali sehingga Anda tidak harus menjadi penggemar Formula One terlebih dahulu untuk mampu menyelami apa yang coba digulirkan. Ya, siapapun dapat menikmati Rush, meski Anda tidak menyukai F1 sekalipun. Malahan, apabila Anda sama sekali buta perihal sejarah hidup James Hunt dan Niki Lauda – yang berarti turut tidak mengetahui perseteruan yang mengembang diantara mereka – bisa jadi akan membuat film ini kian penuh kejutan. Seperti halnya saya yang memang tidak mengenal sosok mereka, menanti untuk mengetahui apa yang meletup di menit-menit selanjutnya sungguh mengasyikkan. Naskah racikan Peter Morgan, yang bekerja sama dengan Howard di Frost/Nixon, berhasil merangkai sebuah gelaran kisah yang sangat kuat, mengalir dengan lancar, inspiratif, menegangkan, sekaligus mempermainkan emosi.
Kekuatan dari Rush pun tak terpusat pada satu poros saja, melainkan cenderung menyebar dan merata. Setiap departemen mengaum dengan sama kerasnya dan memberi kontribusi atas berjayanya film dengan sama besarnya. Para jajaran pemain adalah salah satu yang terkuat berkat performa Chris Hemsworth dalam penampilan terbaiknya sebagai James Hunt yang flamboyan dan menjalani kehidupan dengan santai serta Daniel Bruhl yang benar-benar berkilau sebagai Niki Lauda yang cerdas, penuh perhitungan, dan dingin. Kegemilangan para pemain pun turut disokong oleh sinematografi rupawan dari Anthony Dod Mantle, editing yang gesit oleh duo Daniel P. Hanley dan Mike Hill, skoring yang epik olahan Hans Zimmer, serta tim tata rias dan kostum yang layak memeroleh applause setinggi-tingginya lantaran sukses menyulap para pemain sehingga menyerupai dengan aslinya. Lihatlah Chris Hemsworth dan Daniel Bruhl, mereka bak saudara kembar dari James Hunt dan Niki Lauda. Sungguh mirip! Poin lebih lainnya yang membuat Rush sungguh mengikat adalah ketepatan Howard dalam memadukan footage asli dari perlombaan Formula One dengan desain produksi yang digarap sangat detail. Hasilnya, penonton dapat lebih turut terlibat secara emosional ke film serta merasakan ketegangan tiada tara menyimak F1 kala itu yang masih kerap menelan banyak korban tanpa tebang pilih.
Selayaknya James Hunt yang sedemikian memikat lantaran ditunjang fisik yang rupawan dan skill yang mumpuni, pesona dari Rush pun begitu sulit untuk ditampik berkat penceritaan rapi yang didukung oleh sisi teknis yang mengagumkan. Dengan durasi yang merentang hingga 122 menit, Rush menjadi semakin menarik untuk diikuti dari menit ke menit tanpa sekalipun menimbulkan rasa bosan. Ada semacam sihir yang diterapkan oleh Ron Howard sehingga duduk di kursi bioskop terasa begitu nyaman, waktu berlalu dengan begitu cepat, dan layar bioskop menjadi terlihat begitu indah. Howard dengan cerdas mampu menghidangkan sebuah sajian yang mengombinasikan ketegangan yang memacu adrenalin dengan gelaran kisah yang melibatkan emosi penonton ke dalam film. Sungguh juara!
Setuju, benar-benar biopik yang emosional dan inspitarif.
ReplyDeleteBtw, boleh tukeran link bang, blognya sudah saya pasang, http://manusia-unta.blogspot.com/
Sip! Dengan senang hati. Link blog sudah terpasang ya :)
ReplyDelete^^ scene favorit ane bisa dibilang tuh pas adegan pertemuan pertama Lauda sama Marlene di pedesaan italy,, perpaduan rom-com & sensasi racing..LOL
ReplyDeletesejujurnya saya masi terkejut..cast nya ternyata mainnya bagus2..even Thor..eh,Chris ...
Ha! Itu juga salah satu adegan favorit saya di film ini. Terasa manis, lucu, dan tegang, yah.
ReplyDelete